Seperti embun yang
terserap hingga tak berbekas, saat mentari datang dengan sinarnya yang
menerangi alam semesta. Seperti itulah adanya sekarang, menjadi tiada saat cinta
melemparnya dalam keterpurukan. Menghabiskan waktu dalam kesendirian. Menikmati
kesunyian di bawah pohon randu ujung desa. Dan bersembunyi diantara rindang
daunnya dari bisik dan gunjing tetangga.
Kutengadahkan
wajah menatap bunga randu yang hampir merekah. Menghirup aroma yang menguar.
Menanti seratnya berhamburan terbang. Agar bisa menari riang seirama liukan
serat putih yang mengelilinginya. Seperti dulu saat masa kanak-kanan. Seperti dulu
saat kebahagiaan masih menjadi miliknya. Seperti kerinduan yang selalu
ditahannya saat jeruji besi masih menjeratnya! Entah sudah berapa lama aku tak
menyaksikan tarian serat bunga randu di awang-awang.
“Aku selalu suka
saat randu berbunga.” Kataku sambil menatap gumpalan putih meluncur turun.
Mengurai sebelum mencumbu rumput dan meliuk terbang hingga jauh.
Kau hanya
tersenyum kala itu. Memeluk bahuku. Mengecup dan membuai hasratku. Seperti
biasa! Kau tak suka kata-kata. Kau menyukai belaian. Kau selalu terobsesi
membuatku berhasrat. Dan bila kau gagal menghadirkan hasrat, baru kau mulai
berkata-kata. Kata-kata memabukkan. Tentang cinta dan pujian.
Aku suka
kata-kata. Terutama kata yang memabukkan.
“Kau seperti serat
bunga randu. Putih dan lembut.”
Kata-kata yang
disertai belaian memang memabukkan. Dan aku mabuk karenanya. Aku berhasrat dan
kau tersenyum riang. Seperti biasa, saat kau melihat hasratku mulai datang.
“Kita akan
menikah. Tak ada bedanya besok atau sekarang.” Bujukmu mencoba merayu agar
kumengangguk.
“Hanya mahkota
yang membuat perempuan berharga.”
“Mahkota hanya
dibutuhkan bagi mereka yang mencari pasangan. Tapi kau telah menemukanku. Jadi
tak ada bedanya.”
Keraguan itu
mengingatkan. Tapi belaian kembali mengaburkannya. Dan kata-kata menghilangkan
semua akal sehat. Bisik daun randupun bahkan tak kuhiraukan.
“Cinta tak
terlihat. Hanya bisa dirasa. Bagaimana aku tahu rasamu itu cinta?”
“Tidakkah
kata-kata cukup untuk menggambarkan rasa?”
“Hanya sebagai
lukisan. Aku tak bisa menyentuhnya. Aku butuh pembuktian.”
“Untuk apa?”
“Agar aku tahu
bahwa cintaku berbalas. Pembuktian itu yang memberiku kekuatan untuk menghadang
apapun yang menghalangi langkah kita untuk menikah.”
Aku kembali melayang.
Mabuk kata dan belaian. Gemerisik daun yang mengingatkan justru membuat
keraguan itu lenyap. Aroma serat bunga randu yang seharusnya membuatku tetap
terjaga, justru membuaiku dalam desah dan keinginan untuk mereguk lebih banyak.
Aku terombang ambing seperti serat bunga randu yang dibuai angin. Melayang,
meliuk, terhempas dan .. Lepas!
Dan pohon randupun
terdiam, menunduk gelisah! Gemerisik daunpun tak lagi terdengar. Serat bunga
randupun tetap berada dalam kelopak kesrasnya. Bahkan semestapun menggertak
angin agar tak bergerak. Tak ada satupun yang tersenyum menyaksikan terkoyaknya
mahkota!
“Kau menakjubkan!”
Senyum puasnya
terukir di wajah. Air mata tak membuat senyum itu memudar. Kau terus tersenyum
dan bermain kata. Menceritakan tentang asa. Membisikkan mimpi tentang
pernikahan. Dan menggumamkan cinta.
Membuat air mata
berganti dengan senyum yang terukir oleh harapan. Pernikahan! Adakah yang lebih
diinginkan perempuan muda dalam hidupnya selain menikah dengan lelaki tercinta?
Adakah yang lebih menyenangkan dari mimpi mereguk setiap detik harinya dengan
cinta dan tawa anak-anak buah hati mereka?
Dan kuhabiskan
waktu bersamamu melukis angan tentang indahnya pernikahan. Merancang nama
anak-anak yang akan hadir meramaikan cinta. Dan tertawa bersama membayangkan
uban akan membuat kita berdua merenta.
“Saat nanti aku
layu dan kering, akankah cinta itu tetap utuh dihatimu?”
“Kau akan tetap
cantik di hatiku.”
Dan aku tersenyum
mendengar kata memabukkan darimu.
“Waktu yang
terhisap akan membuat perutku membuncit. Merontokkan rambutku hingga jidat
melebar. Mengerutkan kulitku hingga tak lagi tampan. Akankah kau juga tetap
mencinta?”
“Hingga maut
memisahkan.”
Dan kau rengkuh
kembali aku dalam dekapan. Membuaiku dalam belaian. Dan memabukkanku dengan
kata yang memercikkan kembali hasrat. Hasrat yang datang berulang di setiap
pertemuan. Menenggelamkanku dalam lautan mimpi yang kau bisikkan.
Hingga kembali
pohon randu tertunduk gelisah. Mengeringkan setiap hijau daunnya yang lalu
gugur seolah menangisi desah yang terus terdengar. Hingga serat bunga randu
musnah tak bersisa. Meninggalkan kelopak kerasnya bergelantungan. Seperti
musnahnya mahkota hingga tak bersisa. Seperti aku yang tak berharga saat
mahkota itu terenggut oleh kata yang memabukkan.
Dan apalagi yang
dipunya seorang perempuan tanpa mahkota? Apa lagi yang bisa diharapkan selain
secepatnya menikah? Apalagi yang menakutkan dari terpisah oleh jarak? Karena
jarak bisa mengaburkan rasa. Karena itulah duniaku terguncang saat kau nyatakan
niat kepergianmu ke kota.
“Kau tak akan
pulang. Kota selalu berhasil membuat pemuda melupakan desanya.”
“Ada kau di desa!
Dan itu cukup membuatku secepatnya pulang.”
“Kenapa harus
tergiur rayuan kota?”
“Cinta saja tak
cukup, sayang! Dan kota menjanjikan masa depan bagi mimpi kita.”
“Di sinipun kau
bisa mengaisnya.”
“Butuh waktu lama.
Karena yang adapun tak banyak.”
“Bagaimana kampung
memiliki banyak harapan? Jika semua pemuda lebih memilih kota daripada
mengayunkan cangkulnya.”
Kau hanya terdiam.
Sibuk mengenakan kembali celana dan kemeja. Tak melihat air mata telah
membasahi wajah.
“Aku takut
kehilangan. Mimpi menikah hanya akan menjadi sebuah kenangan.”
“Karena itulah aku
harus ke kota. Dan secepatnya pulang untuk mewujudkan mimpi kita.”
Kini aku terdiam. Tak
tahu bagaimana membuatmu tetap tinggal. Kau telah berkeputusan. Dan apa daya
yang kupunya. Selain mengikatkan diri pada pohon randu yang setia menyediakan
batangnya untuk bersandar. Mendatangi pohon randu di setiap pagi hingga senja.
Menghitung hari hingga purnama. Mencoretkan garis di batang pohon randu setiap
purnama datang. Menanti penuh debar dan kerinduan. Hingga purnama keduabelas. Hingga
waktu terus berjalan. Dan bayangmu tak juga nampak.
Janji yang kau
ukir di bawah pohon randu membuatku buta dan tuli. Dari kenyataan bahwa kau
telah melupakan janji. Dari mendengar kata orang bahwa kau tak akan kembali. Dan
aku terus Menyimpan rindu yang lambat laun mulai menyakiti. Menggerus harapan
dan mimpi. Membuatku menarik diri. Menghindari bisik. Membuang muka dari tatap
mata prihatin.
Di bawah rindang
daun randu yang tak pernah habis. Dan di antara serat bunga randu yang menari.
Aku terus menanti.
Hingga suatu pagi.
Harapan itu kembali hadir menyerbu relung hati. Menyisihkan sakit oleh kabar
kedatanganmu yang membuatku kembali berseri. Membuat langkahku berlari ke bawah
pohon randu di mana kuharus menanti.
Menunggu dengan
debar rindu yang tak mampu kubendung. Menantimu dengan senyum penuh asa
menggantung. Dan dengan seluruh mimpi yang kau sematkan padaku.
Hingga mentari
berlalu dan senja mengintip malu. Hingga degup itu tergerus oleh keinginan
mencari tahu. Kenapa langkah tak membawamu datang ke bawah randu seperti katamu
dulu? Apakah kota telah menggerus ingatanmu? Ataukah kegembiraan orang tua
menghalangi langkahmu? Apakah yang membuatmu menunda mengunjungiku?
Kegelisahan itu
yang menuntun. Mengayunkan kaki menujumu. Kerinduan itu yang merayu. Untuk
sekedar mencari jawab dari tanya yang mengganggu. Membawaku ke depan serambi
rumahmu. Menunggu dengan degup baru saat pintu itu terbuka dan menampakkan
sosokmu.
“Aku menunggumu di
pohon randu.”
Tatap mataku
mengatakan lebih banyak dari yang terucap. Kau hanya diam. Melangkah ke bangku
di sudut serambi rumah. Melewatiku yang berharap peluk dan kecupan. Dan tergugu
saat hanya mendapati bau perkotaan yang menguar. Menggetarkan sukma. Membuatku
tersadar. Kota telah membuatmu berubah!
“Kau tak harus
menunggu.”
Aku ternganga. Meski
sedari awal matamu telah mengatakan. Sakit itu tetap menyapa.
“Lupakan aku! Dan
berhentilah menunggu di pohon randu. Aku telah memiliki hidupku. Aku telah
menemukan cinta sejati itu! Dan kaupun harus melanjutkan hari-harimu.”
Hanya ternganga!
Hanya itu yang mampu kulakukan saat ucapan terus kau lontarkan. Saat semua
penjelasan terdengar. Bahwa kau telah menikah dengan gadis yang kau temukan di
kota. Bahwa kisah di pohon randu hanyalah sebuah cerita kanak-kanak. Kau telah
temukan sejatinya cinta. Pada diri perempuan yang mampu membuatmu bahagia. Pada
sosok yang lebih dewasa. Yang kaya dan tak kampungan! Tak ada belaian yang
selalu kurindukan. Tak ada kata yang memabukkan. Bahkan sorot cinta itu tak
lagi tersisa.
Aku masih dalam
ketermanguan. Tak memperdulikan saat ibumu membawa nampan berisi teh hangat
dalam gelas panjang. Tak bersopan menjawab saat ibumu menanyakan kabar. Hingga
kecanggungan mengusirnya berlalu memasuki rumah. Meninggalkanku yang terus
tersiksa oleh kata-katamu yang menyayat. Membiarkan aku meresapi luka yang kau
torehkan. Dan kau terus berkata-kata. Kau kini suka berkata-kata. Tapi bukan
kata memabukkan seperti masa silam.
“Kau cukup cantik
untuk menarik pria lain menikahimu.”
Aku diam. Apalagi
yang bisa kukatakan? Bahkan air matapun tak akan sanggup membuatmu kembali
merasa. Tak ada yang tersisa dari sosok lelaki yang kucinta. Kota telah
menggerusnya. Kota telah mengubah lelaki sederhana dan menjadikannya lelaki
yang haus oleh gelimang harta. Kota telah berhasil memenuhi diri lelakinya
dengan satu pemahaman. Bahwa uang adalah segalanya!
Cinta tak lagi
penting bagi sosok lelaki di depanku. Dia bukan lelaki yang kurindu! Bukan!
Hanya raganya yang berwujud. Tapi dia bukan lelakiku! Lelaki yang menjanjikan
pulang dan menyuruhku menunggu di bawah pohon randu!
“Perempuan yang
kunikahi adalah perempuan dewasa. Aku bisa meraih semua keinginanku bersamanya.
Dia perempuan yang tepat.”
Gelegak kemarahan
itu tak mampu lagi kubendung. Kebencian menguasaiku. Sosok lelaki di depanku
telah merampas jiwamu. Jiwa yang menjadi milikku. Jiwa yang kau titipkan di
bawah pohon randu. Dengan janji untuk pulang padaku. Yang memintaku menunggu.
Yang menganyam mimpi bersamaku. Yang memiliki kata memabukkan itu. Ya! Sosok
lelaki di depanku telah mencuri ragamu! Hingga menghilangkan hatimu.
Kualihkan
kemarahanku dengan menggenggam gelas panas yang membakar telapak. Berharap
panasnya mampu menghapus lara.
“Kau juga akan
menemukan pria yang tepat. Yang bisa kau ajak bermimpi setiap waktu. Yang bisa
menemanimu bermain dengan bunga randu.”
Inginnya aku
meneriakkan semua kata lalu yang pernah terucap. Inginnya aku menagih janji
yang dia sematkan. Inginnya aku mengguncang kesadaran atas mahkotaku yang
hilang. Yang dirampasnya dengan buaian belai dan kata memabukkan!
“Semesta tak
menggariskan langkah kita untuk bersama. Kau harus menerimanya. Lanjutkan
langkahmu. Lupakan aku!”
Dan kemarahan itu
meledak. Membutakanku dalam kegelapan. Sakitnya hati menusuk jiwa begitu dalam.
Luka itu tak tertanggungkan. Aku tak sanggup lagi menahan rasa perihnya. Hanya
gelap! Hanya ingin terhindar dari luka yang menyiksa. Hanya keinginan kuat
untuk terlepas dari derita. Hanya itu yang kurasa! Bahkan aku tak tahu apa yang
terjadi setelahnya. Kegelapan menguasai. Lara itu menyakiti. Kebencian
merasuki. Membuat telapakku pedih. Membuatku berteriak histeris. Membuat matamu
menyorot ngeri!
Hingga kesadaran
datang saat kerumunan orang mencengkeramku begitu kuat. Menyeretku dari serambi
rumah. Membuatku meneriakkan semua rasa. Meronta sekuat daya. Memberontak
hingga cengkeram di lengan semakin erat. Menyeretku semakin cepat. Menjauhkanku
dari dirimu yang terkapar dengan begitu banyaknya genangan merah. Tanyaku tak
mereka hiraukan. Teriakanku tak membuat cengkeraman berkurang. Ketakutanku
melihatmu kesakitan tak mereka hiraukan. Mereka terus menjauhkanku dari serambi
rumah! Mereka terus mencengkeram hingga aku tak sanggup lagi meronta!
***
Sepoi angin itu
bertiup memberati mataku yang asik menatap tarian dedauan pohon randu diatas.
Seberkas serat putih terbang terbawa oleh tiupannya. Gemerisik merdu terdengar
begitu melenakan. Aku menikmati setiap detik keindahan yang tercipta. Menghirup
habis kesegaran berada dalam rindangnya pohon randu dengan rantingnya yang
bercabang. Menatap deretan gores garis yang kulukis di masa entah.
Mengingatkanku akan kebodohan dan kenaifan. Memperingatkanku akan dusta kata.
Dan kutarik nafas
dalam, melegakan sesak di dada. Keindahan inilah yang membawaku kembali.
Kesejukan inilah yang kuingini. Kenikmatan inilah yang kurindukan selama
bertahun-tahun tinggal di balik jeruji besi.
Segumpal serat
putih kembali jatuh dari kelopaknya yang merekah. Meluncur turun dan berurai
saat angin datang. Melayang, meliuk ,terbang dan lepas! Hingga tak terlihat. Hingga
angin menghempaskannya di suatu tempat. Dan aku terlelap.
***
By Rinzhara