Aku berdiri di anak tangga terbawah. Menatap lelaki tua itu
dengan gamang. Lelaki tua yang kupanggil bapak. Yang sedang asyik membaca
koran. Yang tak tahu keberadaanku di sini dalam diam. Menatapnya dalam kecamuk
rasa.
“Kenapa Yen?”
Aku terkesiap. Selalu lupa akan satu hal. Bahwa aku tak bisa
menyembunyikan apapun darinya. Dari bapak! Dari dulu hingga sekarang. Dia
selalu tahu apapun yang kusembunyikan. Apapun yang kurasakan. Karena kami
begitu dekat. Begitu dekat hingga dia tak perlu menoleh untuk tahu keberadaanku
di sini mengamatinya.
“Sini! Duduk sini temani bapak!”
Bapak hanya sekejap melemparkan tatapan. Sebelum kembali
berkutat dengan korannya. Aku mendesah. Meremas kertas usang di genggaman.
Melangkah pelan. Tak tahu lagi apa yang kurasakan.
“Haruskah rasa senang
yang menguasai rasa? Atau justru duka saat mengetahui bahwa lelaki tua itu
ternyata bukan bapaknya?”
“Ada masalah di sekolah?” Tanya bapak saat aku hanya berdiri
diam di dekatnya.
Aku diam tak menjawab. Hanya memperhatikan bapak yang sibuk
melipat kertas korannya. Meletakkannya di atas meja. Dan menggapai lenganku
untuk didudukkan dekat dengannya.
“Ada apa Yen? Kau tak ingin bercerita?”
Aku masih terdiam. Menggeser duduk merapat. Saat bapak
menghela tubuhku dalam peluknya. Mengecup dahiku sekilas. Dan merasakan telapak
tangan bapak mulai bergerak. Membelai pelan. Mempermainkan jemarinya di sana. Di
bawah payudara kiriku yang sedang mekar. Membuat seluruh tubuhku meremang.
“Yen? Aku tahu kau tak sedang ingin bermanja. Aku tahu kau
menyimpan beban.”
Aku tersengal! Gumpalan isak menyumbat ternggorokan. Bapak
mempererat dekapannya. Membuat telapaknya bergerak bebas. Membelai dan
mempermainkan jemarinya di sana.
Membuat aku harus menahan rasa. Agar tak mendesah. Kurasakan
gumpalan kertas itu ada di genggaman. Beringsut pelan dan menatap bapak dengan
kelopak basah.
Bapak membalas tatapku. Dengan sorot tanya. Dengan kilat
gairah yang biasa kulihat. Kuulurkan tangan kananku pelan. Memberikan gumpalan
kertas usang itu padanya. Dan berdebar saat dia mulai membukanya pelan.
Terus berdebar. Menanti reaksinya. Menunggu ledakan
amarahnya. Amarah yang pasti akan meledak saat dia tahu apa yang tertulis di
sana.
Terus menunggu. Dalam debur jantung yang bertalu. Dalam
kediamanku. Hingga bapak menatapku.
“Dari mana kau mendapatkannya?” Suara itu begitu tenang. Tak
seperti yang kuperkirakan.
“Loteng.”
“Untuk apa kau kesana?”
“Aku membersihkannya. Ibu yang meminta. Tapi bukan itu yang
penting sekarang. Tapi apa yang tertulis di sana!”
Bapak tak menjawab. Menundukkan wajahnya. Mempermainkan
kertas usang itu di tangan. Tanpa kata! Hanya helaan nafas yang terdengar.
“Pak?”
“Seharusnya kau belum boleh tahu.”
Sengatan itu datang begitu cepat. Menjawab keherananku atas
reaksi bapak. Atas ketenangan bapak. Ahh..
Bukankah seharusnya bapak marah?
“Jadi bapak sudah tahu?” Tanyaku cepat.
Bapak lagi-lagi hanya diam. Lagi-lagi hanya menundukkan
wajahnya. Membuatku kesal. Membuatku dikuasai amarah.
“Jadi bapak sudah tahu? Dan bapak menyembunyikannya dariku?
Tega sekali! Tega sekali kau membiarkanku tak tahu. Tega sekali kau
membiarkanku dengan rasa bersalah itu! Kau!”
Aku tersedak isak. Berhenti sesaat. Dan kembali menumpahkan
amarah dalam rentetan kata. Terus berkata-kata. Tak membiarkan bapak
menjelaskannya. Tak membiarkan bapak bernafas. Aku terus menyerangnya. Dengan
tanya. Dengan makian. Tanpa jeda!
Hingga isak menghentikan. Membuat nafasku tersengal. Membuat
seluruh kosa kata hilang. Dan aku terus terisak. Dalam berbagai rasa. Dalam sedu
sedan!
Membiarkan saja saat bapak kembali merengkuhku dalam
pelukan. Membuaiku pelan. Menenangkanku dengan kecupan dan belaian.
Hingga aku tenang. Hingga isak tak lagi menggetarkan badan.
Hingga seluruh wajahku dihujani kecupan. Hingga seluruh pori-pori tubuhku
meremang oleh belaian. Hingga isak berganti dengan desahan.
Desahan yang disukai bapak. Desahan yang selalu berhasil
membuat bapak mengerang. Membuat bapak tak mampu lagi menahan keinginannya.
Untuk terus menyerangku dengan kecupan. Dengan belaian yang memabukkan. Dengan
seluruh apa yang kusuka. Hingga desah berganti erangan. Hingga erangan berganti
pekikan. Hingga aku merasa begitu bebas. Begitu lepas. Dan terpuaskan!
***
“Sejak kapan bapak tahu?” Tanyaku sambil memeluk manja tubuh
bapak.
Mengusap lembut bintik-bintik keringat di dada bapak. Dada
yang naik turun seirama nafas puas. Kepuasan yang sesaat lalu kami rasakan
bersama. Berdua. Di kamar bapak. Seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya. Saat
ibu tak ada. Saat ibu begitu sibuk hingga tak melihat!
“Beberapa bulan setelah kami menikah.”
Kutatap mata bapak. Mencari kesedihan di sana. Mencari luka
lama yang mungkin terlihat.
“Aku terkejut saat malam pertama. Keterkejutan yang
kusembunyikan. Keterkejutan yang kusimpan sendiri dalam diam. Dalam tanya yang
kupendam.”
Tak ada luka di mata bapak. Atau bapak memang terlalu pintar
menyembunyikannya?
“Keterkejutan yang berganti dengan kebahagiaan. Saat tahu
kau berada dalam perutnya.”
Belaian jemariku terhenti sesaat. Saat kurasakan tubuh bapak
menegang. Hanya sesaat!
“Tapi kebahagiaan itu tak lama. Hanya beberapa bulan.
Seharusnya belum cukup waktu untuk melahirkan.”
Helaan nafas bapak begitu keras. Begitu keras hingga membuat
jantungku berdebar.
“Dokter mengatakan tak ada yang salah. Kau sudah cukup
waktu. Memang sudah waktumu. Dan aku tahu! Aku tahu..”
Jeda itu membuatku menahan nafas. Merasakan kepedihan bapak.
Merasakan luka bapak. Dan kembali air mataku merebak.
“Yah! Aku tahu bahwa kau bukan bayiku. Bukan! Aku bukan anak
kecil yang bisa ditipu! Aku tahu! Karena itulah aku memaksanya. Membuatnya
mengatakan yang sebenarnya. Membuatnya bicara.”
“Dan? Apakah ibu mengakuinya?”
“Tidak! Dia tak pernah mengakuinya. Hingga pertengkaran
terus terdengar. Di antara jeritanmu. Di antara tangismu yang merasa diabaikan.
Yang meminta perhatian. Yang mengharapkan cinta dari kami berdua!”
Air mata itu tak lagi merebak. Air mata itu tumpah.
Membasahi wajah. Menetes ke dada bapak. Menyatu bersama seluruh rasa kami
berdua.
“Tangismu yang membuatku mengalah. Senyummu yang meluluhkan
kemarahan. Aku jatuh cinta padamu saat kau menatapku penuh harap. Seolah
memohon cinta.”
Bapak mengelus rambutku pelan. Mengecup kepalaku dengan
penuh perasaan. Membuatku semakin terisak.
“Dan aku memberikannya. Aku memberimu seluruh cinta yang
kupunya. Seluruh cinta! Hingga tak bersisa. Sampai sekarang!”
Aku tersenyum di antara isak. Mengangkat kepalaku dan
menatap bapak penuh rasa. Mengecup bibir bapak dengan mesra. Dengan segenap
rasa. Hingga gairah itu kembali datang menggoda. Hingga bapak kembali
mengerang. Kembali melancarkan ciuman dan belaian. Kembali membuatku mendesah.
Terus mendesah. Hingga mengerang. Hingga rasa itu menggumpal. Mendesak begitu
kuat. Menuntut lebih banyak. Membuatku melayang, terbang, bebas dan meledak!
Kembali terlentang. Terengah. Terpuaskan!
***
“Jadi bapak tidak tahu siapa dia?”
Kami masih terlentang. Masih basah oleh keringat dan
kepuasan. Masih tersengal!
Hanya gumaman yang kudengar. Tak begitu jelas. Tapi rasa
puas masih begitu kental. Hingga aku diam. Tak menuntutnya dengan tanya.
Hingga beberapa saat. Hingga yang ada hanya kesunyian.
Sesekali suara desahan yang mengisi kekosongan.
“Aku menemukan surat itu kemudian.”
Lirih suara bapak memecah keheningan. Kuputar tubuhku
menatap bapak. Memandangi tubuh tuanya yang masih tegap. Menikmati kepolosannya
yang kusuka.
“Tulisan tangan itu sangat kukenal. Tanda tangan itu melekat
di sepanjang hidupku. Aku tak mungkin salah!”
“Siapa dia?” Tanyaku tak sabar.
Bapak tak menjawab. Rasa ingin tahu itu mendesak. Membuatku
memburu bapak dengan tanya. Tapi bapak hanya terdiam. Terus terdiam. Kediaman
yang membuatku resah. Membuatku bosan menunggu kata bapak.
“Pak? Aku berhak tahu! Katakan! Siapa dia? Siapa bapakku
yang sebenarnya?”
Bapak mendesah. Menatapku lama. Membuatku gelisah.
“Kakekmu!”
Aku ternganga. Tak percaya dengan apa yang terdengar.
Menatap bapak tajam. Menuntut jawab!
“Ya! Dia kakekmu! Lelaki itu ayahku!”
Kilatan duka itu ada di sana. Kulihat di mata bapak. Yang
merebak. Menjadi genangan yang mengaburkan.
Ini kali pertama aku melihatnya menitikkan air mata. Ini kali
pertama aku melihatnya begitu terluka. Begitu berduka. Duka lama yang terpendam.
Yang tak mampu dikeluarkannya dalam amarah. Yang terus disembunyikannya dalam
diam. Terus terdiam.
“Kenapa kau diam?” Tanyaku penuh sesal. “Kenapa kau tak
mengatakannya? Ibu harus tahu bahwa kau terluka! Dia harus tahu bahwa kau
mengetahui tentang mereka!”
Bapak menggeleng pelan.
“Tidak! Aku tak mau kehilanganmu! Aku mencintaimu. Begitu
mencintaimu hingga aku takut jika ibumu memisahkanmu dariku.”
Aku mendesah. Tak tahu harus berkata apa. Lelaki itu tampak
begitu terluka. Begitu berduka. Begitu tersiksa sekian lama!
Dia menikmati sendiri lukanya. Menyimpan rapat sakitnya
sayatan. Untukku! Hanya untukku!
Kurengkuh lelaki tua yang kupanggil bapak dalam dekap.
Kurengkuh dan kuhujani kecupan. Kurengkuh dan kubelai dengan sayang. Dengan
sebuah bisikan yang menenangkan. Untuk mengobati lukanya. Untuk menghilangkan
dukanya. Untuk meyakinkannya akan rasa!
“Aku tak akan meninggalkanmu! Tak akan! Apapun akan kulawan.
Agar terus bersamamu. Agar terus mendampingimu!
“Karena akupun begitu mencintaimu!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar