Pintu kamar itu
membuka pelan. Menampakkan sosok lelaki yang menatapnya tanpa ekspresi.
Dengan raut wajah tak terbaca. Dengan sorot mata tanpa makna. Membuat
jantungnya kembali berdetak. Terus berdetak. Hingga menggigilkan
tubuhnya. Bayangan siksaan yang akan diterimanya menguasai relungnya.
Siksaan yang mengerikan!
Kengerian yang selalu
diterimanya setiap pintu kamar itu terbuka. Menampakkan sosok lelaki
yang berbeda. Yang mendatanginya. Yang menatapnya dengan buas. Sebuas
perbuatannya. Sekejam yang mampu mereka lakukan. Tanpa rasa iba. Tanpa
rasa kasihan.
Air mata yang meleleh
di pipinya tak mampu menghentikan mereka. Teriakan dan erang kesakitan
yang diperdengarkan. Justru membuat mereka tertawa.
Terus tertawa! Di antara jerit sakitnya. Di antara teriakannya. Di antara isaknya yang mengiba.
Mereka terus tertawa.
Terbahak. Terengah. Dan tergeletak dengan nafas memburu penuh kepuasan.
Meninggalkannya sendiri dalam luka. Dalam desis kesakitan. Dengan
sayatan yang menghiasai seluruh permukaan kulitnya. Dengan bercak darah
yang memenuhi alas ranjang. Kadang, dengan gelap yang mengukungnya. Saat
sakit tak mampu lagi ditahan tubuhnya.
Dia tersengal. Bergerak gelisah. Menanti lelaki itu mendekat. Getar tubuhnya semakin kencang. Rasa takut kembali menguasainya.
Selalu begitu! Meski
siksaan itu telah menjadi rutinitas baginya. Meski apa yang akan
diterimanya tak terlalu mengejutkan. Tapi tetap saja mengerikan! Tetap
saja menakutkannya! Mereka semua sama! Lelaki yang mendatanginya.
Mempunyai pola yang sama. Dengan kekejaman yang berbeda!
Ditekannya rasa takut
yang mulai hinggap. Ditutupinya gemetar tubuh agak tak terlihat. Dengan
berpura-pura merapikan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Menunduk
diam tak berani membalas tatap.
“Berapa umurmu?”
Bukan suara itu yang
mengejutkannya. Yang membuyarkan bayang siksaan dari relungnya. Tapi
tanya lelaki itu yang membuatnya ternganga. Dan dia terus ternganga saat
lelaki itu melangkah mendekat. Sejenak, ketakutan itu lenyap.
“Bram! Aku Bram. Kau?”
Dia tergagap. Mengatupkan mulutnya sesaat sebelum menjawab.
“Zhia.”
Getar takut terdengar
dalam suaranya. Dia semakin menundukkan wajahnya saat lelaki yang
bernama Bram itu meletakkan tubuhnya di atas ranjang. Duduk dekat dengan
kakinya yang terbungkus selimut tipis berwarna putih.
“Kau seharusnya sekolah. Dan bukan di sini. Bertelanjang. Menanti lelaki hidung belang datang!”
Tajam suara lelaki itu. Membuatnya terkesiap. Membangkitkan amarahnya. Menggantikan rasa takut yang hinggap sebelumnya.
Untuk pertama kalinya,
dia menatap mata lelaki tampan di depannya. Aura kemarahan tampak
terbayang jelas. Ketakutan itu lenyap sudah.
“Dan kau seharusnya berada di meja kantormu! Bukan di sini untuk menyiksaku!”
Kilat terkejut tampak terlihat di mata Bram. Membuatnya gentar sesaat. Hanya sesaat. Karena kemarahan mulai menguasainya.
Kemarahan atas
pertanyaan Bram yang tak tepat. Yang terdengar bodoh di telinganya.
Seperti kebodohan yang pernah dilakukannya. Berbulan-bulan lalu.
Kebodohan yang melemparkannya ke dalam kamar ini. Ke dalam dunia penuh
kekejaman.
Dunia asing baginya. Dunia kelam yang mengganti dunia penuh warna. Mengasingkannya dalam ruangan berukuran 3X4 di daerah yang dia sendiri tak tahu letaknya.
Mengurungnya dengan
pria-pria hidung belang yang memiliki kelainan. Yang tertawa melihat air
matanya. Yang terangsang mendengar desis rasa sakitnya. Yang
menggelepar puas mendengar teriakannya.
“Menyiksamu? Maksudmu? Kau terpaksa melakukan ini? Kau merasa tersiksa? Lantas, kenapa kau begitu bodoh mau melakukannya?”
“Kau ternyata lebih
bodoh dariku. Hanya orang-orang sakit sepertimu yang bisa menikmati
siksaan. Menjadikan siksaan sebagai perangsang birahi bejat kalian.
Menjadikan teriakan penuh kesakitan sebagai pemuasnya. Kalian
orang-orang tak waras. Kau! Mereka! Kalian semua gila!”
Kata-kata tajamnya
membuat lelaki di depannya terpengarah. Ketakutan sama sekali hilang
dari hatinya. Dia tak perduli apa yang akan diterimanya sebagai balasan.
Dia sudah tak perduli seandainya lelaki itu marah oleh kata-katanya.
Dia tak perduli! Dia bahkan tak lagi takut akan apapun yang mungkin
menimpanya. Bahkan jika lelaki itu menyiksanya dengan teramat kejam.
Ya! Siksaan apapun tak akan membuatnya ngeri sekarang. Mati bahkan mungkin lebih baik baginya kini.
Tak ada harapan sama
sekali baginya sekarang. Tak ada harapan! Semua kesempatan untuk
melarikan diri telah tertutup baginya. Tak ada jalan. Semua cara telah
dicobanya. Semua hanya berakhir dengan ruangan bawah tanah yang gelap.
Tanpa makan. Tanpa pakaian yang melekat. Berhari-hari membeku dalam
ruangan dingin dan gelap. Hingga lelaki brengsek penipu itu
mengeluarkannya. Mengobatinya. Memberi kehangatan padanya. Diakhiri
dengan ancaman yang mengerikan. Ancaman yang sanggup membuatnya diam dan
menjadi penurut sesudahnya.
“Sadomasochist!! Apakah para sadistis yang mendatangimu?”
Lelaki itu bergumam
penuh tanya. Menatapnya dengan tatapan antara gamang dan iba. Sekilas
sorot tak percaya terpancar. Sebelum tatap itu menelusuri jengkal
tubuhnya. Membuatnya menggenggam erat selimut yang menutupi badan.
Tangan Bram bergerak
cepat. Menarik lengannya tiba-tiba. Mengejutkannya. Membuatnya reflek
bertahan. Mencengkeram selimut erat-erat untuk melindunginya.
Mengibaskan genggaman Bram. Tapi lelaki itu menarik lengannya begitu
kuat. Merentangkannya di antara mereka. Mengamati dengan seksama. Dan
kembali menatapnya, lekat!
“Jadi inikah yang kau
terima?” Tanya Bram mengalihkan kembali tatap ke lengannya yang
terentang. Menyusuri lengannya yang penuh dengan bekas sayatan.
Menatapnya sekilas dalam sorot iba. Membuatnya muak akan kepura-puraan lelaki di depannya.
“Dia tak berbeda! Dia lelaki yang sama! Datang untuk menyiksanya.” Benaknya merangkai praduga.
Ditariknya lengan
kuat-kuat hingga terlepas. Disembunyikannya di balik kain yang
menyelimuti tubuhnya. Dipalingkannya wajah. Menghindar tatap tajam Bram
yang penuh tanya.
“Apa yang membuatmu
bertahan?” Suara Bram begitu dingin terdengar di telinganya. “Jika kau
merasa tersiksa. Kenapa kau melakukannya?”
Hanya geraman yang keluar dari mulutnya sebagai jawaban.
“Bodoh! Demi uangkah semua ini?” Bentak Bram kejam.
Amarah kembali mendatanginya. Ditatapnya mata Bram dengan sorot kebencian.
“Kau yang bodoh! Kau bahkan rela membayar demi memuaskan kelainanmu. Kau bukan saja bodoh! Tapi kau sakit! Kau gila!”
Luka yang mengendap
berbulan-bulan itu tumpah seketika. Dalam rentetan kata kejam yang
dipunyainya. Yang ditumpahkannya dalam sekali ledakan. Pada lelaki di
depannya. Bram! Yang masih menatapnya dengan geram.
“Berapa banyak yang kau dapatkan? Sebandingkah dengan semua siksaan yang kau terima?”
“Aku tak menerima
apapun! Aku bahkan tak menginginkan uangmu. Aku juga tak perduli
seberapa mahal kau membayar untuk menikmati teriakanku. Untuk
menyiksaku. Untuk menunjukkan kelemahanmu! Aku tak perduli!”
“Lantas untuk apa kau
melakukan ini? Jika kau tak menerima bayaran. Jika kau bahkan tak bisa
menikmatinya. Lantas untuk apa kau di sini?”
Kembali dia menggeram.
Begitu marah oleh pertanyaan-pertanyaan Bram. Begitu bingung dengan
sikap lelaki di depannya. Tak mengerti kenapa Bram banyak bertanya.
Kenapa dia tak melakukan saja seperti yang lainnya. Mencumbunya hingga
dia basah. Memukulnya saat dia terengah. Mencambuknya saat dia diam.
Terus menyiksanya hingga dia membuka mulut untuk berteriak.
“Jadi kenapa kau
bertahan? Kenapa kau tak keluar? Gadis seusiamu seharusnya
bersenang-senang. Jalan-jalan. Tertawa lepas. Membicarakan artis idola.
Berpacaran! Dan bukan di sini berbaring bugil menunggu lelaki yang hanya
akan menyakiti.”
“Bodoh!” Desisnya
penuh amarah. “Apa kau pikir aku menginginkannya? Apa kau pikir aku tak
ingin pulang? Apa kau pikir aku tak rindu teman-teman? Tak rindu duniaku
yang lama? Tak rindu masa remajaku yang hilang?”
Isak itu menggumpal.
Kata-kata Bram menyakitinya. Membuat kerinduan yang berhasil
disingkirkannya, kini kembali keluar! Kembali memenuhi jiwa. Membuat
wajah kedua orang tuanya terbayang. Wajah yang mungkin saat ini penuh
duka. Karena anak perempuan satu-satunya hilang tanpa kabar.
Dia tersengal. Air mata meleleh pelan. Membasahi wajah. Membasahi hatinya yang dipenuhi sesal akan kebodohan yang dilakukannya.
“Jadi apa yang terjadi? Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang memberatimu? Apa yang menahanmu Zhia?”
Diusapnya air mata dengan kasar. Ditatapnya mata Bram dengan tajam.
“Bebaskan aku!”
Bram terpengarah.
“Lelaki bernama Arya
itu menjebakku. Memisahkan aku dari keluargaku. Berbulan-bulan.
Menjadikanku pelacur. Menjadikanku umpan bagi para pesakitan itu.
Bebaskan aku! Aku mohon! Bebaskan aku!”
Dan dia tersedu. Larut
dalam tangis. Tak melawan saat Bram menarik bahunya. Merengkuhnya dalam
pelukan hangat. Membuainya hingga dia merasa nyaman. Mengayunnya pelan
hingga dia tenang. Hingga isak mereda. Hingga kesedihan itu sedikit
memudar. Hingga tanya Bram kemudian membuatnya tersadar.
“Kau sendiri?”
Ditariknya badan dari
rengkuh Bram. Ditariknya selimut untuk menutupi dadanya yang telanjang.
Dan ditatapnya mata Bram penuh tanya.
“Ada berapa lagi di sini? Sepertimu? Yang disekap Arya?”
“Aku..” Benaknya berpikir cepat. “Mungkinkah ada yang lain?”
Keterpurukan atas
nasib yang menimpanya. Kesengsaraan yang membelenggunya. Sesal yang
terus menggayutinya. Membuatnya tak pernah berpikir bahwa mungkin ada
gadis lain di sini.
Sepertinya!
Tertipu kata manis
Arya. Terjebak sosok asing di dunia maya. Yang memberikan perhatian.
Yang berpura-pura mencinta. Yang merangkai kata-kata indah penuh rayuan.
Hingga dengan bodohnya mereka mengiyakan saat diajak kopi darat. Dan
menghilang dari dunia indah yang dimilikinya. Tanpa kabar!
“Kau tak pernah melihat yang lainnya?”
“Pintu itu terkunci rapat.”
Mereka terdiam. Sibuk
dengan benak yang penuh dengan praduga. Sibuk dengan alam kembara.
Hingga beberapa saat. Hingga kesunyian itu dipecahkan oleh suara tegas
Bram.
“Aku akan membantumu keluar. Secepatnya!”
Dan lelaki itu bangkit
berdiri. Menatapnya dalam-dalam. Memberinya harapan yang sempat hilang.
Meyakinkannya dengan sorot penuh rasa. Membangkitkan kembali impiannya
untuk bisa kembali ke tengah keluarga yang dicintainya. Ke dalam pelukan
orang tuanya. Ke tengah orang-orang yang disayanginya.
“Sekarang?” Suaranya penuh harap. Penuh kegembiraan. Kegembiraan yang telah lama dilupakannya.
“Tidak! Aku tak bisa
melakukannya sekarang. Di luar sana ada penjaga. Bahkan aku tak
diijinkan membawa apapun ke kamar. Semua barang ditahan mereka. Tadinya
aku heran. Tapi semua terjawab. Kenapa keamanan begitu berlebihan.”
Bram membungkuk dan meraih kedua telapak tangannya. Menggenggamnya erat. Mengalirkan kehangatan dan keyakinan.
“Aku akan kembali datang. Untukmu! Untuk menyelamatkanmu.”
Mereka saling menatap.
Saling menggenggam. Saling berbagi harap. Tak memperdulikan selimut
yang teronggok dipangkuannya. Tak memperdulikan ketelanjangannya. Tak
memperdulikan apapun. Hingga beberapa saat. Hingga dengan berat Bram
melepas genggamannya. Menatapnya lekat.
“Aku akan mencari bantuan. Percayalah! Aku pasti datang!”
Getar kebahagiaan itu
menjalar pelan. Merekahkan bibirnya dalam senyum yang telah lama hilang.
Menatap langkah Bram yang menjauhinya. Yang menghilang di balik pintu
kamar. Yang meninggalkannya sendirian.
Kembali sendirian di
dalam kamar. Kembali pada kesunyiannya. Kembali pada kenyataan. Bahwa
dia masih tetap berada di sini. Di kamar ini! Kembali menjalani
kengerian setiap hari. Kembali harus menerima siksaan yang tiada henti.
Tanpa Bram!
Tanpa lelaki asing
yang baru dikenalnya. Yang memiliki pelukan hangat menenangkan. Yang
mampu meredakan sedikit derita hatinya. Lelaki yang mampu membuatnya
kembali bermimpi. Tentang harapan. Tentang dunia indah yang pernah
menjadi miliknya. Tentang kebebasannya!
***
Tubuh gempal yang
polos tak berbusana itu mendengkur keras. Dengkuran puas. Membuatnya
muak! Gumpalan lemak di kakinya menindih perut polosnya. Membuat sesak
nafas. Membuatnya bergidik mual. Menjijikkan!
Disingkirkannya kaki
lelaki itu dengan pelan. Meski dengkur itu menandakan dia tertidur
pulas. Tapi dia tak ingin membangunkannya. Tidak sekarang! Saat hari
masih gelap. Saat waktu masih menjadi milik lelaki paruh baya itu. Saat
dia masih milik lelaki itu sepenuhnya.
Lelaki itu memilikinya
semalam suntuk. Untuk dibelai. Untuk dikecup dan dijilat hingga dia
ingin muntah. Untuk dicumbui disetiap jengkal kulitnya. Untuk dibuat
terengah.
Dan dia terengah.
Mengabulkan keinginan lelaki gempal itu. Berpura-pura terangsang.
Menahan muak. Menahan rasa ingin muntah. Menelan rasa jijiknya. Menutupi
mualnya. Dengan desah. Dengan erangan yang membangkitkan birahi lelaki
di atasnya.
Terus mengerang!
Membangkitkan birahi
lelaki gempal yang menyewanya. Membangkitkan keinginannya untuk
menyiksa. Dan lelaki itu mulai menyakitinya. Memukulnya! Menghujamkan
setiap kepalan dan tendangan di tubuhnya. Menghiasai kulitnya dengan
sayatan dan cambukan. Menikmati desis sakitnya. Menikmati teriakannya.
Menikmati air matanya.
Terus menikmati rasa sakitnya.
Hingga desah puas
mengakhirinya. Mengakhiri siksaan yang diterimanya. Mengakhiri semua
penderitaannya. Untuk malam ini! Hanya malam ini! Karena masih akan ada
malam-malam lainnya. Dengan siksaan yang sama. Dengan lelaki yang
berbeda.
Dia berguling keluar
ranjang. Berdiri tertatih. Mencoba melangkah. Menahan perih. Seharusnya
rasa sakit tak lagi menyiksa. Bukankah rasa sakit telah menjadi bagian
dirinya? Bukankah penderitaan telah menjadi sahabatnya?
Tapi kenapa masih terasa menyiksa?
Dia terus berjalan.
Terseok. Berpegangan pada setiap benda yang bisa menopang badannya.
Membuka pintu kamar mandi dengan susah payah. Membayangkan betapa
perihnya semua luka saat terguyur air hangat.
Dia mendesah. Memutar
kran shower itu pelan. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Untuk
menghilangkan bercak darah.untuk membersihkan luka. Untuk menghilangkan
bau amis lelaki gempal yang membuatnya mual.
Kembali dia mendesah. Saat luka itu terasa sangat menyakitkan.
Kapan semua ini akan
berakhir baginya? Kapan dia tak lagi merasakan rasa sakit? Kapan Bram
datang? Sudah berapa lama waktu berlalu? Harapan itu semakin memudar.
Membuatnya putus asa. Membuatnya berhenti berharap. Berhenti bermimpi.
Berhenti menanti!
***
Dia masih sibuk dengan
air hangat yang mengucur deras. Masih sibuk dengan relungnya. Masih
sibuk dengan keputusasaan yang mulai menguasai jiwanya. Masih sibuk
menyesali nasibnya.
Begitu sibuk
relungnya! Dengan silet di genggaman. Dengan lengan terlentang. Dengan
air mata yang membasahi wajahnya. Air mata yang terus menetes seiring
derasnya kucuran air hangat yang mengguyur badannya.
Bahunya beberapa kali
tersengal. Isak itu terus terdengar. Dengan memejamkan matanya dia
menyayatkan silet itu perlahan di nadi kirinya. Memekik kecil saat sakit
itu tak tertahankan. Menatap tetesan air yang berubah menjadi merah.
Terus menatapnya. Terus terisak.
Hingga tak mendengar
suara keras yang memecah kesunyian. Hingga tak tahu pintu kamarnya telah
terbuka. Hingga tak menyadari segerombolan pria berseragam menyerbu
memasuki kamar. Membangunkan lelaki gempal dengan teriakan. Dengan
bentakan. Dengan keributan yang menghebohkan!
Dia tak tahu apa yang
terjadi di luar pintu kamar mandi tempatnya berada. Karena terlalu sibuk
dengan tangisnya. Dengan rasa sakitnya. Dengan darah yang mulai
memenuhi lantai di bawahnya. Melemahkan jiwanya. Melemaskan
persediannya. Membuatnya jatuh terkapar. Dengan gelap yang
menelingkupnya.
Dia tak pernah tahu
jeritan ngeri yang terdengar bersamaan dengan gelap yang datang. Dia tak
pernah tahu sepasang tangan kokoh yang mengangkatnya. Yang meneriakkan
namanya. Yang berlari sambil menggendongnya. Terus berlari! Terus
meneriakkan namanya. Terus memohonnya membuka mata!
Dia tak pernah tahu, bahwa Bram datang menepati janjinya!
***
Goresan cerita Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar