Mata bulat bening itu memandang dengan
kepolosannya. Dengan binar senang. Dengan sorot mata penuh takjub.
Membuatku semakin giat mengoleskan blush on ke pipiku. Melukis mataku
dengan aye shadow berwarna merah. Mengecat bibirku dengan seksama.
Membuat diriku tampak cantik di depannya. Agar gadis kecil itu semakin senang. Semakin takjub dan bangga.
“Gimana?” Tanyaku sambil membalikkan badan.
Gadis kecil itu bersorak. Beranjak dari tempatnya berdiri di samping meja rias. Dan berlari ke arah lemari pakaian.
“Pakai ini aja! Ayukk buruan!”
Gadis itu mengeluarkan gaun panjang
berwarna merah muda. Gaun bertali di bahunya. Dengan dada rendah. Dengan
belahan panjang di samping kanan. Gaun yang tepat!
Gadis kecil itu mengulurkan gaun itu padaku dan mendorongku ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Aku hanya tertawa menyambutnya. Tertawa senang karena bisa membuat gadis kecil itu gembira.
Aku hanya tertawa menyambutnya. Tertawa senang karena bisa membuat gadis kecil itu gembira.
“Wah! Ayah tampak hebat! Cantiiikk! Orang tak akan mengenali ayah! Orang tak akan mengira ini ayah. Horeee..!”
Gadis kecil itu kembali bersorak senang.
Melompat-lompat dengan riang. Dan kembali aku tertawa. Tertawa bahagia.
Akhirnya aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Tak perlu
berpura-pura. Tak perlu menyembunyikan kebenaran.
Tak perlu menjadi sosok lelaki yang hanya raga.
“Jadi siapa nama ayah sekarang? Masak miss Dion? Gak cocok yah!”
“Hmmm..” Aku pura-pura berpikir keras.
Mengerling nakal. Ah ya! Gadis kecil itu tak pernah tahu bahwa aku telah
memiliki nama keduaku. Gadis kecil itu tak pernah tahu, bahwa di luar
sana bukan Dion panggilanku.
Aku tersenyum lembut. Menundukkan badanku agar sejajar dengannya.
Berbisik lembut dengan suara berbeda. Suara yang selalu kupakai saat aku
di luar. Suara lembut yang mereka suka.
“Gimana dengan Diana?”
“Horeeee..”
Kembali gadis kecilku bersorak. Melompat
senang. Binar di matanya semakin cemerlang. Binar mata yang selalu
membuatku jatuh cinta. Binar mata yang juga milik ibunya. Perempuan yang
kunikahi hanya untuk alibi.
“Bunda pasti senang.”
Aku terkesiap. Kembali menunduk dan memegang bahunya. Menatap matanya dalam.
“Bundamu tak perlu tahu, sayang. Maukah kau menyimpan ini untuk kita? Hanya milik kita. Menjadi rahasia kita berdua!”
“Rahasia seperti punya bunda ya yah?”
Hatiku berdebar mendengarnya. Sebuah tanya melintas.
“Ya! Seperti rahasia bunda.”
“Aseeekk!! Aku suka bermain rahasia. Kata bunda aku sudah cukup besar untuk menyimpan sebuah rahasia. Rahasia orang dewasa.”
Getar di hatiku semakin menghebat. Tanya itu mendesak.
“Ya, sayang! Kau sudah besar untuk menyimpan rahasia orang dewasa. Rahasiaku dan rahasia bundamu.”
Senyum di bibir gadis kecilku semakin lebar. Jantungku berdebar. Apa rahasia bundanya?
“Ya ayah! Aku akan menyimpannya. Aku tak
akan bilang tentang ayah yang pandai berdandan. Dan aku juga tak akan
bilang bahwa bunda suka bermain kuda-kudaan dengan om Arso saat ayah
kerja.”
Kata-kata itu membuatku seperti tersengat ribuan halilintar. Menyambarku hingga aku hanya bisa ternganga.
Terus ternganga. Tak mampu berkata. Tak
sanggup menerima kenyataan. Hingga aku lemas. Persendianku bagai tak
punya kekuatan. Aku jatuh terduduk begitu saja. Tak memperdulikan tanya
gadis kecilku. Tak memperdulikan guncangannya di bahuku.
Aku terus terpana. Dengan riasan wajah
yang masih tampak menawan. Dengan gaun merah muda yang kuhadiahkan buat
istriku tersayang!
***
Goresan cerita Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar