Kerumunan di depan
rumah Eyang Karti semakin bertambah. Orang-orang berdatangan. Beginilah
para penikmat musibah. Seperti semut yang menemukan sebutir gula.
Berduyun-duyun untuk menonton dan menikmati musibah yang menimpa
seseorang.
Aku mencibir sebal.
Kulihat beberapa polisi berpakaian preman mulai menyebar. Menelusup di
antara warga. Menginterogasi dan mengumpulkan informasi sebanyak yang
mereka bisa. Yang aku yakin tak satupun informasi itu berguna bagi
penyelidikan.
Bagaimana tidak? Coba saja dengar komentar Pak Sasongko yang berdiri di belakangku.
“Pantas saja, beberapa hari ini tampak burung gagak terbang dan menghilang di rumah eyang.”
Nah! Memalukan bukan?
Bagaimana polisi bisa menggunakan informasi itu untuk menindaklanjuti
penyelidikan? Padahal lelaki itu seorang dosen di perguruan tinggi
terkenal di Jakarta. Tapi komentarnya sama saja dengan Yu Sumi, penjual
sayur keliling yang mungkin sekolahpun tak pernah menerima ijazah.
“Beberapa hari lalu Eyang masih belanja. Malahan dia bilang akan melunasi hutangnya akhir bulan ini. ”
Sama saja kan? Bahkan mereka masih saja memikirkan kepentingan pribadi di tengah musibah orang lain.
“Dasar manusia-manusia egois!” Umpatku kesal sambil berbalik dan melangkah menjauhi gerombolan yang menyebalkan.
Kulihat Mbak Kinan
berdiri dengan wajah gugup di samping kanan rumah eyang. Dengan
mengenakan daster lusuh kedodoran. Dan rambut acak-acakan. Berkerumun
bersama beberapa wajah yang sudah kukenal.
“Ya ampun…lihat penampilan perempuan jadul itu!” Desisku sambil berjalan mendekat.
“Hai Pipit! Sini..sini! Ngapain ngomong sendiri?”
Aku mendengus kesal.
Lagi-lagi kebiasaan burukku keluar. Ini harus dihentikan. Atau mereka
akan menyadari siapa aku sebenarnya. Ya! Apa jadinya jika mereka
mendengar umpatanku yang kasar? Bukankah selama ini Pipit yang mereka
kenal adalah anak manis dan penuh etika? Si kutu buku dengan tampang
tanpa dosa?
Aku tersenyum kecut saat mbak kinan menarik lenganku mendekat.
“Kasihan Eyang ya, Pit? Sudah seminggu meninggal tanpa ada yang mengetahuinya.”
Aku mendesah. Tak
mampu berkata-kata. Kurasakan tubuhku tiba-tiba bergetar hebat. Aku
menatap mata mbak kinan tak berdaya. Berharap mual diperutku tak
meloncat keluar. Bayangkan! Bahkan perempuan jadul ini lupa menggosok
giginya sebelum keluar rumah!
“Kira-kira siapa pembunuhnya ya, Pit?”
Ya ampuuunnn…ternyata
perempuan ini tak hanya jorok dan jadul. Dia bahkan memiliki otak
sekecil udang. Betapa bodoh menanyakan siapa pembunuhnya. Sedangkan
kepolisian sendiri masih melakukan penyelidikan.
“Oh Tuhan…betapa malang nasibku dikerumuni orang-orang bodoh seperti mereka.”
“Apa modus yang melatarbelakangi pembunuhan ini, Pak?”
Pertanyaan khas yang
biasa dilontarkan wartawan tertangkap di telinga. Aku menoleh cepat.
Kulihat kepala polisi sedang berdiri berhadapan dengan beberapa
wartawan. Aku hendak bergerak mendekat, saat kurasakan getar tubuhku
semakin hebat.
“Oh tidak! Aku harus mampu bertahan! Harus bisa menyimak baik-baik percakapan mereka.”
“Perampokan! Untuk sementara itulah kesimpulan kami.”
“Apa?? Perampokan??” Seruku tak percaya.
Kurasakan kepala Mbak
Kinan menoleh dan menatapku dengan heran. Aku tak menghiraukannya. Aku
terlalu sibuk menahan getar tubuhku yang tak mau diam. Aku bahkan
terlalu sibuk menenangkan diriku dari keterkejutan.
Bagaimana bisa mereka
menyimpulkan perampokan? Bodoh! Perampok mana yang mau susah payah
mengunci kembali pintu rumah korban hasil jarahan mereka? Perampok mana
yang mau mengotori tangan mereka dengan membunuh perempuan tua yang tak
bisa melihat jelas? Mata Eyang sudah tertutup selaput katarak yang
tebal! Bahkan perempuan itu terlalu tua untuk bisa melawan. Bodoh!
“Keadaan rumah berantakan dan semua barang berharga hilang!”
“Dasar polisi bodoh!
Eyang tak memiliki barang berharga! Bahkan dia hidup hanya mengandalkan
sisa gaji almarhum suaminya yang bekas tentara!”
Aarggghh…hilang sudah
kesempatanku menikmati saat-saat menegangkan seperti cerita dalam novel
thriller yang sering kubaca. Pupus sudah kesempatanku menjadi sosok
pembunuh berantai seperti dalam cerita!
Hancur semua rencana
yang sudah kupersiapkan berminggu-minggu lamanya! Sia-sia semua kerja
kerasku mempelajari cara tokoh pembunuh itu menjalankan aksinya! Bahkan
aku telah menghabiskan waktuku yang berharga, hanya untuk beramah tamah
dengan perempuan tua yang suka menghina!
“Hancur semua!” Teriakku dengan amarah meluap.
“Dan semua karena
kebodohan kalian! Ya! Kalian adalah manusia-manusia egois yang tak tahu
malu. Kemana kalian seminggu ini saat Eyang Karti tak terlihat menyirami
bunga di sore hari? Kemana kalian seminggu lalu saat Eyang mengerang
kesakitan karena aku membuat kakinya lumpuh dengan sebongkah batu?
Kemana kalian saat aku meminuminya racun tikus? Kemana kalian?
“Terlalu sibuk mengejar harta? Hingga tak pernah tahu perempuan tua itu terus berusaha mempermalukanku di manapun kami berjumpa?
“Kemana kalian selama
ini saat nenek tua itu mengataiku pelacur hanya karena bunganya tak
sengaja kuinjak? Kemana kalian saat Eyang Karti merobek-robek hasil
jahitanku hanya karena tak sesuai pesanannya? Kemana kalian saat hari
demi hari nenek keparat itu menyakitiku tanpa ada jeda. Kemana kalian?”
Aku terus mengumpat
dan berteriak. Tak menyadari kesunyian yang tiba-tiba tercipta. Tak
menyadari bahwa umpatanku tak hanya di dalam hati saja. Tak menyadari
apapun sampai tiba-tiba kedua tanganku terikat.
Aku tercekat. Menatap
bingung orang-orang yang melihat ke arahku dengan tatapan penuh
kengerian. Tak mengerti saat dua sosok besar mendorongku ke arah mobil
polisi di samping mobil jenazah. Dan aku tak mengerti saat tiba-tiba
kegelapan mengukungku hingga aku sesak nafas.
Hanya satu yang
kuingat sebelum semuanya gelap. Karena semalaman benakku tak mau diam,
maka aku menelan obat penenang melebihi yang dokter sarankan!
***
goresan cerita Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar