Seruni terbangun dengan wajah pucat. Bajunya basah oleh
keringat. Nafasnya memburu seolah habis berlari puluhan kilometer tanpa jeda.
Jantungnya berdetak keras. Gambaran mimpi itu masih terbayang jelas. Ketakutan
itu masih menguasai jiwanya.
Dengan tangan gemetar. Seruni menekan tombol lampu kamar di
kanan atas ranjang. Meraih gelas di atas meja setelah kamar terang benderang.
Meneguk isinya hingga tuntas. Mencoba menghilangkan ketakutan yang masih
tersisa.
Ketakutan yang terus saja menguasainya meski mimpi itu
selalu berulang. Ya! Mimpi itu akhir-akhir ini sering mengganggu tidurnya.
Mimpi yang entah apa maknanya. Yang dia sendiripun tak tahu kapan tepatnya
mimpi itu mulai mengganggunya.
“Mimpi yang berulang adalah teriakan alam bawah sadar.” Kata
Nastiti saat dia menceritakan tentang mimpi-mimpinya.
“Aku tak mengerti. Apa yang ingin kuteriakkan? Selama ini
aku tak menyimpan beban. Kau tahu, bukan? Aku tipe easy going. Semua tak ada yang kubuat rumit. Bahkan ketika
kerumitan itu terjalin.”
“Mungkin itu teriakan alam bawah sadarmu atas lamaran Damar.”
Damar! Lelaki istimewa dalam hidupnya. Satu-satunya lelaki
yang menghargainya. Memandangnya beda dari lelaki kebanyakan. Ahh...benarkah
apa yang dikatakan Nastiti? Apakah lamaran Damar sebenarnya membebaninya?
Baiklah! Mungkin awalnya memang lamaran Damar membebaninya.
Bukan karena dia tak mencintai lelaki itu. Bukan juga karena pernikahan tak
pernah ada dalam daftar rencana hidupnya. Tapi karena keadaan dirinya yang tak
mungkin bisa menikah dengan lelaki itu.
“Ini bukan sinetron, Seruni. Jangan kau dramatisir
kehidupanmu. Banyak orang tua yang tak lagi memilih menantu dari bibitnya. Kau
cukup cantik, sukses, baik dan berpendidikan. Itu sudah cukup jadi modalmu
untuk menjadi menantu siapapun.”
Kata-kata Nastiti jugalah yang akhirnya membuat masalah itu
terasa ringan. Tak lagi membebaninya. Dia bisa melihat masalah itu dengan
pikiran tenang.
Jika memang Damar adalah jodohnya, maka halangan apapun tak
akan mampu memisahkan mereka. Dan begitu juga sebaliknya. Apapun usahanya, jika
Damar bukan jodoh yang baik menurutnya. Maka mereka tak akan pernah bisa
bersatu dalam pernikahan.
Apalagi dia sudah menceritakan semua latar belakang
keluarganya pada Damar. dan tanggapan positif Damar sungguh melegakannya.
“Setiap orang memiliki kisah masa lalunya sendiri-sendiri, Seruni.
Siapa dan bagaimana keluargamu tak akan merubah penilaianku padamu. Yang
penting bagiku siapa yang kunikahi. Dan bukan bagaimana keluarganya.”
Nah! Sudah selesai bukan? Masalah lamaran Damar memang tak
lagi menjadi masalah baginya. Dan dia juga sudah mempersiapkan diri untuk
bertemu dengan calon mertuanya minggu depan.
Jadi apa sebenarnya yang ingin diteriakkan alam bawah
sadarnya? Apa arti mimpi-mimpinya yang berulang?
Seruni menggeram pelan. Mengibaskan rambut panjangnya.
Menghalau bayang mimpi itu dari kepalanya. Melemparkan tubuhnya kembali ke atas
ranjang. Dan mencoba sekali lagi membuat dirinya terlelap.
***
“Ibu sakit?” Tanya Seruni cemas saat suara Yu Nah lah yang
ternyata terdengar di gagang telphon genggamnya.
“Ibu baik-baik saja, Mbak. Ibu pesan supaya Mbak pulang
secepatnya.” Kata-kata Yu Nah tak mampu menenangkan kecemasannya. Pesan ibu
yang menyuruhnya pulang membuat perasaan khawatir menguasainya.
Yu Nah dulu teman seprofesi ibunya. Yang menjalani hari tua
dengan menemani ibunya di rumah. Agar ibu tak terlalu merasa kesepian. Seperti
permintaan Seruni setelah dengan berat hati menerima keputusan ibu untuk
menetap di Jogja.
“Ada apa, Yu?”
“Ndak tahu saya, Mbak. Kata Ibu, pulangnya gak usah
sekarang. Nanti saja kalau Mbak Seruni lagi gak sibuk.”
Pesan dari ibu memang tak mengharuskannya pulang hari ini.
Tapi kata ‘secepatnya’ membuat hati Seruni tak tenang seharian. Berbagai
pertanyaan berputar di kepalanya. Berbagai prasangka buruk menyerbu pikirannya.
Membuat Seruni tak tenang bekerja.
Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di Jogja? Apakah ibu
baik-baik saja? Sakitkah ibu? Kenapa tiba-tiba ibu menyuruhnya pulang? Padahal
baru tiga hari lalu dia menelphon ibu, saat dia mengabarkan rencana keluarga Damar
untuk melamarnya. Saat itu ibu terdengar baik-baik saja. Menyambut gembira
rencana mereka. Bahkan ibulah yang meyakinkannya untuk tak perlu takut akan
ditolak keluarga Damar. Bahwa Seruni memiliki banyak kelebihan untuk diterima
sebagai menantu setiap ibu di dunia.
Jadi kenapa tiba-tiba ibu jadi penuh rahasia? Mengatakan
keadaannya baik-baik saja. Tapi meminta Seruni secepatnya pulang. Menyuruh Yu
Nah menelphonnya dan bukan beliau sendiri yang berbicara dengannya.
Ada apa?? Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu? Apa yang
begitu penting di Jogja hingga ibu menyuruhnya pulang?
Telphon dari Yu Nah tadi siang benar-benar mempengaruhi
konsentrasinya. Membuat hatinya diliputi kecemasan. Membuat jantungnya berdegup
keras. Membuat Seruni akhirnya memutuskan membatalkan rapat staf. Menyerahkan
urusan kantor pada Nastiti dengan setumpuk pesan. Dan segera terbang ke Jogja
tanpa persiapan apa-apa. Langsung berangkat dari tempatnya bekerja. Tanpa
membawa baju ganti dan seluruh perlengkapan bepergiannya.
***
Dan di sinilah dia sekarang. Di ruang tamu rumah ibunya di Jogja.
Duduk santun mendengarkan ibunya bercerita. Tanpa tanya. Tanpa menyela. Hanya
mendengarkan!
Sesekali dia mengamati wajah ibunya yang mulai penuh
kerutan. Sesekali melirik rambut yang mulai memutih di kepalanya. Sesekali
bersirobok tatap dengan mata yang selalu memancarkan kasih sayang di depannya.
Ibu memang baik-baik saja seperti kata Yu Nah. Tak terlihat
gurat sakit di wajahnya. Tak ada satupun pertanda bahwa ibu menderita. Wajah
itu masih sangat cantik meski sudah menua. Segar dan sehat.
Jadi apa sebenarnya maksud ibu menyuruh Seruni pulang? Hanya
untuk mendengarkan ibu bercerita tentang masa lalunya? Benarkah hanya untuk
itu? Untuk apa? Seberapa pentingnya cerita itu sampai-sampai ibu menyuruhnya
pulang? Seberapa pentingnya cerita itu sampai-sampai ibu mengganggu
kesibukannya?
Tidakkah ibu paham bahwa Seruni sudah tahu semua ceritanya? Seruni
toh anak ibu. Yang berpuluh tahun tinggal bersamanya. Seruni juga tidak buta.
Dia juga bukan anak bodoh yang tak tahu kenapa ibu sering meninggalkannya
malam-malam saat mengira Seruni sudah terlelap.
Dia juga paham kenapa ibu merubah penampilannya setiap
malam. Mengolesi wajahnya dengan berbagai alat make-up hingga terlihat menor di
mata Seruni. Mengganti daster lusuhnya dengan pakaian terbuka di sana sini.
Meninggalkan Seruni tanpa berpesan apa-apa. Dan pulang sebelum ayam berkokok di
luar.
Seruni tahu apa yang dikerjakan ibunya di luar rumah. Meski
saat kecil Seruni belum paham artinya. Tapi olok-olok teman sebaya membuatnya
paham bahwa apa yang dikerjakan ibu memang bukan pekerjaan yang pantas.
Tapi apakah selama ini Seruni mempermasalahkannya? Apakah
selama jadi anak ibu, Seruni memprotesnya?
Tidak! Bahkan untuk sekedar bertanyapun Seruni tak pernah.
Dia tahu ibu melakukannya untuk Seruni. Untuk membiayai hidup mereka berdua.
Untuk menyekolahkan Seruni hingga sarjana. Hingga akhirnya Seruni sekarang bisa
bekerja di tempat yang mapan. Hidup mewah dan bisa mencukupi kebutuhan ibu
hingga tak perlu lagi bekerja.
Seruni tahu keadaan ekonomi merekalah yang memaksa ibu
melakukan pekerjaan itu. Karena itu dia tak pernah mencela pekerjaan ibu. dia
tak pernah merendahkan ibu. Seruni tetap mencintainya. Tetap menghormati ibu
layaknya perempuan terhormat. Tetap menganggap ibu perempuan hebat dan
istimewa.
Jadi tak ada gunanya bukan ibu bercerita tentang semua itu?
“Ibu sudah lama menjalani profesi itu. Bahkan sebelum kamu
ada.”
Nah! Mungkin bagian ini memang Seruni baru mengetahuinya.
Selama ini dia pikir ibu terpaksa melakukannya demi menghidupi Seruni. Setelah
merasakan beratnya menghidupi seorang anak tanpa suami.
Tapi apa bedanya? Sebelum atau sesudahnya tak membuat
penilaian Seruni berubah.
“Sempat ibu memutuskan berhenti. Saat lelaki itu mendekati
ibu dan menjanjikan pernikahan.”
Seruni menggeser duduknya. Dua jam lamanya dia duduk di
bangku ini. Pantatnya sudah terasa tak nyaman. Ingin rasanya Seruni berbaring
sambil mendengarkan ibu bercerita. Dan terlelap dalam pelukan lengan tua itu
seperti dulu. Seperti masa kecilnya yang selalu dipenuhi kasih sayang ibu.
“Ibu begitu senang membayangkan akan keluar dari pekerjaan
yang menjijikkan itu. Begitu senang ada lelaki yang mau menikahi ibu. Hingga
ibu tak berhati-hati dan...hamil.”
Oh jadi dia adalah janin yang tumbuh sebelum pernikahan?
Yang sering disebut orang-orang itu sebagai anak haram? Sebutan yang sedari
dulu tak pernah disetujuinya meski dia belum tahu bahwa diapun ternyata
termasuk salah satunya.
Seruni memang tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari
ibunya saat dia menanyakan siapa dan di mana ayahnya. Hingga akhirnya dia berhenti
untuk bertanya. Berhenti mencari tahu siapa lelaki yang seharusnya dia panggil
ayah. Dan menerima keadaan itu begitu saja.
“Begitu senangnya hingga lupa satu hal. Bahwa perempuan
seperti kami tak pernah berhak mengharapkan pernikahan. Bahwa perempuan seperti
kami tak boleh berharap banyak pada pria yang mendekat. Bahwa kata-kata cinta
mereka hanya sebuah cara untuk mendapatkan pelayanan gratis saja.”
Ohh...andai ibu tahu. Bahwa anak dari perempuan seperti
ibupun punya pemikiran yang sama. Setidaknya Seruni! Ya! Andai ibu tahu selama
inipun Seruni selalu merasa tak berhak mendapatkan lelaki dari keluarga
baik-baik. Tak pernah berharap banyak dari hubungannya dengan Damar. Bahkan
lamaran Damarpun tak pernah dia tanggapi dengan serius. Selama orang tua Damar
belum tahu latar belakangnya, Seruni belum berani memupuk harapan.
Tanpa mampu dicegah, bayangan Damar menyelusup relung Seruni.
Menguasai pikiran Seruni. Membuat Seruni tak lagi mendengar kata-kata ibunya.
Hingga tiba-tiba telinganya menangkap nada tercekat dalam suara ibunya.
“Banyak darah.... Dan ibu bukan saja kehilangan bayi itu.
Tapi juga kewarasan ibu.”
Seruni ternganga. Dia memang tak mendengar bagaimana awal
mula cerita ibu sampai kata ‘banyak darah’ terdengar di telinganya. Dia memang
larut dalam lamunannya. Tapi kalimat setelah itu membuat jantungnya berdetak
keras. Membuat Seruni tak mampu lagi membendung tanya di kepalanya.
“Maksud ibu? Bayi itu bukan aku?”
“Tentu saja bukan, nduk. Bayi itu...pergi. Bersamaan
menghilangnya lelaki itu.”
“Lantas aku?”
Hampir tiga jam dia duduk mendengarkan cerita ibunya. Selama
itu tak pernah terbersit dihatinya arah dari cerita ibu sebenarnya. Selama itu
dia hanya mengira akan mendengarkan cerita yang membosankan. Dan sekarang? Ohh
inikah maksud ibu menyuruhnya pulang? Inikah maksud semua ini?
“Ibu kehilangan kewarasan saat itu Seruni. Ibu baru keluar
rumah sakit. Dan ibu melihatmu. Di sana. Di taman itu. Main sendirian.”
“Di mana bu?” Desis Seruni tajam.
Tak ada gunanya mendengarkan lanjutan cerita. Tak ada
gunanya lagi bagi Seruni. Tak ada pentingnya apa alasan ibu melakukannya. Yang Seruni
tahu bahwa dia bukan anak pelacur itu!
“Bu?” Desak Seruni saat melihat perempuan yang selama ini
dipanggilnya ibu hanya diam membisu.
“Ibu tak tahu, nduk. Ibu...lupa. Ibu saat itu kehilangan
kewarasan. Ibu gila.”
“Di mana letak rumah sakit itu? Jakarta?”
Perempuan tua itu tak menjawab. Hanya menggeleng dan menatap
Seruni dengan sorot mata yang sama. Penuh kasih sayang!
Ahh! Bagaimana perempuan itu masih bisa menatapnya dengan
penuh sayang? Dia toh tak punya perasaan. Bisa-bisanya dia memisahkan anak dari
orang tua kandungnya. Tega sekali dia membiarkan orang lain sedih dan kebingungan
kehilangan anaknya.
“Maafkan ibu, nduk.”
“Maaf ibu tak berarti banyak, bukan? Toh Seruni tetap tak
tahu siapa orang tua kandung Seruni. Teganya ibu melakukan ini! Tidakkan ibu
memikirkan orang tua anak itu? Setidaknya...tidakkan ibu mencari tahu siapa
mereka? Untuk Seruni. Untuk saat ini.”
“Maaf, nduk. Ibu tak memikirkannya.”
Tak ada penyesalan di mata tua itu. Tak ada setitikpun rasa
bersalah di mata ibunya. Kenyataan itu membuat hati Seruni remuk redam. Membuat
Seruni tahu siapa perempuan tua yang duduk di depannya.
Egois! Ya! Perempuan itu sosok paling egois yang pernah
dikenal Seruni. Betapa teganya dia melakukan ini pada Seruni. Betapa teganya
dia menyakiti hidup banyak orang hanya demi kepentingannya. Hanya demi
kesenangannya. Hanya demi kebahagiaannya!
“Oh shit! Tahukah ibu
arti semua ini bagi Seruni? Tidakkan ibu tahu ini menyakiti Seruni? Untuk apa
ibu mengatakannya pada Seruni? Untuk apa bu? Toh ibu bahkan tak terpikir untuk
mencari tahu siapa orang tua Seruni.”
“Ibu.... Ahh, ibu menceritakan ini agar kau tak perlu malu
lagi pada keluarga Damar nduk. Agar kau tak ragu lagi menerima lamaran Damar.
Agar keluarga mereka mau menerimamu.”
Kemarahan yang bergejolak dalam dadanya seketika meledak. Seruni
bangkit dari posisi duduknya. Menatap perempuan itu dengan tajam. Dengan sorot
mata marah. Kemarahan yang berbalut kesedihan.
“Sejak kecil aku tahu ibuku pelacur. Sejak itu pula tak
sedikitpun luntur cintaku padamu. Tak setitikpun aku menganggapmu sampah. Kau!
Tetap perempuan terhormat di mataku.”
Perempuan tua itu masih dalam posisi duduknya. Masih
menatapnya dengan penuh kasih sayang. Tatapan yang tak mampu meluruhkan amarahnya.
“Karena itu...hanya lelaki yang bisa menerima ibukulah yang
pantas menjadi suamiku. Tidakkah kau tahu apa artinya itu? Aku menghormatimu,
bu. Di mataku, kau satu-satunya perempuan terhormat. Dan ternyata penilaianku
salah.”
Mata yang menyorotkan kasih sayang itu kini berlinang air
mata. Linangan yang justru membuat amarahnya semakin memuncak.
“Ternyata kau...kau perempuan jahat!!”
Dan disambarnya tas kerja di atas meja dengan geram. Dia
harus segera pergi dari rumah ini. Dari depan perempuan tua ini. Atau kemarahan
itu akan meledak tak terkendali. Karena kemarahan itu sudah berbalut sakit
hati. Sudah hampir berubah jadi benci.
Tanpa menoleh lagi Seruni melangkah cepat meninggalkan
rumah. Meninggalkan perempuan tua yang sesenggukan di bangkunya.
Meninggalkannya begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya. Dengan membawa kemarahan dan
kebencian dalam dadanya!
***
“Kenapa harus menipunya?” Suara Yu Nah menghentikan isak
perempuan tua itu.
Perempuan itu mengusap air matanya pelan dengan lengan
bajunya. Beranjak dari duduknya dengan badan lemas. Menatap sahabat yang
mengetahui seluruh rahasia hidupnya itu dengan sorot mata penuh duka. Sorot
mata yang membuat Yu Nah menyesali kebohongan paling mengerikan yang terjadi di
ruang tamu ini.
“Seorang ibu akan melakukan apapun untuk kebahagiaan
anaknya. Bahkan jika kebahagiaan itu dengan memutus tali darah!”
***
Goresan Cerita Rinzhara