Komplek pemakaman sudah mulai sepi. Satu demi satu
sosok-sosok duka itu mulai melangkah pulang. Meninggalkan gundukan tanah basah
yang penuh bunga berwarna. Meninggalkan kesedihan mereka menggantung di awang-awang.
Melangkah pulang untuk melanjutkan hidup mereka. Menunggu saat kematian mereka
tiba!
Setidaknya satu dari mereka akan segera menyusul jasad
perempuan di bawah gundukan tanah basah itu. Secepatnya!
***
Sosok perempuan itu berjalan lambat. Mengedarkan tatap ke
seputar makam. Sebelum melangkah pelan menuju gundukan tanah yang masih basah.
Langkahnya seolah membawa beban. Kepalanya tertunduk seolah takut dikenal.
Telapak tangan kanannya mencengkeram erat tali tas bahunya dengan tegang.
Seharusnya memang dia tak berada di tempat ini. Setidaknya
jangan secepat ini. Seharusnya dia bisa menahan diri untuk beberapa hari. Atau
cukup mengamati dari kejauhan dengan sembunyi. Akan tampak aneh bagi orang lain
jika melihatnya di sini. Akan menimbulkan kerutan heran di dahi.
Bahkan mungkin akan menimbulkan kecurigaan yang dia takuti.
Tapi sudahlah! Toh dia sudah terlanjur ada di komplek
pemakaman ini. Sudah berdiri termangu semeter dari gundukan tanah di depannya.
Tak sanggup melangkah mendekat. Tak sanggup menaburkan warna warni bunga yang
dibawanya. Dia hanya mampu menatap nisan kayu itu dengan ekspresi tak terbaca.
Mengeja dalam diam nama Nasya yang tertulis di atasnya.
“Ahh..maafkan aku, Nasya.”
Suara perempuan itu hanya berupa gumaman tanpa suara. Gerak
bibirnyapun hampir tak terbaca. Raut mukanya dibebani rasa bersalah yang
teramat dalam.
Berita kematian Nasya memang mengejutkan. Bagaimana tidak?
Baru dua hari yang lalu dia melihat senyum Nasya yang ceria berlatar ombak
pantai Kuta. Baru seminggu lalu dia membaca ungkapan bahagia Nasya akan
kesembuhannya dari virus kanker yang mematikan. Baru sebulan lalu Nasya mengabarkan
kemajuan kesehatannya setelah mengikuti kemoterapi berbulan-bulan.
Dan tiba-tiba, pagi ini, dia mendapati berpuluh-puluh ucapan
bela sungkawa di wall Nasya. Tanpa tanda. Tanpa kabar kanker itu kembali
menyerang. Tanpa peringatan dan firasat! Oh Tuhan... bagaimana dia tak
terpuruk? Bagaimana dia tak terpukul mendapat berita duka itu?
Karena dia sudah merasa begitu lega seminggu yang lalu. Karena
hatinya sudah kembali terasa ringan. Beban kutukan tanda lahir di punggung
kirinya tak lagi memberatinya. Bahkan dia kembali menganggap kutukan itu hanya
mitos semata.
Seperti sebelumnya. Seperti sebelum kematian Ely sebulan
lalu!
Ahh... bahkan sebelumnya dia tak pernah menganggap serius
omongan perempuan tua itu. Perempuan yang berprofesi sebagai dukun beranak di
kampungnya. Yang menatapnya dengan penuh kengerian saat melihatnya. Saat perempuan
tua itu ingat dia adalah bayi yang memiliki tanda lahir hitam di punggung
kirinya. Saat itu, berpuluh tahun lalu, dengan suara bergetar perempuan tua itu
mengatakan tentang makna tanda hitam di punggung kirinya.
“Kau memiliki kekuatan setan. Kau akan menimbulkan banyak
kematian hanya karena sedikit kebencian!”
Perempuan itu bergerak gelisah. Hatinya kembali dipenuhi
rasa bersalah. Rasa bersalah yang kembali menghinggapinya. Yang kembali meneror
hidupnya. Yang mengejarnya sepanjang waktu. Membuat malam-malamnya terasa lebih
panjang. Membuat matanya tak bisa terpejam.
Bahu perempuan itu tersengal pelan. Menahan isak yang siap
tumpah. Wajahnya dipenuhi keraguan sesaat. Sebelum akhirnya melangkah pelan.
Mendekat ke arah gundukan tanah yang penuh bunga berwarna. Menyentuh pelan
nisan kayu dengan tangan kirinya.
“Aku tak pernah membencimu, Nasya. Aku tak pernah
menginginkan kematianmu. Aku...”
Dan suara perempuan itu tertelan isak. Tubuhnya menggigil
oleh sedu sedan. Untuk beberapa lama sekeliling gundukan tanah hanya diwarnai
isak. Dan desau angin senja yang menggoyangkan dahan-dahan ilalang.
“Oh Nasya.... Aku bahkan tak lagi menginginkan Jo sejak
lama. Sejak sebelum semuanya menjadi berantakan. Tidak lagi, Nasya! Tidak
lagi!”
Hening sesaat. Hanya gemerisik ilalang di sebelah kanan
gundukan tanah yang bersuara. Perempuan itu sibuk menghapus isak.
“Jo tak lagi berharga bagiku. Dan kau mengetahuinya, Nasya. Kau
sudah tahu bahwa aku tak lagi menginginkan Jo. Bukankah aku sudah berulang kali
mengatakannya padamu? Pada Ely?
“Jadi... jadi semuanya sudah berakhir bagiku, Nasya. Semuanya
sudah berakhir. Tak ada kebencian di hatiku. Buatmu... juga Ely.”
Sedu kembali menelan suara perempuan itu. Bahunya bergetar
hebat. Hingga tubuhnya melemah. Hingga dia terpuruk dalam duka dan isak. Terhempas...
bersimpuh di samping kiri makam.
“Jo adalah kesalahan. Bagiku, Jo hanyalah lelaki pecundang! Lelaki
yang gemar menebar kata cinta pada setiap perempuan yang dikenalnya. Lelaki yang
menebarkan kebencian di antara perempuan-perempuan di sekelilingnya. Lelaki itu
bahkan selalu melarikan diri saat kita saling membenci. Berlari menjauhi kita. Mencari
kesenangan di tempat lain. Sementara kita terus saling membenci.
“Lelaki itu memang benar-benar lelaki sampah, Nasya. Lelaki yang
tak pantas mendapatkan cinta kita. Lelaki pecundang!!”
Gemerisik ilalang di sebelah kanan makam membuat perempuan
itu terdiam sesaat. Menengadahkan kepalanya ke arah awan hitam yang melintas. Merasakan
desau angin senja yang bertiup kencang.
“Dan aku menyesal telah terperangkap di dalamnya. Aku
membenci diriku sendiri yang telah bodoh terayu olehnya. Aku mengutuki diriku
sendiri yang melayang saat dia menjelek-jelekkan istrinya untuk mencuri hatiku.
Dia.. dia... hanya lelaki pecundang yang menjelek-jelekkan pasangannya untuk
memikat perempuan lain, Nasya. Hanya lelaki pecundang yang melakukannya. Dan lelaki
keparat itu tak berhak mendapatkan cinta kita. Aku, kau dan Ely!”
Tangan perempuan itu bergetar hebat menahan amarah. Kilat
kebencian tampak jelas pada kedua bola matanya yang basah.
“Lelaki itulah yang seharusnya menempati posisimu saat ini, Nasya.
Lelaki itu yang seharusnya mati karena kutukan tanda lahirku. Bukan kau! Bukan Ely!
Karena hanya Jo lah yang aku benci!”
Gemerisik ilalang semakin keras terdengar. Angin sore
berhembus semakin kencang. Perempuan itu kembali mendongak. Wajahnya
menyiratkan kekhawatiran.
Perlahan, perempuan itu beranjak dari duduknya. Sejenak
menengadah. Kemudian menatap rumpun ilalang yang bergerak gelisah. Bergemerisik
tak tenang.
“Aku harus pulang, Nasya. Aku... maafkan aku. Aku tak pernah
bermaksud membunuhmu. Aku tak pernah membencimu. Aku... aku bahkan tak
menginginkan kematianmu.”
Dan perempuan itu berbalik cepat. Melangkah menjauhi makam. Bergegas.
Tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.
***
Berdiri termangu di balik rumpun ilalang. Menatap punggung
perempuan yang perlahan menghilang dari pandangan. Sibuk dengan kecamuk rasa. Sibuk
mencerna apa yang barusan terdengar.
Dan masih juga tak mampu percaya!
Bagaimana bisa seorang intelektual seperti Pradipta percaya
tentang mitos?
Bodoh! Hanya orang bodoh yang percaya hal-hal di luar nalar.
Dan Pradipta memang perempuan bodoh. Ya! Karena hanya perempuan bodoh yang
percaya kata-kata lelaki pecundang. Hanya perempuan bodoh yang mabuk oleh
rayuan lelaki beristri.
Hanya perempuan bodoh yang terpikat oleh cerita kejelekan
istri sah sang lelaki. Dan hanya perempuan-perempuan bodohlah yang bisa tertipu
memakan kiriman pizza yang tak pernah mereka pesan.
Tanpa mampu dicegah senyum sinis terukir di wajah. Masih jelas
dalam ingatan sinar terkejut di mata Nasya dengan binar harapan dan kegembiraan
saat menerima kiriman pizza yang kuantar. Pizza yang tak pernah dipesannya. Pizza
yang telah kutaburi bubuk kematian.
Hahahaaa...pizza yang dia pikir dari pengagum rahasia. Naif!
Senaif Ely sebulan lalu. Yang lebih percaya kata-kataku
daripada instingnya saat mengenali penyamaranku dalam seragam kurir pengantar
pizza.
Hahhahaa...dan kenaifan merekalah yang mendekatkan mereka
pada kematian. Kebodohan merekalah yang membunuh mereka.
Aku, pizza dan bubuk mematikan itu hanya menjadi alat menuju
kematian yang mereka ciptakan sendiri.
Hahahaa...dan kebodohan itu juga yang akan mendekatkan
kematian pada Pradipta. Nanti... tak lama lagi! Pizza itu akan siap kirim.
***
goresan cerita rinzhara