“Dasar anak setan! Pergi dari hidupku! Semua ini salahmu! Kalau kau tak ada, aku pasti sudah bahagia! Kau yang membuat suamiku tak pulang! Kau yang membuatnya tak betah di rumah! Dasar anak jalang! Anak setan!”
Masih banyak kata-kata
kejam lainnya. Tak hanya cacian! Tapi juga tendangan dan pukulan. Yang
kesemuanya menyakitkan. Membuatku terus dikejar rasa ketakutan.
Membuatku selalu merasa bersalah. Membuatku selalu berpikir bahwa akulah
perebut kebahagiaan bunda. Bahwa gara-gara akulah maka suami bunda tak
pulang ke rumah.
Pikiran itulah yang
menuntutku untuk terus bersikap manis pada suami bunda. Menuruti semua
kata-katanya. Patuh pada semua permintaannya.
Saat itu aku berpikir,
hanya dengan membuat suami bunda senang. Maka bunda tak akan lagi
menyalahkan dan memarahiku habis-habisan.
**
Goyangan kereta itu
mengguncang tubuh Winda. Memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki
duduknya. Membuatnya bisa menarik nafas panjang. Lepas sesaat dari
kepiluan yang hadir di sampingnya. Kepiluan yang menyesakkan. Yang
membuatnya tak bisa berkata-kata.
Diraihnya botol air
mineral dari atas meja kecil di samping kanannya. Meneguknya cepat.
Menatap kegelapan yang berputar cepat di balik jendela kaca kereta api
senja.
Kereta api yang akan
membawanya ke Surabaya. Ke tempat seorang lelaki yang menunggunya dengan
gelisah. Lelaki yang menawarkan sebuah mimpi baginya!
Winda mendesah.
Goyangan kereta itu kembali mengguncangnya. Mengembalikan relungnya ke
dalam gerbong kereta. Ke samping kirinya. Dimana kepiluan itu kembali
menyelimutinya.
**
Tinggal berdua bersama
bunda bagai naik roaller coaster setiap detiknya. Bunda bisa menjadi
penyayang di suatu ketika. Dan berubah menjadi monster menakutkan di
detik berikutnya.
Sosok lemah lembut
yang penyayang itu tak lagi kutemukan dalam sosoknya. Terutama saat ayah
tak ada di rumah. Saat ayah kembali pergi ke pulau seberang untuk
bekerja.
Aku tak tahu kapan
mulanya. Yang aku ingat bunda jadi berubah sejak lelaki itu masuk ke
dalam kehidupan kami. Lelaki yang harus kupanggil ayah. Lelaki yang tak
setampan bapak.
Tidak! Sebenarnya tak
ada yang salah dengan lelaki itu. Meskipun lelaki itu tak tampan. Tapi
dia tak kalah penyayang dibanding bapak. Dia bahkan suka memanjakanku.
Menemaniku bermain boneka. Membuaiku dalam pangkuannya dan membelaiku
hingga terlelap.
Dia memperlakukanku dengan penuh cinta.
Karena itulah aku
menyukainya. Aku selalu menunggu saat-saat dia pulang ke rumah. Menunggu
saat-saat dia menemaniku bermain boneka. Saat-saat
dimana bunda kembali menjadi sosok lemah lembut yang penyayang.
Saat-saat aku tak lagi merasa kesepian ditinggal sendiri di rumah.
Profesi bunda sebagai
dokter satu-satunya di puskesmas desa kami membuatnya begitu sibuk.
Membuatnya sering meninggalkanku. Membiarkanku tumbuh sendiri dalam
kesepianku.
Karena itulah aku
selalu merindukan kehadiran ayah. Akan lebih mudah bagiku jika ayah di
rumah. Tak terlalu sepi. Tak terlalu menakutkan.
Dan ayah begitu
penyayang. Begitu memanjakanku. Begitu suka menimangku. Memelukku.
Membuaiku dalam pangkuannya dan membelaiku penuh sayang. Hingga aku
besar!
**
Alunan suara Fadly menyanyikan lagu ‘Kasih Tak Sampai’
menyelinap pelan. Membuyarkan kepiluan yang mencekam. Membuat Winda
mengangguk sungkan. Meraih Hpnya dan tanpa sadar desahan keras terlontar
dari mulutnya.
“Seandainya kau mau
menurutiku menggunakan pesawat. Tentu saat ini kita sedang menikmati
makan malam yang romantis di sini. Dan bukannya duduk bengong sendiri.”
Winda tak membalasnya. Menekan keypad Hpnya beberapa kali dan memasukkannya kembali ke tas.
Bukan tanpa alasan jika dia lebih memilih kereta. Dia butuh waktu lebih lama. Butuh waktu untuk kembali memikirkan keputusannya.
Dia tak ingin salah
langkah. Dia tak ingin kecewa pada akhirnya. Dan yang utama, dia tak
ingin keputusannya melukai banyak orang.
Winda harus memastikan
dulu bahwa semua perkataan Bram benar. Bahwa rumah tangganya memang
sudah tak bisa dipertahankan. Bahwa hanya perceraian yang bisa
menyelamatkan psikis putri kecilnya dari mendengar pertengkaran yang
terjadi antara mama papanya.
Winda kembali
mendesah. Kembali memperbaiki duduknya. Dan mengalihkan kembali
perhatiannya pada kepiluan di sampingnya. Kepiluan yang menyesakkan.
Tapi tak sanggup membuatnya lepas.
Kepiluan itu memikatnya. Menariknya ke dalam rangkaian kisah.
**
Hingga aku merasa tak
nyaman lagi berada diatas pangkuannya. Ada yang membuatku enggan.
Membuatku risih bila terlihat orang. Tapi ayah begitu suka menimangku.
Selalu berhasil menarikku. Mendudukkanku dalam pangkuannya. Membuaiku
sepertu dulu. Membelaiku penuh rasa sayang seperti yang sudah-sudah.
Sampai suatu saat
belaian itu terasa beda. Saat ayah berlama-lama membelaiku di bagian
dada. Berlama-lama. Memainkan jemarinya di sana. Membuat bulu kudukku
meremang. Membuatku melepaskan diri dari dekapannya.
“Kenapa Luna? Kau tak suka lagi belaian ayah?”
Bukan pertanyaan ayah
yang membuatku menunduk ketakutan. Tapi sorot matanya. Ada kilatan yang
tak kupahami maknanya. Tapi mampu membuatku merasakan rasa takut yang
sama. Rasa takut seperti saat bunda membawa sebilah bambu untuk memukul
pahaku jika dia kesal.
“Luna?”
“Aku..aku..”
Aku ingat. Aku bahkan
tak tahu bagaimana menjelaskan keenggananku pada ayah. Dan akhirnya
membiarkan ayah kembali meraihku dalam pangkuannya. Membiarkan saat ayah
kembali membelaiku pelan. Memainkan jemarinya di sana. Meremangkan bulu
halus di seluruh tubuhku. Membuatku bergerak gelisah. Tak tahu harus
bagaimana.
Hanya diam! Dan menuruti semua perintah ayah.
“Pejamkan matamu Luna sayang. Dan kau akan menyukainya.”
Bukan karena akan
menyukainya yang membuatku langsung memejamkan mata. Tapi lebih pada
rasa takut saat kembali melihat kilatan aneh di mata ayah. Kilatan yang
menggidikkan. Yang membuatku memejamkan mata erat.
Membiarkan saat ayah pelan-pelan membuka baju yang kukenakan. Terus membiarkan saat ayah kembali membelai dadaku tanpa halangan.
Telapak tangan ayah
yang menyentuh kulitku semakin membuatku meremang. Membuatku
menggelinjang kegelian. Hingga aku mendesah. Desahan yang berubah jadi
erangan saat ayah memindahkan tangannya untuk membelai tubuhku bagian
bawah.
Terus mendesah. Terus mengerang.
Erangan yang membuat
belaian ayah semakin cepat. Hingga menyakitkan. Hingga membuatku tak
mampu menahannya. Tak mampu menahan ledakan ingin meneriakkan kesakitan.
Kesakitan yang nikmat. Kesakitan yang membuatku melayang. Kesakitan
yang membuatku lepas!
Kesakitan yang mulai
kusuka. Mulai kunikmati rasanya. Mulai kurindukan saat ayah tak pulang.
Kerinduan yang membuatku gelisah. Membuatku nekad menghubunginya saat
aku tak kuat menahannya.
Membuatnya bergegas
pulang. Membuat ayah jadi sering pulang. Membuat bunda senang. Membuat
bunda menjadi sosok lebih ramah. Mulai jarang marah-marah. Mulai jarang
memukulku dengan bambu. Mulai jarang menyakitiku!
Hingga waktu berlalu. Hingga aku tahu bahwa apa yang kulakukan dengan ayah adalah hubungan yang tak pantas.
Aku masih terlalu
kecil waktu itu untuk mengerti. Aku bahkan belum menstruasi. Tapi aku
sudah tahu nikmatnya disetubuhi. Kenikmatan yang terus ingin kukecap.
Ingin terus kurasakan. Keinginan yang lama-lama tak mampu lagi kutahan.
Keberadaan ayah yang
bekerja di pulau seberang, membuatku sering merasa tersiksa dengan
keinginan untuk kembali mengecap kenikmatan.
Awalnya aku sering
membelai diriku sendiri. Saat ayah tak ada. Menggerayanginya sendiri.
Membuat diriku melayang sendiri. Membuatku memekik bebas sendiri.
Tapi lama-lama kenikmatan itu tak terasa lagi.
Aku butuh tangan lain.
Aku butuh orang lain. Untuk membelaiku. Untuk mengecupku. Untuk
membuatku melayang. Untuk membuatku merasa bebas. Saat ayah tak ada.
Karena itulah aku memasang jerat. Menggoda lelaki-lelaki bodoh dengan senyuman. Dengan kerlingan manja. Dengan suara mendesah.
Aku memikat mereka. Demi kenikmatan. Demi desakan keinginan yang tak lagi mampu kutahan.
Aku tak bisa lepas.
Aku tak bisa bebas dari kecanduanku mendapatkan belaian. Keinginan yang
tak tertahankan untuk dipuaskan. Dan aku melakukan semuanya. Semuanya!
Hingga virus itu kini
bersemayam. Menghuni tubuhku. Menggerogoti badanku. Virus mematikan yang
tak ada penyembuhnya. Virus yang menakutkan. Yang membuatku lari
meninggalkan rumah. Meninggalkan bunda. Meninggalkan ayah. Meninggalkan
semuanya. Untuk menyendiri. Untuk menyesalinya dalam sepi. Untuk
menyambut kematianku seorang diri!
**
Winda hanya bisa
terpana. Tak mampu berkata. Terus terdiam. Hingga tanpa sadar hari
merebak pagi. Hingga tanpa sadar kereta berhenti. Hingga Luna, perempuan
muda berusia tujuh belas itu pamit berdiri. Meninggalkannya seorang
diri. Dalam keterpanaan yang tak berakhir.
“Luna.” Desis Winda sedih.
Perempuan muda yang
dikenalnya di atas kereta. Yang duduk di bangku sebelah kirinya. Yang
menemaninya dengan rentetan kisah memilukan.
Luna! Korban keputusan
bundanya untuk kembali menikah. Dengan pria yang salah. Bunda yang
sibuk dengan dunianya. Dengan pencarian kebahagiaannya. Tanpa
menyertakan Luna. Tanpa memikirkan buah hatinya!
Tanpa tahu bahwa lelaki yang dinikahinya telah merenggut masa depan putri kecilnya!
Winda mendesah sebelum
bergerak pelan. Merapikan barang-barangnya yang berserakan. Melangkah
keluar dengan satu keputusan untuk Bram.
Ya! Keputusan yang didapatnya setelah mendengar rangkaian kisah Luna.
Ya! Dia tak ingin ada
Luna-Luna lain yang merasakan penderitaan akibat perceraian. Akibat
pernikahan kedua tanpa memikirkan perasaan sang anak.
Winda terus melangkah dengan tegap. Dengan menggenggam keputusan yang tepat. Untuknya! Untuk Bram. Untuk gadis kecil Bram!
***
goresan cerita rinzhara