Suara
bel pintu menghentikan kegiatanku memandangi toples-toples kaca di
freezer kecil dalam almari. Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul 7
malam tepat. Ranggakah? Hmm…andai saja lelaki itu belum membuat janji
temu denganku, tak kan kupedulikan suara bel pintu itu. Atau andai malam
ini bukan malam kasih sayang, sudah kuusir lelaki itu dari halaman
villa. Aku paling tak suka diganggu saat sedang menikmati pemandangan
indah di toples-toples kecil itu.
Kuperiksa
kembali penampilanku di depan cermin kamar. Sesudah kukembalikan
toples-toples kaca itu dalam freezer kecil dalam almari besar. Sebelum
aku bergegas menuruni tangga dan menyapa Rangga dengan ceria.
“Wah!” Seru Rangga saat kami tiba di balkon lantai dua.
Meski
matanya terlihat berbinar dan wajahnya menunjukkan keterkejutan. Tapi
hanya ‘wah’ penghargaannya untuk semua yang telah kulakukan.
Bukannya
aku berharap banyak. Tapi bukankah ada ungkapan yang lebih meriah dari
sekedar ‘wah’? Memeluk dan menciumku misalnya. Bukankah itu yang
seharusnya aku dapatkan?
Lihat
saja apa yang telah kulakukan untuknya! Meja bundar beralas sutra merah
muda itu begitu romantis dengan candle holder kuningan di tengahnya.
Dua piring beaf steak dalam potongan besar yang kumasak sendiri, tentu
saja luar biasa.
Aku
si perempuan instan, begitu ibu selalu menyebutku. Kini mau bersusah
payah turun ke dapur untuk memasak steak lezat hanya demi Rangga! Dan
lihat dua tangkai mawar merah itu! Istimewa bukan?
Bahkan
aku membuatkan tequila lezat dengan perasan lemon segar dan serbuk
chlorofom yang banyak di dalamnya. Pantas bukan jika aku mendapatkan
penghargaan yang lebih dari sekedar ‘wah’??
“Ah ya, Denisa.”
Aku
mengerjap. Kutekan rasa kesal itu dalam-dalam. Aku tak ingin menodai
malam kasih sayang ini dengan rasa marah. Tidak! Malam ini adalah malam
istimewa. Malam di mana Rangga akan mempersembahkan hatinya untuk
kusimpan.
“Malam ini…aku tak bisa berlama-lama.”
Oh…memang
tak akan lama, Ranggaku sayang. Makan malam ini akan berlangsung cepat.
Hanya sampai saat serbuk di dalam tequila itu menunjukkan reaksinya.
Dan selagi chloroform itu masih bekerja, akan kubawa kau secepatnya ke
kamar kasih sayang yang telah kusiapkan.
Kamar
di mana terdapat ranjang besar dengan bantal-bantal cantik berbentuk
hati warna warni. Dengan aneka peralatan bercinta yang menggairahkan.
Dan tentu saja yang tak boleh lupa. Satu buah toples kaca berisi cairan
kimia. Semuanya telah siap, Ranggaku sayang. Semuanya sudah menunggumu
di sana.
Nanti
akan kubuat kau melayang, Rangga sayang. Dengan cumbuan dan desah
memabukkan. Dengan menggunakan satu demi satu peralatan bercinta yang
membuat kau mengerang. Terus mengerang dengan keras. Hingga kau memekik
sejadi-jadinya. Meledakkan kepuasanku berhasil mendapatkan hatimu.
Ahh
ya! Tak perlu resah, Rangga sayang! Teriaklah sekencang yang kau bisa.
Tak perlu takut tetangga villa akan mendengar. Karena kamar itu telah
kupasang lapisan kedap suara. Jadi memekiklah yang keras, Rangga sayang!
Buat aku puas!
“Denisa?”
Aku
kembali tergagap. Kutatap Rangga dengan tanya. Kulemparkan senyum untuk
menutup debar jantungku yang mengeras. Dan berpura-pura kembali
memperhatikan Rangga yang terus berkomentar. Tentang villa tua dengan
arsitektur kastil eropa milik mendiang kakekku tersayang. Tentang
indahnya pemandangan pijar lampu kota di kejauhan. Dan tentang segala
sesuatu di sekitar villa yang terus membuatnya berdecak. Tapi tidak pada
tatanan meja yang kusiapkan!
Aku
mendengus pelan. Lelaki di manapun sama saja. Tak pernah menghargai
kerja keras perempuan. Tidak hanya Rangga. Bahkan Rizal lelaki terkutuk
yang telah kunikahi sepuluh tahun lalu itupun sama saja!
Apa
yang kurang dari diriku? Aku cantik dan menawan. Dengan tubuh indah
terawat. Dengan karir cemerlang. Dengan keahlian melayani lelaki keparat
itu di ranjang. Apa lagi yang kurang? Kenapa dia masih saja mencari
perempuan lain di luaran? Berulang-ulang mengkhianati pernikahan kami.
Berkali-kali membawa hatinya pergi. Hanya kembali saat bosan.
Tanpa penyesalan! Tanpa menyerahkan kembali hatinya untuk kusimpan. Tanpa janji untuk tak mengulangi pengkhiantan!
“Dari pagi aku mencoba menelphonmu, Denisa. Tapi hpmu tak bisa dihubungi.” Kata-kata Rangga mengejutkanku.
Aku
mengerjap. HP itu memang sengaja kumatikan dari pagi. Agar tak ada yang
menggangguku mempersiapkan semua ini. Agar kegagalan tahun lalu tak
terjadi lagi. Ya! Tahun lalu adalah tahun terburuk yang kualami. Tahun
di mana Rey, lelaki yang hatinya terpilih untuk kumiliki tak memberikan
pekikan keras seperti yang kuingini.
Ya!
Masih teringat jelas bagaimana Rey hanya menatapku dengan pasrah. Saat
aku mengmabil hatinya di kamar kasih sayang. Rey terlalu mabuk setelah
menenggak dua gelas tequila. Terlalu mabuk untuk memberikan pekikan yang
keras.
Aku menggeram kesal. Geraman yang tertangkap telinga Rangga. Membuat matanya menyorotkan rasa sesal.
“Maaf, kalau aku mengecewakanmu.”
Dahiku berkerut penuh tanya.
Ah jadi kau sadar bahwa reaksi ‘wah’ itu mengecewakanku? Lantas kenapa kau masih duduk menikmati beaf steak itu? Kenapa kau tak berdiri dan menghampiriku? Kenapa kau tak secepatnya memeluk dan mengecupku?
Ah jadi kau sadar bahwa reaksi ‘wah’ itu mengecewakanku? Lantas kenapa kau masih duduk menikmati beaf steak itu? Kenapa kau tak berdiri dan menghampiriku? Kenapa kau tak secepatnya memeluk dan mengecupku?
“Aku harus pulang. Istriku menunggu di rumah. Maaf Denisa…tapi aku sudah berusaha memberitahumu seharian.”
Tanya itu menghilang. Berganti dengan gambaran kegagalan yang terbayang di depan mata.
Tidak!
Ini tak boleh gagal. Sudah setahun aku menunggu malam ini. Sudah
setahun aku mencari lelaki terpilih. Sudah setahun lamanya aku tersiksa
berpura-pura mencintai Rangga. Dia tak bisa seenaknya pergi begitu saja!
Apa
dia pikir mudah mencari lelaki yang tepat? Lelaki yang menggunakan
ketampanannya untuk memikat perempuan. Lelaki beristri yang secara suka
rela menyerahkan hatinya untuk kusimpan. Apa dipikirnya mudah menahan
mual saat harus bermanis-manis dengan mereka? Lelaki yang senang
membawa-bawa hatinya ke perempuan lain untuk mencari kesenangan? Lelaki
seperti Rizal!
“Maaf
Denisa…mungkin ini menyakitimu. Tapi…kupikir ada sesuatu yang kau
butuhkan saat kau menelphonku kemarin. Aku tak menyangka kau telah
mempersiapkan kejutan ini untukku.”
Kenapa?
Apa yang tak kau sangka bisa kulakukan? Aku Denisa! Perempuan tangguh
yang bisa melakukan apa saja! Kau saja yang tak mengenalku, Rangga
sayang. Seperti Rizal yang tak pernah menyangka aku mampu menguburnya
hidup-hidup di halaman belakang villa sana.
“Oh Denisa…apa yang sebaiknya kulakukan agar tak mengecewakanmu?”
Yang
harus kau lakukan tentu saja tetap disini, Rangga sayang. Memang begitu
peraturannya. Seseorang yang telah melewati malam kasih sayang
bersamaku tak boleh kembali ke istrinya. Tubuhnya akan membusuk di
halaman belakang villa. Dan hatinya akan tersimpan rapi di freezer dalam
kamar kasih sayang. Hati itu akan menjadi milikku selamanya! Tak
mungkin lagi berpindah ke perempuan lain. Tak kan kuijinkan hati itu
seperti hati Rizal, Rangga sayang!
“Sebaiknya
kau mengetahui ini, Denisa. Selama ini kedekatan kita tak seperti yang
kau kira. Aku hanya menganggapmu sebagai sahabat. Tak lebih Denisa!
Maafkan aku…tapi aku mencintai istriku dan tak mungkin bagiku
mengkhianatinya.”
What??
Jika saja Rizal tiba-tiba bangkit dari kuburnya tentu tak semengejutkan
apa yang barusan kudengar dari mulut Rangga. Bagaimana tidak? Aku hanya
menginginkan hati yang memang sukarela diserahkan padaku. Tapi tidak
dengan hati yang setia. Tidak dengan hati yang bukan milikku!
Dan
tentu saja tidak dengan hati Rangga! Oh Tuhan! Jadi? Bagaimana aku akan
melengkapi koleksi hatiku? Lima hati! Seperti lima kali pengkhianatan
Rizal. Seperti lima kali Rizal membawa pergi hatinya!
Aku
menggeram dengan sangat keras. Saat Rangga sudah tak lagi ada di villa.
Toples kecil itu pecah berderai di atas lantai kamar kasih sayang.
Seperti hatiku yang pecah berurai menerima kegagalan.
Satu
demi satu keempat toples yang berisi hati itu berhamburan di lantai
kamar. Bersama serakan pecahan kaca. Bercampur dengan cairan di
antaranya. Berhamburan di sekeliling tubuhku yang mulai lemas.
Kulirik
arloji di pergelangan tangan dengan susah payah. Satu jam berlalu dari
saat berakhirnya makam malam bersama Rangga. Makan malam yang gagal!
Oh
Tuhan! Kenapa malam ini tak berjalan sesuai rencana? Kenapa kegagalan
yang harus aku terima. Padahal semuanya tampak sempurna. Dan seharusnya
semua berjalan lancar seperti sebelumnya.
Seperti
empat tahun belakangan. Di mana aku berhasil mengumpulkan hati para
lelaki mata keranjang dalam toples kaca. Menyayat dada mereka dengan
pisau operasi yang telah kusiapkan. Mengambil hati mereka dan
memasukkannya dalam toples kaca. Menikmati kemenanganku telah membalas
pengkhianatan Rizal!
Sekarang
semuanya gagal!! Kenapa justru sekarang kegagalan itu aku terima? Saat
semuanya sudah terlambat. Bagaimana aku bisa melunasi hutang dendam pada
Rizal? Tinggal satu hati milik Rangga, maka semuanya akan lunas.
Aaaarrgghh…bagaimana
aku bisa membayar semua dendam pada Rizal? Jika aku terlanjur menenggak
tequila itu tanpa prasangka kegagalan?
Kenapa sekarang? Kenapa justru saat aku begitu yakin semua akan berjalan sempurna?
Aaarggghhh….kuteriakkan
kemarahan yang menggumpal. Teriakan yang tak kan berarti apa-apa. Tak
akan bisa menyelamatkanku dari kematian.
Semua rencanaku gagal begitu saja. Kegagalan telak oleh sebuah kesetiaan.
Aku mengerang merasakan satu demi satu nafasku menghilang.
Tak ada kepanikan. Hanya rasa marah yang bergejolak. Kemarahan yang berkobar saat kulihat bayangan Rizal menertawai kegagalanku dengan rasa puas.
Tak ada kepanikan. Hanya rasa marah yang bergejolak. Kemarahan yang berkobar saat kulihat bayangan Rizal menertawai kegagalanku dengan rasa puas.
“Semuanya sia-sia!” Bisikku pelan di antara nafasku yang menghilang.
Satu-satunya rencanaku yang berjalan sempurna. Hanya serbuk arsenik yang kutaburkan dalam tequila!!
***
Goresan cerita Rinzhara