Dia
seharusnya mulai bangkit dan memulai rutinitasnya. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya,
menyiapkan segala keperluan mereka untuk sekolah dan membersihkan rumah agar
anak-anaknya tetap merasa nyaman menunggunya bekerja dengan mesin jahit tuanya
untuk mengais rupiah.
Tapi
rasa penat karena terjaga semalaman, rasa lelah karena beban ekonomi yang tak
berkesudahan dan beban kebimbangan yang ditawarkan Rasha, membuat dirinya tetap
diam berbaring dengan pikiran mengelana.
Tiga
bulan lalu tepatnya! Tiga bulan lalu semuanya berawal! Tiga bulan lalu saat
orang mulai jarang berkunjung ke butiknya, hingga rupiah yang tersimpan semakin
menipis di dompetnya. Hingga beberapa surat tagihan tak mampu dibayarnya!
Hingga dia mulai terseok dan sedikit bersorak saat melihat dua orang melangkah
masuk ke butiknya. Ya! Tiga bulan lalu kerut di keningnya semakin berlipat saat
melihat dua orang berkendara mewah berhenti dan masuk ke butiknya.
Jarum
jam menunjukkan angka sepuluh saat dua orang perempuan dengan penampilan
eksklusif melangkah masuk ke dalam butiknya, mengedarkan pandangan di seputar
ruangan dan berjalan melihat-lihat koleksi baju yang dipunyainya.
Dia
ingat saat itu dahinya berkerut menandakan keheranan. Tak mungkin mereka para pelanggan
yang datang untuk membeli atau memesan bajunya. Butiknya hanya untuk para
menengah. Bukan kelas mereka! Tak mungkin koleksi yang ada mampu membuat mereka
tertarik dan membelinya!
Tapi
diantara keheranannya, dia beranjak juga dari kesibukannya dibelakang mesin
jahit tua, menyambut kedua tamunya dengan ramah. Menanyakan keperluan mereka
dan menunjukkan beberapa koleksi terbaik yang dia punya.
Salah
satu dari kedua perempuan itu yang menyambut keramahannya dengan kadar yang
sama. Memborong koleksi terbaiknya dan terlibat pembicaraan akrab bagai dua
sahabat.
Perempuan
itu bernama Rasha, begitu anggun dan elegant, dengan blazer biru muda yang
berpotongan rapi sekelas butik mahal, dengan tas tangan bermerk terkenal berharga
jutaan dan dengan sepatu yang harganya tak kalah menyilaukan bagi Laras.
Atribut
yang pernah menjadi bagian hidup Laras dulu! Sebelum semuanya berubah, sebelum
kecelakaan merenggut salah satu kaki suaminya dan sebelum seluruh tabungannya
terkuras untuk menghentikan nanah yang terus mengendap di ujung potongan kaki
suaminya yang tersisa.
Atribut
yang mulai tampak asing baginya, setelah semua benda mahal itu berakhir di
tukang loak demi kepingan rupiah yang mampu mengganjal perut mereka dari rasa
lapar. Ya! Bulan-bulan yang teramat berat bagi mereka. Menyisihkan uang besar
untuk berobat dan mengais kepingan untuk mengganjal rasa lapar!
Hingga
uang besar tak lagi bersisa, hingga dia harus berlari mencari bantuan untuk
menutupi biaya berobat, hingga kebiasaan berhutang tak mampu lagi dihindarinya
dan semua itu akhirnya menjadi bebannya seorang saat suaminya memilih menyerah
dan meninggalkannya bersama anak-anak dan timbunan hutang yang memberati
bahunya.
Dan
perjuangannya menjadi pencari nafkah dimulai detik itu juga, tak ada waktu
untuk berduka, tak ada waktu untuk memanjakan kesedihannya! Dia mengusap air
matanya, mengesampingkan kedukaan ditinggal pergi suami tercinta dan mulai
membanting tulang untuk menafkahi kedua anaknya.
Apapun
yang menghasilkan uang dia lakukan, selama tak meninggalkan rumah, selama masih
bisa mengusap kesedihan kedua anaknya dan selama pekerjaan itu masih bisa
dilakukannya.
Dia
membuat adonan, menjadikannya jajanan dan menitipkannya di warung-warung
sekolah sambil menggendong anak terkecilnya yang masih berusia 9 bulan. Dia
membeli kain dan memotongnya, menjahit dan menjadikannya baju-baju indah,
menawarkannya ke teman dan tetangga sambil menemani anak pertamanya belajar dan
menghafal.
Berbulan-bulan
dia memeras keringat untuk bisa membayar tagihan bulanan yang terasa
menyesakkan. Tak ada waktu bergaul dengan teman, tak ada waktu bergembira dan
tak terbersit sedikitpun niat untuk menikah.
Dan
simpati akan kondisi ekonomilah yang mendekatkan Rasha padanya. Uluran
tangannya untuk membantu menjualkan baju-bajunya di tempatnya bekerja sedikit
banyak menolong keuangannya. Persahabatan dan kebaikan hati yang ditunjukkannya
membuat hari-hari beratnya tak lagi terlalu membebaninya.
Rasha!
Perempuan yang telah menikah sepuluh tahun tanpa anak. Tumor yang dideritanya
yang merenggut paksa rahim di perutnya. Karena itulah mereka dekat, karena
itulah dia tak sedikitpun curiga bahwa ada maksud tersembunyi dari uluran
persahabatan Rasha.
Perempuan
itu mendekatinya dengan ikatan sahabat dan merencanakan langkah-langkah yang
tertata agar dia bisa berkenalan dengan lelaki yang ternyata suami Rasha.
Yah,
Elang! Lelaki yang dikenalnya secara tak sengaja ternyata suami Rasha.
“Tak sengaja?” Bisiknya lirih mengandung
amarah.
Dia
memang tak mengira bahwa kedatangan Elang ke butiknya untuk menjahitkan celana
panjang sudah direncanakan. Bahwa bujukan atas penolakannya menjahit busana
pria telah dipersiapkan.
Ya!
Siapa yang menyangka? Perhatian dan kedatangan intensnya telah diatur Rasha!
Mereka berdua telah mengincarnya bahkan sebelum dia bertemu dengan Elang. Siapa
yang menyangka bahwa kedatangan Rasha ke butiknya bukan karena suka akan
koleksi bajunya? Tapi lebih karena rasa ketertarikannya pada Laras? Siapa yang
menyangka bahwa kesabaran Elang mendekatinya karena perintah Rasha?
Dan
kata cintanya?
Dia
kembali mendesah. Ingatannya melayang di senja purnama lalu, saat Elang kembali
datang ke butik untuk kesekian kalinya, tanpa membawa kain untuk dijahitkan dan
tanpa beribu alasan untuk sekedar bercakap menemuinya.
“Apakah
tak ada keinginan bagimu untuk membuka hati?” Tanyanya tiba-tiba mengejutkan.
Dia
tergagap tanpa mampu menjawab. Rona merah sudah pasti mewarnai pipinya tanpa
mampu dicegah. Dia bukan gadis remaja lugu yang tak tahu arah pembicaraan Elang.
Dan diusianya sekarang, diantara beban ekonomi yang menghimpit hatinya dan
diantara kesadaran bahwa dia tak lagi memperhatikan penampilannya. Pertanyaan Elang
sungguh membuat hatinya tersentak bahwa ternyata masih ada sisa didirinya yang
mampu membuat lelaki tertarik padanya.
“Laras?”
“Tidak
ada waktu buatku bersenang-senang, Lang!”
“Kau
berhak mendapatkan kesenangan Laras! Apalagi sekarang. Setelah semua kerja
keras yang kau lakukan.”
Dia
hanya mampu diam untuk meredakan debar yang begitu saja hadir menguasai
hatinya.
“Dan
kesenangan tak akan menghabiskan waktumu, Laras. Kau bisa menikmatinya sambil
bekerja. Bahkan kesenangan bisa menambah semangat untuk menghadapi kesulitan.”
“Entahlah!
Aku tak pernah memikirkannya, aku merasa tak berhak melakukannya. Mungkin
karena rasa tanggung jawab bahwa waktu dan perhatianku masih dibutuhkan
anak-anak sepenuhnya.”
“Rasa
dicintai dan mencintai itu manusiawi, Laras. Semua orang membutuhkan rasa untuk
membasuhi hatinya. Semua orang akan bahagia jika dicinta. Dan semua orang
berhak mendapatkannya. Tak perduli seberapa besar tanggung jawab dan bebannya.
Jika rasa itu hadir, maka kau tak boleh menghindari.”
Kembali
keterdiamannya yang menjawab kata-kata Elang.
“Maukah
kau membuka hati untukku Laras?” Pertanyaan yang telah ada dalam prasangkanya,
tapi tetap saja mengejutkannya saat itu terucap dari bibir Elang.
Tak
ada yang dijanjikannya pada Elang, tak ada yang diucapkannya untuk menumbuhkan
harapan. Biarlah waktu yang menjawab, biarlah waktu yang membuktikan bahwa rasa
itu memang milik mereka.
Kebersamaan
itu memang membuat hari-harinya berjalan cepat, perhatian Elang mampu membuat
rasa lelahnya terkikis hilang dan cinta yang diperlihatkannya mampu menguatkannya
menghadapi kesulitan.
Hingga
waktu akhirnya membuktikan kebenarannya, semesta memperlihatkan niat
tersembunyi mereka padanya dan semua itu dijatuhkan padanya pada saat dia
hampir terhanyut oleh tipu daya mereka.
Dia
harus mengantarkan baju pesanan itu di pusat kota, di dekat tempat Elang
bekerja. Meski ada keinginan untuk melihat tempat kerjanya, tapi dia menahan
diri karena tak ingin mempermalukan Elang dengan kedatangan seorang perempuan
yang membawa kedua anaknya.
Tidak!
Dia cukup tahu diri siapa dirinya. Jika Elang berpikir sudah waktu baginya
untuk mengenal dunia Elang lebih dekat, tentu dia yang berinisiatif
mengajaknya.
Siang
itu terlalu terik bagi kedua anaknya hingga merengek untuk masuk disebuah kedai
minuman di dalam gedung yang didatanginya. Dan disanalah dia menemukan mereka
berdua sedang bercengkerama dengan mesra. Mereka, Elang dan Rasha! Tampak
begitu mesra bagaikan sepasang suami istri yang saling mencinta.
Rasha
yang melihatnya berdiri kaku mengamati dari kejauhan. Rasha pula yang
menghampirinya dan menuntunnya untuk duduk bergabung dengan mereka. Rasha pula
yang mengendalikan keadaan agar apa yang terjadi dalam dirinya tak tampak di
kedua pasang mata polos milik anaknya.
Dan
semuanya terungkap setelah Rasha mengantarkannya pulang. Kenyataan yang membuat
hatinya tersayat dan harga dirinya terlecehkan.
Mereka!
Elang dan Rasha bukan orang-orang yang menyayanginya! Mereka mendekatinya demi
satu tujuan. Memintanya menikahi Elang dan memberikan keturunan yang sangat
mereka inginkan. Dengan syarat-syarat yang melukai harga dirinya sebagai
perempuan.
Pertolongan,
bantuan dan kebaikan mereka tak lagi ada artinya!
Dia
kembali mendesah. Bagaimana mungkin Rasha tega melakukannya? Bagaimana mungkin
cinta yang tampak tulus di mata Elang ternyata hanya tipuan? Bagaimana dia bisa
begitu bodohnya hingga tak tahu niat tersembunyi mereka?
“Tak
kan kubiarkan mereka mempermainkan hatiku lebih lama! Sekarang giliranku
memainkan peran yang mereka minta!” Katanya tegas pada kesunyian.
“Mama
ngomong sama siapa?” Dia tersentak. Dilihatnya Gagah berdiri di ambang pintu
ruang tengah dengan tatapan heran. Dia tertawa dan bangkit berjalan mendekati
putra pertamanya.
Mengusap
lembut rambut ikalnya dan mengecupnya sekilas dengan rasa sayang.
“Ngomong
sama mesin jahit kak! Hehehee..”
“Emang
kenapa?”
“Mesin
jahitnya minta dibersihin. Kenapa? Kakak mau maem?”
“Nggak!
Dedeknya minta susu Ma!”
“Oh!
Kakak minta susu juga gak?”
Gagah
menggeleng dan mengikuti langkahnya ke bagian belakangan rumah. Memperhatikannya
yang sibuk membuatkan susu dengan tatapan yang tak dimengerti maknanya.
“Ma..”
Panggilnya lirih sarat keraguan.
“Ya?”
“Kakak
nggak sekolah gak pa-pa kok! Kakak bisa belajar di rumah sama mama.”
Dia
tersentak! Hatinya kembali tergores dan mengucurkan darah. “Oh Tuhan!” Bisiknya tanpa kata. Isak itu menggumpal di
tenggorokan.
Dia
menarik nafas dalam untuk melegakan rasa, berbalik dan menatapnya dengan
tatapan cinta yang dia punya.
“Tidak
kakak! Kakak harus sekolah! Apapun yang terjadi, kakak harus tetap sekolah!
Kakak harus bisa meraih mimpi kakak untuk menjadi orang hebat!”
“Mama
udah dapat uang?”
“Mama
akan mendapatkannya, kak! Percayalah!” Dan dipeluknya putra tersayangnya sesaat
untuk meredakan gundah di hatinya. Untuk meredakan darah yang terus menetes
dalam dada, untuk meredam sakit yang terus menyayat perasaan.
“Tuhan, kuatkan
aku untuk terus berjuang!”
***
Bersambung..
By Rinzhara