Skenario Cinta - bagian 4

Cerita Sebelumnya..




Dia seharusnya mulai bangkit dan memulai rutinitasnya. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, menyiapkan segala keperluan mereka untuk sekolah dan membersihkan rumah agar anak-anaknya tetap merasa nyaman menunggunya bekerja dengan mesin jahit tuanya untuk mengais rupiah.

Tapi rasa penat karena terjaga semalaman, rasa lelah karena beban ekonomi yang tak berkesudahan dan beban kebimbangan yang ditawarkan Rasha, membuat dirinya tetap diam berbaring dengan pikiran mengelana.

Tiga bulan lalu tepatnya! Tiga bulan lalu semuanya berawal! Tiga bulan lalu saat orang mulai jarang berkunjung ke butiknya, hingga rupiah yang tersimpan semakin menipis di dompetnya. Hingga beberapa surat tagihan tak mampu dibayarnya! Hingga dia mulai terseok dan sedikit bersorak saat melihat dua orang melangkah masuk ke butiknya. Ya! Tiga bulan lalu kerut di keningnya semakin berlipat saat melihat dua orang berkendara mewah berhenti dan masuk ke butiknya.

Jarum jam menunjukkan angka sepuluh saat dua orang perempuan dengan penampilan eksklusif melangkah masuk ke dalam butiknya, mengedarkan pandangan di seputar ruangan dan berjalan melihat-lihat koleksi baju yang dipunyainya.

Dia ingat saat itu dahinya berkerut menandakan keheranan. Tak mungkin mereka para pelanggan yang datang untuk membeli atau memesan bajunya. Butiknya hanya untuk para menengah. Bukan kelas mereka! Tak mungkin koleksi yang ada mampu membuat mereka tertarik dan membelinya!

Tapi diantara keheranannya, dia beranjak juga dari kesibukannya dibelakang mesin jahit tua, menyambut kedua tamunya dengan ramah. Menanyakan keperluan mereka dan menunjukkan beberapa koleksi terbaik yang dia punya.

Salah satu dari kedua perempuan itu yang menyambut keramahannya dengan kadar yang sama. Memborong koleksi terbaiknya dan terlibat pembicaraan akrab bagai dua sahabat.

Perempuan itu bernama Rasha, begitu anggun dan elegant, dengan blazer biru muda yang berpotongan rapi sekelas butik mahal, dengan tas tangan bermerk terkenal berharga jutaan dan dengan sepatu yang harganya tak kalah menyilaukan bagi Laras.

Atribut yang pernah menjadi bagian hidup Laras dulu! Sebelum semuanya berubah, sebelum kecelakaan merenggut salah satu kaki suaminya dan sebelum seluruh tabungannya terkuras untuk menghentikan nanah yang terus mengendap di ujung potongan kaki suaminya yang tersisa.

Atribut yang mulai tampak asing baginya, setelah semua benda mahal itu berakhir di tukang loak demi kepingan rupiah yang mampu mengganjal perut mereka dari rasa lapar. Ya! Bulan-bulan yang teramat berat bagi mereka. Menyisihkan uang besar untuk berobat dan mengais kepingan untuk mengganjal rasa lapar!

Hingga uang besar tak lagi bersisa, hingga dia harus berlari mencari bantuan untuk menutupi biaya berobat, hingga kebiasaan berhutang tak mampu lagi dihindarinya dan semua itu akhirnya menjadi bebannya seorang saat suaminya memilih menyerah dan meninggalkannya bersama anak-anak dan timbunan hutang yang memberati bahunya.

Dan perjuangannya menjadi pencari nafkah dimulai detik itu juga, tak ada waktu untuk berduka, tak ada waktu untuk memanjakan kesedihannya! Dia mengusap air matanya, mengesampingkan kedukaan ditinggal pergi suami tercinta dan mulai membanting tulang untuk menafkahi kedua anaknya.

Apapun yang menghasilkan uang dia lakukan, selama tak meninggalkan rumah, selama masih bisa mengusap kesedihan kedua anaknya dan selama pekerjaan itu masih bisa dilakukannya.

Dia membuat adonan, menjadikannya jajanan dan menitipkannya di warung-warung sekolah sambil menggendong anak terkecilnya yang masih berusia 9 bulan. Dia membeli kain dan memotongnya, menjahit dan menjadikannya baju-baju indah, menawarkannya ke teman dan tetangga sambil menemani anak pertamanya belajar dan menghafal.

Berbulan-bulan dia memeras keringat untuk bisa membayar tagihan bulanan yang terasa menyesakkan. Tak ada waktu bergaul dengan teman, tak ada waktu bergembira dan tak terbersit sedikitpun niat untuk menikah.

Dan simpati akan kondisi ekonomilah yang mendekatkan Rasha padanya. Uluran tangannya untuk membantu menjualkan baju-bajunya di tempatnya bekerja sedikit banyak menolong keuangannya. Persahabatan dan kebaikan hati yang ditunjukkannya membuat hari-hari beratnya tak lagi terlalu membebaninya.

Rasha! Perempuan yang telah menikah sepuluh tahun tanpa anak. Tumor yang dideritanya yang merenggut paksa rahim di perutnya. Karena itulah mereka dekat, karena itulah dia tak sedikitpun curiga bahwa ada maksud tersembunyi dari uluran persahabatan Rasha.
Perempuan itu mendekatinya dengan ikatan sahabat dan merencanakan langkah-langkah yang tertata agar dia bisa berkenalan dengan lelaki yang ternyata suami Rasha.
Yah, Elang! Lelaki yang dikenalnya secara tak sengaja ternyata suami Rasha.

“Tak sengaja?” Bisiknya lirih mengandung amarah.

Dia memang tak mengira bahwa kedatangan Elang ke butiknya untuk menjahitkan celana panjang sudah direncanakan. Bahwa bujukan atas penolakannya menjahit busana pria telah dipersiapkan.

Ya! Siapa yang menyangka? Perhatian dan kedatangan intensnya telah diatur Rasha! Mereka berdua telah mengincarnya bahkan sebelum dia bertemu dengan Elang. Siapa yang menyangka bahwa kedatangan Rasha ke butiknya bukan karena suka akan koleksi bajunya? Tapi lebih karena rasa ketertarikannya pada Laras? Siapa yang menyangka bahwa kesabaran Elang mendekatinya karena perintah Rasha?

Dan kata cintanya?

Dia kembali mendesah. Ingatannya melayang di senja purnama lalu, saat Elang kembali datang ke butik untuk kesekian kalinya, tanpa membawa kain untuk dijahitkan dan tanpa beribu alasan untuk sekedar bercakap menemuinya.

“Apakah tak ada keinginan bagimu untuk membuka hati?” Tanyanya tiba-tiba mengejutkan.

Dia tergagap tanpa mampu menjawab. Rona merah sudah pasti mewarnai pipinya tanpa mampu dicegah. Dia bukan gadis remaja lugu yang tak tahu arah pembicaraan Elang. Dan diusianya sekarang, diantara beban ekonomi yang menghimpit hatinya dan diantara kesadaran bahwa dia tak lagi memperhatikan penampilannya. Pertanyaan Elang sungguh membuat hatinya tersentak bahwa ternyata masih ada sisa didirinya yang mampu membuat lelaki tertarik padanya.

“Laras?”

“Tidak ada waktu buatku bersenang-senang, Lang!”

“Kau berhak mendapatkan kesenangan Laras! Apalagi sekarang. Setelah semua kerja keras yang kau lakukan.”

Dia hanya mampu diam untuk meredakan debar yang begitu saja hadir menguasai hatinya.

“Dan kesenangan tak akan menghabiskan waktumu, Laras. Kau bisa menikmatinya sambil bekerja. Bahkan kesenangan bisa menambah semangat untuk menghadapi kesulitan.”

“Entahlah! Aku tak pernah memikirkannya, aku merasa tak berhak melakukannya. Mungkin karena rasa tanggung jawab bahwa waktu dan perhatianku masih dibutuhkan anak-anak sepenuhnya.”

“Rasa dicintai dan mencintai itu manusiawi, Laras. Semua orang membutuhkan rasa untuk membasuhi hatinya. Semua orang akan bahagia jika dicinta. Dan semua orang berhak mendapatkannya. Tak perduli seberapa besar tanggung jawab dan bebannya. Jika rasa itu hadir, maka kau tak boleh menghindari.”

Kembali keterdiamannya yang menjawab kata-kata Elang.

“Maukah kau membuka hati untukku Laras?” Pertanyaan yang telah ada dalam prasangkanya, tapi tetap saja mengejutkannya saat itu terucap dari bibir Elang.

Tak ada yang dijanjikannya pada Elang, tak ada yang diucapkannya untuk menumbuhkan harapan. Biarlah waktu yang menjawab, biarlah waktu yang membuktikan bahwa rasa itu memang milik mereka.

Kebersamaan itu memang membuat hari-harinya berjalan cepat, perhatian Elang mampu membuat rasa lelahnya terkikis hilang dan cinta yang diperlihatkannya mampu menguatkannya menghadapi kesulitan.

Hingga waktu akhirnya membuktikan kebenarannya, semesta memperlihatkan niat tersembunyi mereka padanya dan semua itu dijatuhkan padanya pada saat dia hampir terhanyut oleh tipu daya mereka.

Dia harus mengantarkan baju pesanan itu di pusat kota, di dekat tempat Elang bekerja. Meski ada keinginan untuk melihat tempat kerjanya, tapi dia menahan diri karena tak ingin mempermalukan Elang dengan kedatangan seorang perempuan yang membawa kedua anaknya.

Tidak! Dia cukup tahu diri siapa dirinya. Jika Elang berpikir sudah waktu baginya untuk mengenal dunia Elang lebih dekat, tentu dia yang berinisiatif mengajaknya.

Siang itu terlalu terik bagi kedua anaknya hingga merengek untuk masuk disebuah kedai minuman di dalam gedung yang didatanginya. Dan disanalah dia menemukan mereka berdua sedang bercengkerama dengan mesra. Mereka, Elang dan Rasha! Tampak begitu mesra bagaikan sepasang suami istri yang saling mencinta.

Rasha yang melihatnya berdiri kaku mengamati dari kejauhan. Rasha pula yang menghampirinya dan menuntunnya untuk duduk bergabung dengan mereka. Rasha pula yang mengendalikan keadaan agar apa yang terjadi dalam dirinya tak tampak di kedua pasang mata polos milik anaknya.

Dan semuanya terungkap setelah Rasha mengantarkannya pulang. Kenyataan yang membuat hatinya tersayat dan harga dirinya terlecehkan.

Mereka! Elang dan Rasha bukan orang-orang yang menyayanginya! Mereka mendekatinya demi satu tujuan. Memintanya menikahi Elang dan memberikan keturunan yang sangat mereka inginkan. Dengan syarat-syarat yang melukai harga dirinya sebagai perempuan.

Pertolongan, bantuan dan kebaikan mereka tak lagi ada artinya!

Dia kembali mendesah. Bagaimana mungkin Rasha tega melakukannya? Bagaimana mungkin cinta yang tampak tulus di mata Elang ternyata hanya tipuan? Bagaimana dia bisa begitu bodohnya hingga tak tahu niat tersembunyi mereka?

“Tak kan kubiarkan mereka mempermainkan hatiku lebih lama! Sekarang giliranku memainkan peran yang mereka minta!” Katanya tegas pada kesunyian.

“Mama ngomong sama siapa?” Dia tersentak. Dilihatnya Gagah berdiri di ambang pintu ruang tengah dengan tatapan heran. Dia tertawa dan bangkit berjalan mendekati putra pertamanya.

Mengusap lembut rambut ikalnya dan mengecupnya sekilas dengan rasa sayang.

“Ngomong sama mesin jahit kak! Hehehee..”

“Emang kenapa?”

“Mesin jahitnya minta dibersihin. Kenapa? Kakak mau maem?”

“Nggak! Dedeknya minta susu Ma!”

“Oh! Kakak minta susu juga gak?”

Gagah menggeleng dan mengikuti langkahnya ke bagian belakangan rumah. Memperhatikannya yang sibuk membuatkan susu dengan tatapan yang tak dimengerti maknanya.

“Ma..” Panggilnya lirih sarat keraguan.

“Ya?”

“Kakak nggak sekolah gak pa-pa kok! Kakak bisa belajar di rumah sama mama.”

Dia tersentak! Hatinya kembali tergores dan mengucurkan darah. “Oh Tuhan!” Bisiknya tanpa kata. Isak itu menggumpal di tenggorokan.

Dia menarik nafas dalam untuk melegakan rasa, berbalik dan menatapnya dengan tatapan cinta yang dia punya.

“Tidak kakak! Kakak harus sekolah! Apapun yang terjadi, kakak harus tetap sekolah! Kakak harus bisa meraih mimpi kakak untuk menjadi orang hebat!”

“Mama udah dapat uang?”

“Mama akan mendapatkannya, kak! Percayalah!” Dan dipeluknya putra tersayangnya sesaat untuk meredakan gundah di hatinya. Untuk meredakan darah yang terus menetes dalam dada, untuk meredam sakit yang terus menyayat perasaan.

“Tuhan, kuatkan aku untuk terus berjuang!”


***

Bersambung..

By Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar