Dari Balik Jeruji


Matanya nanar menatap tembok tinggi yang berdiri angkuh di seberang jendela berjeruji tempatnya berdiri. Tubuhnya lunglai bersandar di kusen jendela ruang. Tangannya mencengkeram erat jeruji-jeruji yang membatasi kebebasannya. Dan relungnya mengembara ke sebuah rumah mungil nyaman di pinggiran kota. Rumah yang dirindukannya. Rumah dimana semua kebahagiaan hidupnya pernah singgah. Rumahnya!

Ke satu sosok perempuan yang berdiri dibalik pintu rumahnya. Menggigil ketakutan dalam gelap. Dengan air mata yang tumpah membasahi wajah manisnya.

“Tolong aku..” Gemetar suara perempuan itu bahkan masih terdengar jelas di telinganya. Membuat hatinya bergetar iba. Membuat tangannya menarik perempuan itu dalam peluknya. Membuai dan menenangkannya. Mengajaknya masuk ke dalam. Memberi kehangatan padanya. Hingga kehangatan itu pelan berubah dalam deru nafas yang semakin memanas. Hingga panas itu menenggelamkannya dalam hela nafas puas. Hingga dia tak mampu berpikir akan bahaya dibalik kesanggupannya mengiyakan pinta sang perempuan.

“Aku akan mengambilnya nanti. Saat keadaan memungkinkan. Saat waktu menenangkan kehebohan. Dan tolong kubur semua yang kukenakan di halaman belakang. Kubur yang dalam. Hingga baunya tak menguar keluar.”

Senyum pilu. Tatap mata itu. Bayangan tubuhnya yang luruh dalam peluk. Deru nafasnya yang memburu saat dibuai nafsu dan desap puasnya malam itu. Yang memaksa kepalanya mengangguk. Yang membujuk hatinya untuk mau melepas sosok itu menjauh. Tanpa tanya ini itu. Tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya harus dia tahu.

Dia mendesah. Betapa bodohnya dia! Betapa tololnya! Hingga tak menyadari bahwa apa yang dilakukannya bisa menjerumuskannya dibalik jeruji penjara. Menghabiskan waktunya dengan sesal. Dengan sesak di dada. Dengan benih kebencian yang perlahan berkobar. Saat sumpahnya di depan meja pengadilan bahkan tak mampu membebaskannya. Saat sosok perempuan itu bahkan berkelit dibawah sumpah.

“Jadi anda tidak ke rumah terdakwa malam itu?”

“Tidak yang mulia. Sudah lama kami tak berjumpa. Dan malam itu saya sedang sibuk packing untuk perjalanan dinas esok harinya. Pembantu di rumah saya menjadi saksinya. Malam itu saya tak kemana-mana. Terlalu sibuk hingga tak mungkin keluar rumah.”

Dia kembali menggeram penuh kebencian. Geraman yang sama setiap dia mengingat bagaimana perempuan itu berkilah. Geraman yang sama saat dia tahu dia telah dijerumuskan perempuan yang dicintainya. Geraman yang sama saat dia menyadari bahwa perempuan itu bahkan merelakan tubuhnya malam itu hanya demi satu tujuan. Geraman yang sama saat di ruang persidangan.

Saat dia tak mampu lagi membuktikan bahwa bukan dia yang membunuh lelaki simpanan sang perempuan. Bahwa dia bahkan tak mengenalnya. Bahwa dia cukup kaya untuk membunuh hanya demi seuntai berlian.

“Saya tidak melakukannya yang mulia. Saya bahkan tak tahu dimana rumah korban. Saya tidak tahu bagaimana wajahnya. Saya benar-benar tak tahu apa-apa.”

“Bagaimana anda bisa menjelaskan tentang kalung berlian di lemari pakaian anda?”

“Perempuan itu yang menitipkannya, yang mulia. Dia datang malam itu dengan tubuh gemetar. Dengan baju dan pisau yang berlumuran darah.”

“Kami tak menemukan baju, saudara. Kami hanya menemukan pisau dengan sidik jari anda.”

“Sidik jari saya ada disana saat saya menguburkannya, yang mulia. Dan seperti keterangan saya di 
kepolisian. Bahwa dia kembali datang pagi harinya untuk membawa pergi bajunya.”

“Kenapa dia tak mengambil juga kalung berlian jika memang yang anda katakan benar?”

“Dia bilang terlalu riskan membawanya. Dia akan tertangkap saat melalui pemeriksaan di bandara.”

“Bagaimana anda menjelaskan soal sobekan baju anda di tempat kejadian perkara?”

“Saya.. Saya juga tidak tahu bagaimana itu ada disana. Tapi saya bersumpah bahwa bukan saya pembunuhnya!”

“Sumpah anda tak bisa menolong anda dari bukti-bukti yang ada.”

Ya! Dan memang itulah yang kemudian terjadi padanya. Sumpah dan semua pengakuannya tak bisa menolongnya. Semua bukti mengarah padanya. Bukti yang diciptakan perempuan keparat. Perempuan yang kini sedang tertawa riang menikmati kebebasannya. Sementara dia harus menghabiskan sisa hidupnya berpuluh-puluh tahun di dalam jeruji penjara.

“Perempuan laknat!” Desisnya geram.

Bahkan perempuan itu tak pernah datang menjenguknya. Sekedar melihatnya. Atau sekedar menenangkan ketakutannya. Perempuan itu telah menghilang. Meninggalkan torehan luka dan kebencian yang mendalam di dalam hatinya.

Kebencian yang akan dibawanya hingga waktu kebebasannya tiba. Kebencian yang terus berkobar seiring berjalannya waktu yang dihabiskannya dalam penyesalan.

“Perempuan itu harus menerima pembalasan setimpal.” Gumamnya pelan dengan tatapan menghujam menembus tembok tinggi pagar yang mengelilingi komplek lapas dimana dia mendekam. Menembus hingga ke sebuah sosok yang tergambar jelas dalam relungnya. Sosok perempuan  dengan senyum manis yang menggetarkan hatinya. Sosok perempuan yang menggunakan keindahan geliat tubuhnya untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya.

“Tunggu aku perempuan keparat!!” Desisnya berulang. “Akan kubuat kau menderita. Akan kubuat kau sekarat. Hingga senyumpun enggan singgah! Hingga kau menyesal telah mempermainkan rasa. tunggu pembalasanku perempuan!”

Dia terus menggumankan kebenciannya. Meneriakkan dendamnya dalam relungnya yang kelam. Terus mengulang. Terus menggumam. Hingga menggema dan melekat. Tertanam bersama kobaran dendam yang makin membara.
***
goresan cerita Rinzhara

Terusik Rasa


Aku tahu kau ada disana, menatapku dari kejauhan, mengamatiku tanpa berkejap.
Inginku menyapamu dan bertanya, tentang mengapa dan apa yang salah, tentang rasa dan masihkah kau simpan rindu yang sama..
 
Inginku kembali mengulang kisah..memperbaiki kesalahan yang pernah kubuat, memohon maaf atas semua amarah masa silam dan kembali menyemikan rasa..
Seperti dulu..seperti saat-saat indah masih jadi milikku..

Tapi kembali relungku berkata..
Untuk apa?
Bukankah semua telah usang?
Seperti yang kuinginkan..
 
Buat apa?
Hanya untuk mengulang kesemuan?
Hanya untuk menuai sakit yang sama?
Tidak ingatkah akan semua perih dan duka?
Tidak ingatkah akan semua keterpuruan rasa?
Inginkah kembali mengulang kisah penuh air mata?

Tak ada yang indah dalam kisah masa silam!
Tak ada! Karena semua hanya kesemuan! Karena yang ada hanya luka!
Tak ada kebahagiaan yang didapat dengan cara yang salah..tak ada kebahagiaan yang bisa berdiri diatas luka lainnya..tak ada kebahagiaan yang bisa didapat dari pengkhianatan..tak ada..tak akan pernah ada!!

Sudahlah!
Lanjutkan langkah! Dan pungut semua sisa kebahagiaan yang pernah tercampakkan..
Bangun kembali rasa yang pernah tersisihkan..
Dan raih semua keindahan yang ada digenggaman..
 
Tanpanya!!
 
tanpa dirinya..

Ahh..betapa susahnya mendustai rasa..



Goresan rasa Rinzhara