Truntum Yang Terkoyak



Berdiri diam diambang jendela kamar, menatap dalam ketermenungan rasa ke arah kerumunan yang tengah sibuk di halaman rumah. Mengenali setiap sosok yang mempersiapkan nampan berhias rumbai indah, dalam aneka warna berhias pita emas.

Tak perlu mendekat untuk tahu apa isi nampan. Karena dia tahu apa yang mereka bawa. Bahkan dia sendiri yang memilihkan setiap benda diatas setiap nampan. Seperti biasa! Seperti umbarampe yang lainnya. Seperti umbarampe yang diantarkan calon mempelai pria saat meminang calon istrinya.


“Benarkah kau menginginkannya? Kita bisa serahkan pada ibu jika ini terlalu berat untukmu.” 

Dia hanya menjawab Baskoro dengan senyum tulusnya. Tak perlu menjawab. Karena memang tak ada yang perlu lagi dibicarakan. Keputusannya menerima tugas mempersiapkan umbarampe bagi pernikahan Baskoro, sudah dipertimbangkannya matang. Dan dia tak ingin dikatakan plin-plan!

“Tak perlu memaksakan diri. Ini bukan kewajibanmu untuk berbakti.”

“Tidakkah kau menginginkanku terlibat?”

Baskoro menatapnya dengan sorot terluka. Luka miliknya!

Ya! Bohong jika dia bilang tak terluka. Siapa perempuan yang rela diduakan? Bahkan ketika ketaksempurnaan melekatinya. Dia hanya berusaha tetap tegar. Untuk suaminya! Untuk kedua mertuanya. Dan untuk masa depannya.

Kerumunan di halaman luar masih terus sibuk dengan belasan nampan yang berwarna. Terlihat dari tempatnya berdiri di ambang jendela kamar, kain-kain batik yang dibelinya dari butik batik terkenal di kota. Dengan berbagai motif yang kaya makna. Dari sido mukti bagi mempelai wanita hingga motif grompol untuk keluarganya.

Dan dia sendiri memilih motif tuntrun untuk dikenakannya. Motif yang bermakna cinta kasih dan ketentraman. Motif berbentuk bintang-bintang kecil yang dilukis diatas kain sutra berwarna coklat tua. Yang membuatnya tertarik saat pemilik butik itu menceritakan kisah terciptanya motif truntum di masa silam. Ya! Bukan semata-mata atas makna yang terkandung di dalamnya yang membuatnya memilih kain itu untuk dikenakannya. Tapi lebih pada cerita dibalik terciptanya motif itu jaman dahulu kala.

Dimana dikisahkan kegundahan ratu atas mulai jarangnya raja mengunjunginya karena keberadaan selir baru yang lebih menawan. Kegundahan yang diwujudkannya dengan melukis motif bintang-bintang kecil bermakna harapan ratu atas kembalinya cinta kasih sang raja. Harapan yang dituangkannya dalam lukisan dengan segenap rasa dan dengan sepenuh cinta kasihnya. Kasih dan cinta yang menguar keluar hingga terlihat sang raja pada suatu ketika. Yang membuat sang raja kembali jatuh cinta dan mulai kembali sering mengunjungi ratu di istananya.

Dia tersenyum sedih sambil mengusap lembut kain truntum yang membalut kakinya yang indah. Berharap cinta suaminya tak kan luntur, meski kini hadir sosok kedua diantara mereka. Menyandarkan bahunya yang letih ke kusen jendela. Bergumam resah teringat kedatangan orang tua Baskoro sebulan lewat.

“Jika kau menolak, lantas muka kami akan ditaruh dimana? Keluarga Haji Brata sendiri yang meminta!” Suara keras ibu mertuanya begitu tajam menusuk perasaan.

Disusutnya air mata yang membasahi wajah. Tubuhnya masih terasa lemas saat mendengar permintaan mertuanya. Bahkan keterkejutan atas kedatangan mereka masih belum hilang dari dadanya. Dan sakit hatinya karena tidak diperkenankan hadir di ruang tamu rumahnya sendiri masih membekas dalam.

“Aku sudah menikah bu! Dan aku mencintai istriku. Aku tak akan menyakitinya dengan menerima tawaran ibu yang tak masuk akal.”

“Tawaran tak masuk akal? Banyak lelaki beristri dua. Bahkan tiga dan empat. Dan kau tak perlu menceraikan perempuan itu jika kau kasihan padanya.”

“Apakah ibu mau diduakan bapak? Apakah ibu tak sakit hati jika bapak memiliki istri kedua? Ibu perempuan! Seharusnya tahu bagaimana rasanya.”

“Ibu wanita terhormat! Jangan bandingkan dengan perempuan murahan yang kau angkut dari tong sampah!”

“Bu! Jaga ucapan ibu!” Suara keras Baskoro menggema memenuhi ruangan. “Jangan paksa aku untuk berbuat kurang ajar.”

“Lihat pak! Baskoro bahkan berani mengancam ibunya sendiri karena membela perempuan murahan itu. Tidak sadarkah kau Bas? Perempuan itu menyantetmu! Membuat otakmu hilang dari kepalamu yang keras.”

“Sudah! Sudah!” Tegas suara mertua lelakinya membuat ibu mertua dan suaminya terdiam. “Panggil Kinanti kemari Bas! Bapak mau bicara.”

Dan dengan serentak dia bangkit dari duduknya di meja makan begitu namanya disebut untuk pertama kalinya sejak mereka datang. Dengan bergegas dia melangkah memasuki ruang depan. Menyisihkan rasa jengah yang selalu menyerangnya saat harus duduk berhadapan dengan mertua lelakinya. Dan melangkah masuk dengan kepala tertunduk dalam.

“Kau sudah mendengar apa yang kami bicarakan, bukan?” Tanya ayah Baskoro sambil menatapnya tajam. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Terus menunduk dan tak sanggup menatap mata lelaki tua di depannya.

“Jadi bagaimana pendapatmu? Apakah kau mengijinkan suamimu menjadikan Arianti sebagai istri keduanya?”

“Saya..”

“Kau harus mengerti, Kinanti. Berat bagi kami datang ke rumah ini. Bahkan kami harus mengesampingkan ego agar bisa menghadapimu sekarang ini.”

Ya! Dia mengerti. Bisik hatinya sendu. Bahkan dia sendiri ingin segera berlari dari hadapan mereka. Dari mertua lelakinya!

“Tapi kami tak memiliki pilihan lain. Kau sendiri telah mengetahuinya sejak lama. Bahwa dari masih di dalam kandungan, Baskoro dan Arianti telah terikat dalam sebuah janji yang dibuat buyut-buyut kami dimasanya.”

Mertua lelakinya menarik nafas dalam sebelum melanjutkan.

“Kami saat ini tak memiliki apapun lagi untuk menebus janji yang dibuat. Baskoro telah menikah. Jadi hanya dengan menerima tawaran keluarga Brata, janji itu bisa lunas.”

Dia menatap sekilas ke arah mertua perempuannya. Dan menundukkan wajah lagi saat perempuan tua itu membuang muka.

“Baskoro tak perlu menceraikanmu! Bahkan jika kau menyetujui mungkin kami akan memberi restu. Jadi apakah kau mengerti apa yang kukatakan, Kinanti?”

Ya! Dia mengerti. Bahkan dia sangat mengerti makna tersirat dibalik semua kata-kata mertua lelakinya. Dan dia semakin mengerti saat beberapa hari kemudian, mertua lelakinya datang sendiri saat tak ada seorangpun dirumah. Mengatakan banyak hal yang membuat hatinya kembali terluka oleh kenangan masa silam. Membuatnya hanya diam penuh getar takut oleh berbagai ancaman yang terucap. Dan dengan tetes air mata mengikuti kemauan lelaki tua itu tanpa sanggup menolak. Membuatnya kembali tenggelam dalam kenangan kelam, membuatnya terpuruk oleh rasa bersalah dan membuatnya berbuat segala hal agar suaminya menyetujui kemauan orang tuanya untuk menikahi Arianti sebagai istri kedua.

***

Baskoro mengalihkan kembali tatapnya ke arah jendela rumah untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya dia kembali mendesah untuk menghilangkan sesak yang menggumpal. Dilihatnya Kinanti sedang bergerak pelan menyandarkan bahunya ke kusen jendela kamar. Wajahnya begitu teduh hingga Baskoro tak mampu menangkap gurat kesedihan yang terlukis diantaranya. Dan jarak mereka terlalu jauh bagi Baskoro untuk melihat pancaran duka yang tersorot dari mata yang berkaca.

 “Mas Bas, pisang sanggannya sudah siap.” Suara pak dhe Harjo mengejutkan Baskoro dari lamunnya. Ditatapnya kembali jendela kamar sekilas sebelum melangkah pelan ke arah pak dhe Harjo yang sedang sibuk menghias pucuk pisang sanggan dengan kertas emas.

“Bagaimana dengan jondangnya, pak dhe?”

“Coba periksa apakah ada yang kurang. Lik Karti yang menghiasnya di sana.” Kata pak dhe sambil menunjuk arah dimana beberapa orang perempuan sedang mengerubungi nampan besar yang dihiasi pita emas.

Baskoro melangkah mendekat, kembali melempar tatap ke arah jendela dan melihat Kinanti masih dalam posisi bersandar.

“Sudah lengkap bulik?” Tanya Baskoro saat dekat dengan jondang. Memeriksa isinya dengan seksama dan tersenyum puas saat melihat deretan wajik, jadah dan reginan telah dibentuk melingkar hingga tampak indah.

“Bas! Kalo Kinanti tak jadi ikut, jadi siapa yang bawa perhiasan peningsetnya?”

“Bulek atur ajalah!” Jawabnya sambil berlalu untuk memeriksa nampan lainnya. Kembali melempar tatapan ke arah jendela dan tertegun sejenak saat tak menemukan sosok istri tercinta bersandar memperhatikan kesibukan di halaman.

Baskoro kembali mendesah. Persiapan lamaran ini tentu menyakitinya. Sebesar apapun hatinya, sakit itu pasti terasa. Bagaimana bisa seorang perempuan yang bertubuh lemah memiliki hati sekuat baja? Bagaimana bisa seorang perempuan yang memiliki cinta mendalam mampu membagi kekasihnya dengan perempuan lainnya? Bagaimana Kinanti mampu menanggung luka itu sepanjang sisa hidupnya?

Dan bagaimana dengan dia? Lelaki yang mengaku mencintai Kinanti begitu dalam tapi sanggup menyakiti Kinanti dengan rencana lamaran. Terbuat dari apa hatinya? Hingga tak sanggup merasakan sakit hati Kinanti yang disembunyikan rapat. Tidak! Ini hidupnya! Dialah yang harus memutuskan! Bukan Kinanti! Bukan kedua orangtuanya!

Gejolak kesadaran itu menyerbunya. Membuat langkahnya terayun lebar. Dia harus menyampaikan secepatnya pada Kinanti atas keputusannya membatalkan acara lamaran! Terus melangkah hingga tak memperdulikan sapa ibu yang sedang bercengkerama dengan sepupu jauh di ruang depan.

***

Suara aneh dari dalamlah yang membuat Baskoro tertegun diam beberapa saat dibalik pintu kamar. Suara-suara yang membuatnya resah, membuat jantungnya berdegub kencang dan membuat emosinya perlahan bergejolak menggelitik amarahnya untuk meledak.

“Kau masih tetap memikat Kinan. Masih membuatku kembali merasa muda. Masih.. Ahh!” Kinanti hanya terdiam. Dan terus sibuk membuat lelaki tua dibawahnya bergelinjang. Membuat lelaki tua itu secepatnya meledak dan secepatnya berlalu dari kamarnya. Agar dia bisa secepatnya membersihkan diri dari debu-debu kotor yang melekatinya, yang dibawa lelaki tua menjijikkan dibawahnya.

Baskoro tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Dia bukan anak kecil yang tak mengerti makna desah dan telinganya masih normal untuk menangkap setiap kata yang terucap.

“Ini yang terakhir.” Desis Kinanti diiringi isak yang mengalir. Lelaki tua itu hanya tertawa dan secepatnya mengenakan pakaian yang sempat tersebar. Menatap Kinanti dengan senyum yang menyebalkan.

Siapa yang menyangka? Siapa sebenarnya perempuan yang dinikahinya? Betapa bodohnya dia hingga tak mengetahui apa yang terjadi di belakangnya. Betapa buta mata dan hatinya, hingga tak pernah menyadari telah menikahi perempuan murahan!

“Kenapa mesti berpura-pura, Kinan! Aku tahu kau menyukainya. Sudahlah! Aku tahu kau merindukan duniamu yang dulu!” Kinanti menggeram menahan gejolak amarah yang memaksa meledak. Menatap lelaki tua yang pernah menjadi langganan masa kelamnya dengan kebencian menggelegak.

“Tenang Kinan! Aku akan selalu menemanimu saat suamimu bekerja. Agar kau tak kesepian dan agar nafsu bejatmu terpuaskan.” Tawa lelaki tua itu memekakkan telinganya. Membuat amarah membutakan akalnya. Dan membuat tangan kirinya bergerak cepat meraih gunting yang dipakainya menghias umbarampe semalam.

Baskoro tetap diam mematung dibalik pintu kamar. Menahan amarah sekuat tenaga hingga raganya menegang. Berkutat dengan emosi yang terus mengusiknya untuk menyerbu kedalam.
Lelaki tua itu berbalik dan melangkah pelan ke arah pintu kamar. Dengan kepuasan menjijikkan yang sesaat lalu direguknya, dengan senyum memuakkan yang membuat perut Kinanti mual. Dan dengan janji yang membuatnya ketakutan!

Hanya dalam hitungan detik Baskoro mampu bertahan. Sebelum meraih handle pintu yang tiba-tiba terbuka dari dalam. Menampakkan sosok ayahnya yang masih tersenyum senang. Yang sesaat kemudian ternganga saat melihatnya. Mulutnya bergerak oleh keterkejutan mendapatinya. Sebelum kemudian berteriak keras hingga memekakkan telinga. Sebelum kemudian roboh dengan suara mengerikan! Membuat ibu meneriakkan tanya dan membuat banyak orang tergopoh berlari kearahnya.

Baskoro masih dalam posisi diam tak mengerti apa yang sedang terjadi saat matanya menangkap sosok Kinanti yang berdiri didepannya. Berdiri dengan wajah penuh kebencian dan amarah. Berdiri dengan gunting yang berlumuran darah! Dengan kain truntum yang terkoyak penuh percikan berwarna merah!

***


By Rinzhara
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar