Air Mata Diantara Ilalang ~ bagian 2


Bagian 2 : Kau Milikku!
Zhara mengemudikan mobil dengan air mata yang membasahi pipinya. Seharusnya memang dia berhenti untuk menenangkan dirinya, menghapus air matanya dan menyamarkan kesedihannya. Sebentar lagi dia harus menghadapi banyak orang di rumah. Saudara-saudaranya masih berkumpul untuk mempersiapkan pengajian tujuh hari kematian suaminya nanti malam. Dan mereka tak boleh menyaksikan kesedihan Zhara! Dia harus tampak tabah atau dia akan dipaksa keluarganya untuk menetap di kota orang tuanya. Tidak! Setelah empat tahun dia merasa bebas meninggalkan rumah orang tuanya, dia tak mungkin membiarkan mereka memaksanya kembali ke rumah itu!
Jarak rumahnya masih lumayan jauh, masih cukup baginya untuk menenangkan diri dan menghapus kesedihan yang terlihat pada wajahnya. Pertemuannya dengan perempuan itu sungguh menguras energi. Zhara benar-benar merasa kelelahan. Dia tak menyangka bahwa menahan emosi sangat melelahkan. Ingin rasanya melepaskan penat dengan berbaring menikmati kesedihannya di rumah. Tapi saat ini hal itu mustahil di lakukan, masih banyak yang harus dilakukannya. Masih banyak orang yang tak boleh menyaksikan kedukaannya. Dan masih banyak yang harus dipikirkannya!
Zhara mendesah lelah. Masih terbayang jelas pertemuannya dengan perempuan itu. Masih terngiang jelas di telinga bagaimana perempuan itu mengatakan dengan suara penuh kebanggaan bahwa suaminya akan meninggalkan Zhara! Perih di hatinya kembali terasa menyakitkan. Zhara terisak pelan. Setidaknya dia telah membuat perempuan itu terpukul oleh berita yang disampaikannya dan setidaknya saat ini dia telah berhasil membuat perempuan itu kebingungan! Zhara tersenyum puas saat menyadari bahwa dia telah berhasil menghancurkan perasaan perempuan itu. Sama dengan hatinya yang telah dihancurkan oleh perselingkuhan mereka berdua!
“Yah! Itulah balasan bagi siapa saja yang telah menyakiti hatiku!” bisik Zhara puas. “Seperti kau, mas! Kaupun telah menerima balasan rasa sakit yang sama! Sesakit tusukan kata-katamu di hatiku!”



Simak selengkapnya di “air mata diantara illalang” segera terbit!!

Air Mata Diantara Ilalang ~ bagian 1


Bagian 1 :
Tak Kan Kubiarkan Kau Merebutnya Dariku!


Mesin mobil sudah mati beberapa menit yang lalu, tapi Zhara masih duduk diam dibelakang kemudi. Sibuk menenangkan debar jantungnya, berusaha untuk bisa mengontrol emosinya yang hampir meledakkan amarah dan mengatur nafas agar bisa menguasai diri dengan baik. Dari tempatnya memarkir mobil, dia bisa melihat perempuan itu sedang duduk sendirian di pinggir taman dengan posisi membelakanginya. Zhara mengamati perempuan itu diam-diam dengan berbagai rasa memenuhi dadanya.
Zhara amat sangat tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan itu dalam kesendiriannya! Perempuan itu pasti sedang sibuk membayangkan pertemuan dengan kekasihnya! Menunggu dengan perasaan tak sabar dan mengharapkan pertemuan indah yang penuh kemesraan dan perasaan rindu karena telah lama tak berjumpa.
Zhara tersenyum sinis. Hah? Lama tak berjumpa? Benarkah? Bukankah mereka selalu mencuri-curi waktu di belakangnya untuk bertemu dan melepaskan kerinduan mereka? Bukankah mereka setiap hari saling mencurahkan kata-kata cinta melalui email dan jendela chat di Facebook? Email dan history percakapan yang telah dibaca Zhara tanpa sengaja! Email dan percakapan penuh kata cinta dan kemesraan yang menyakiti Zhara!

kisah di ujung senja


Sudah setengah jam lamanya aku menunggumu disini. Di bangku taman sudut kota tua, diantara ilalang yang menari riang dan diantara semburat merah mentari senja. Sendiri termangu mengkhayalkan pertemuan kita dengan penuh rindu.
“Ahh kau kembali terlambat seperti yang sudah-sudah!” Bisikku penuh sesal.
Kau memang sering terlambat menemuiku. Berlari mendekatiku dengan peluh yang membasahi bajumu. Dengan senyum bahagia mengembang di bibir indahmu. Dan dengan sorot mata rindu yang membuatku semakin jatuh cinta padamu.
*

“Kau terlambat!” Kataku kesal di senja lalu saat kuhampir saja berlalu.
“Oh sayang, mengertilah! Aku sudah berusaha datang tepat seperti yang sudah kujanjikan. Tapi begitu susah melepaskan diri darinya.” Aku diam dengan mulut terkatup rapat.
“Aku tak mungkin ingkar! Percayalah! Aku pasti datang! Andai kau tahu, setiap hari kuhitung sisa detak jam menunggu senja kita datang.” Lanjutmu sambil merengkuhku dalam pelukmu yang hangat.
Dan meski aku masih terdiam tapi senyum senangku telah merekah. Betapa indahnya senja kita. Bersandar dibahumu dan menikmati pelukmu. Bercerita tentang rasa diselingi desah menggoda. Menikmati hangatnya tatap matamu diantara kecup mesra yang saling berpagut. Aku bahagia! Selalu bahagia disetiap senja kedua kita. Selalu setia menunggumu di bangku taman kita. Bangku yang menjadi saksi cinta kita, di senja kedua setiap minggunya.
Hingga waktu kian menyempit bagi pertemuan kita. Sering kau terlambat tanpa kata dan penyesalan. Bahkan sering kau datang berlarian hanya untuk mengecupku dan ucapkan kau harus segera pulang. Pulang ke tempat semestinya kau berada. Bukan ditaman ini bersembunyi diantara ilalang.
“Sampai kapan kita kuat melalui ini? Bertemu dan berpisah dalam hitungan detik.” Tanyaku sedih saat kau kembali terlambat hanya untuk kecupan lalu bergegas pulang.  Ini sudah kali kelima kau datang, mengecupku dan lambaikan tangan. Dan aku lelah! Lelah menghadapi gejolak rindu yang tak terpuaskan. Lelah menghadapimu yang mulai berbeda. Dan lelah untuk terus berkorban tanpa kau pedulikan. Ahh..senja kala itu memang senja kelabu bagiku.
Senja dimana aku begitu jenuh menunggumu. Tak bisa menghubungimu karena kau tak menginginkan itu. Dan aku hanya bisa duduk menunggu ditemani nyamuk-nyamuk yang berpesta pora menggigitiku. Dengan hati gelisah memikirkan buah hatiku di rumah yang terbaring demam. Dan setelah penantianku yang lama tiba-tiba kau datang hanya tuk sesaat. Tanpa kata penyesalan!!
Aku kesal!! Semakin kesal saat teman mengabarkan bahwa telah berjumpa denganmu memeluk bahu di sebuah pesta.
“Dia istriku. Temanmu salah mengenalinya.” Jawabmu saat kutanya.
Dan kembali aku percaya. Meski beribu kali kau datang terlambat dengan sejuta alasan. Meski belaimu mulai tak sehangat sebelumnya! Meski beberapa teman mulai mendengungkan sebuah nama. Dan meski kemudian kau mulai tak mendatangi senja kita tanpa kata.
“Baru kini kutahu bahwa rasa rindu itu menyakitkan.” Bisikku pelan saat kau tiba-tiba menelponku setelah empat senja berlalu kumenunggu dengan setia tanpa kehadiranmu. Kau hanya terdiam. Dan aku mulai resah. Ada yang berbeda!

karyaku di event PM-FF Desa Rangkat

[PM-FF] Aku Tak Pantas Untukmu
Oleh : Rinzhara [No : 95]
 
“Kau tak harus menerimaku lagi! Tak ada kewajiban buatmu tetap mempertahankanku!”
“Apa maksudmu?”
Meeta terdiam. Sudah beberapa hari ini dia mencari kesempatan untuk bisa berbicara dengan suaminya. Tepatnya sejak dia kembali menjadi manusia bebas dan pulang ke rumah mereka di Desa Rangkat.
“Sadarkah kau siapa aku sekarang? Aku seorang pembunuh, Erwin!! Kau berhak mendapatkan yang lebih baik!”
“Kau yang terbaik! Perempuan pemberani yang sanggup melindungi anak-anaknya. Dan itu membuatku semakin mencintaimu Meet!”
“Kau tidak mengerti! Aku beda sekarang! Aku..”
“Buat aku mengerti! Katakan terus terang, berubah jugakah perasaanmu padaku Meet?”
Meeta terdiam menahan isak. Bagaimana membuat lelaki yang dicintainya mengerti?
***

[PM-FF] Pelacur Itu Ternyata Istriku
Oleh : Rinzhara [nomor peserta : 95]

Kamar hotel itu mendadak hening. Tak terdengar lagi caci maki dan teriakan histeris. Hanya sesekali terdengar isak lirih dari mulut Fitri.
“Pulanglah ke Desa Rangkat!” kata Doni lirih.
“Kau tak berhak mengaturku!”
“Aku masih suamimu!”
“Sekarang kau bilang begitu! Kemana kau dua tahun ini? Pernahkah terpikir olehmu bahwa kami kelaparan selama kepergianmu?”
Doni terdiam! Dadanya sesak oleh rasa bersalah!
“Kau pikir aku senang menjalani pekerjaan menjijikkan ini? Kau pikir aku tak ketakutan?” isak Fitri lirih.
Kamar kembali hening untuk sekian lama. Perlahan Fitri bangkit dan melangkah keluar. Meninggalkan kata yang membuat Doni terhenyak.
“Tahukah kau? Kelaparan itu membunuh satu bayimu!”
***

derita cinta

Cinta duduk meringkuk di sudut kamarnya. Kedua tangannya menutup erat kedua telinganya, bahunya terguncang karena isak yang tak lagi mampu dia tahan. Tubuhnya gemetar ketakutan. Suara-suara teriakan dan caci maki terus terdengar di luar kamar. Hanya menunggu waktu baginya menerima giliran dimarahi dan mendapat caci maki yang sama. Meski ibu tahu semua ini bukan salah Cinta. Meski seharusnya bukan caci maki yang pantas diterima Cinta. Tapi peluk hangat seorang ibunda. Yang mampu menenangkan ketakutan Cinta, yang mampu memberikan kekuatan pada Cinta untuk menghadapi hari-harinya ke depan. Ya! Seharusnya itulah yang didapatkan Cinta dari ibunya! Bukan caci maki dan kata-kata kotor!
Jantung Cinta berdegup kencang, terbayang kata-kata yang akan dia dengar dari mulut ibunya. Kata-kata yang selalu ibu lontarkan jika Cinta melaporkan perbuatan suaminya! Kata-kata yang sebenarnya belum pantas didengar anak berumur 12 tahun seusia Cinta.
Cinta menarik nafas panjang, pertengkaran diluar kamar antara ibu dan suaminya tak akan berhenti sampai waktu istirahat siang ibu selesai dan ibu harus kembali lagi ke pasar, ke toko milik keluarga mereka. Untung kedua adiknya tak ikut pulang bersama ibu mereka. Jika tidak, maka bisa dipastikan mereka akan ikut menerima cacian ibu seperti biasanya.
Cinta mendesah lelah. Semua ini karena lelaki itu! Yang merubah ibunya dari sosok lembut yang penuh kasih menjadi monster yang menakukkan anak-anaknya. Yang membuat hari-harinya penuh dengan ketakutan, yang membuat kebahagiaan di rumah ini hilang tak berbekas. Cinta mengusap air mata yang tak berhenti menetes membasahi pipinya. Lelaki itu tak pantas menjadi suami ibu. Lelaki itu hanya benalu di rumah mereka, mengambil semua barang-barang di rumah untuk dipindahkan ke rumah istrinya yang pertama. Menghabiskan uang yang didapat ibu dengan susah payah dan membuat hari-hari Cinta jadi penuh ketakutan.
“Ayah…” bisik Cinta penuh isak. Andai ayah masih ada..tentu kebahagiaan masih milik mereka. Dan Cinta tak perlu mengalami kekejaman seperti yang diterimanya sesaat sebelum ibu pulang dari pasar. Cinta terisak pelan. Sekuat tenaga menahan isak agar tak terlontar keluar. Ya! Andai ayah masih hidup, tentu saat ini dia sedang bahagia bercanda dengan teman-teman sebayanya. Mendapatkan kasih sayang dari ayah ibunya. Mendapatkan pelukan hangat dari ibunya yang tak pernah merasakan lelahnya mencari uang.
Ahh.. Seharusnya ibu tak menambah beban dipundaknya. Menjadi single parent dari tiga anak yang masih sekolah sudah teramat berat. Dan sekarang beban ibu bertambah berat dengan menikahi lelaki pengangguran itu. Lelaki yang mempunyai istri dan lima orang anak. Lelaki yang menghidupi istri pertama dan kelima anaknya dari uang yang dicari ibu dengan berjualan kelontong di pasar.