Mulut Kasar Chika


“Kenapa menghindariku?”

Boy terperanjat saat mendapati Chika sudah berdiri berkacak pinggang di depannya. Menatapnya dengan sorot mata marah. Boy tak menyangka Chika akan menemukannya di sini. Di halaman belakang kampusnya. Di tempat nongkrongnya anak-anak pintar. Yang lebih suka menghabiskan waktu menunggu jam kuliah berikutnya dengan berbaring di rerumputan tebal sambil membaca. Atau berkerumun dengan teman komunitas ilmiahnya.

Yang pasti tempat ini bukan tempatnya anak-anak kampus sepertinya. Yang lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong di kantin kampus. Sambil memandangi cewek-cewek borju yang lalu lalang bak peragawati kesiangan.

“Kok diam? Bingung cari alasan?”

“Tidak.”

“Tidak apa? Tidak menghindar atau tidak bingung mencari alasan?”

Beeuhhh! Inilah salah satu yang tak disukainya dari Chika. Selalu mengejarnya dengan beribu pertanyaan. Menyudutkannya seperti polisi yang menginterogasi penjahat.

“Diam lagi! Kau rupanya sudah gagu sekarang ya? Atau kau sudah berubah jadi patung hidup? Jawab pertanyaanku! Kenapa kau menghindariku?”

Ggghhrrrr…ingin sekali ditamparnya mulut nyinyir Chika. Satu hal lagi yang tak disukainya. Lidah Chika terlalu tajam. Tak punya sopan santun dan etika.

Dan yang mengejutkan adalah saat dia sedang berbicara dengan Chika di telphon siang itu seminggu yang lalu. Mereka sedang membahas tentang film mana yang akan mereka tonton, saat suara di latar belakang Chika terdengar menyela pembicaraan mereka.

“Chikaaa…jam berapa kau kuliah, Nak?”

Suara itu memang terdengar dari kejauhan. Tapi cukup jelas tertangkap di telinganya. Dan meski saat itu Chika mencoba menutup gagang Hpnya tapi jawaban Chika tetap bisa tertangkap di telinganya.

“Diam sajalah kau, Mak! Tak lihat kau, aku sedang telphon?”

Sudah ingin dibentaknya cewek di ujung telphon itu. Siapapun cewek itu, tak pantas membentak ibunya. Dan meski Boy terkenal cowok badung di kampusnya. Tapi dia tahu bagaimana seharusnya bersikap pada orang tua.

“Booooyyyyy!!!” Teriakan Chika membuatnya tersentak. Bayangan siang itu musnah seketika. Ditatapnya Chika dengan mata marah.

“Apa-apaan kau ini? Tak malu kau dilihat banyak orang?”

“Biar sajalah! Biar kau menanggung malunya. Salah sendiri kau mendiamkan aku begitu rupa.”

Boy masih menatap tajam wajah Chika. Tak disangkanya cewek yang selama ini dipacarinya ternyata memiliki sifat buruk yang memuakkan. Dia benar-benar tak percaya dengan kenyataan yang diterimanya. Selama ini dia selalu berpikir bahwa wajah cantiklah yang memiliki keburukan hati. Karena itulah dia lebih memilih Chika. Memilih hatinya. Dengan mengabaikan wajahnya yang jauh dari kategori rupawan. Bahkan dia tak memperdulikan ejekan teman-temannya saat tahu dia sedang mengejar Chika.

Ya! Dia adalah cowok yang biasa dikelilingi cewek-cewek cantik di sekelilingnya. Entah sudah berapa cewek yang sakit hati karena dia tolak. Dan semuanya memiliki wajah di atas rata-rata. Tak seperti Chika. Jauh dari kriteria cewek cantik di kampusnya. Dengan mata beloknya yang tersembunyi dibalik kacamata tebal. Dengan kulit yang sedikit hitam. Dengan pipi tembemnya. Dengan badannya yang bisa dikategorikan kelebihan berat badan. Tentu tak akan bisa disandingkan dengan cewek-cewek langsing yang selama ini ditolaknya.

“Kenapa kau menatapku begitu rupa? Kau marah rupanya? Heh! Seharusnya akulah yang marah. Karena tanpa alasan kau menghindar seminggu lamanya.”

“Kau seharusnya bisa berpikir kenapa aku menghindar.” Desis Boy masih dengan tatapan marah.

“Oh ya? Kau pikir aku paranormal? Yang bisa menebak hati orang? Bodoh sekali kau!”

“Aku memang bodoh! Sangat bodoh! Bodoh karena telah tertipu mentah-mentah oleh teori yang kubaca. Teori yang bilang bahwa dibalik wajah buruk seseorang tersimpan hati emas.”

“Apa maksudmu?”

“Kau yang kumaksud, Chika! Kau menghancurkan teori itu. Kau tak memiliki hati emas dibalik wajah burukmu.”

“What??”

“Kenapa? Kau tersinggung kubilang buruk rupa. Atau kau ingin mendengar yang lebih buruk darimu selain muka?”

Plaaak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Boy. Membuat pipinya begitu pedih terasa. Membuat emosinya memuncak. Ingin sekali ditamparnya pipi tembem di depannya. Tapi sekuat tenaga ditahannya. Pantang baginya memukul seorang wanita.

“Lihat! Ini salah satu yang tak kusuka darimu. Kau perempuan kasar. Tak hanya tanganmu yang mudah menampar orang. Tapi juga mulutmu! Yang hanya bisa mengeluarkan kata-kata kasar!”

“Hey, Pinky Boy! Apa kau pikir aku akan terpengaruh dengan hinaanmu? Bilang saja kau telah bosan denganku. Tak perlu menjelek-jelekkan aku.”

“Aku tak menjelekkanmu, Chik! Tapi lihat dirimu! Kau ini perempuan kasar. Kau bahkan sanggup membentak ibumu tanpa merasa bersalah. Dan itu yang terburuk darimu. Ingat itu Chik! Tak ada seorang lelakipun yang suka dengan cewek kasar sepertimu. Semua lelaki akan menjauhimu jika kau tak merubah sifat burukmu. Ingat kata-kataku.”

Boy menghujamkan rentetan kata-kata itu di muka Chika. Dia masih bisa melihat wajah Chika secara perlahan berubah menjadi pias. Dia masih bisa melihat mulut Chika menganga lebar. Dia masih bisa melihat kelopak mata Chika basah. Sebelum pergi berlalu dan meninggalkan Chika begitu saja.

 ***

Goresan cerita Rinzhara

Rahasia!


Mata bulat bening itu memandang dengan kepolosannya. Dengan binar senang. Dengan sorot mata penuh takjub. Membuatku semakin giat mengoleskan blush on ke pipiku. Melukis mataku dengan aye shadow berwarna merah. Mengecat bibirku dengan seksama.

Membuat diriku tampak cantik di depannya. Agar gadis kecil itu semakin senang. Semakin takjub dan bangga.

“Gimana?” Tanyaku sambil membalikkan badan.

Gadis kecil itu bersorak. Beranjak dari tempatnya berdiri di samping meja rias. Dan berlari ke arah lemari pakaian.

“Pakai ini aja! Ayukk buruan!”

Gadis itu mengeluarkan gaun panjang berwarna merah muda. Gaun bertali di bahunya. Dengan dada rendah. Dengan belahan panjang di samping kanan. Gaun yang tepat!

Gadis kecil itu mengulurkan gaun itu padaku dan mendorongku ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Aku hanya tertawa menyambutnya. Tertawa senang karena bisa membuat gadis kecil itu gembira.

“Wah! Ayah tampak hebat! Cantiiikk! Orang tak akan mengenali ayah! Orang tak akan mengira ini ayah. Horeee..!”

Gadis kecil itu kembali bersorak senang. Melompat-lompat dengan riang. Dan kembali aku tertawa. Tertawa bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Tak perlu berpura-pura. Tak perlu menyembunyikan kebenaran.

Tak perlu menjadi sosok lelaki yang hanya raga.

“Jadi siapa nama ayah sekarang? Masak miss Dion? Gak cocok yah!”

“Hmmm..” Aku pura-pura berpikir keras. Mengerling nakal. Ah ya! Gadis kecil itu tak pernah tahu bahwa aku telah memiliki nama keduaku. Gadis kecil itu tak pernah tahu, bahwa di luar sana bukan Dion panggilanku.
 
Aku tersenyum lembut. Menundukkan badanku agar sejajar dengannya. Berbisik lembut dengan suara berbeda. Suara yang selalu kupakai saat aku di luar. Suara lembut yang mereka suka.

“Gimana dengan Diana?”

“Horeeee..”

Kembali gadis kecilku bersorak. Melompat senang. Binar di matanya semakin cemerlang. Binar mata yang selalu membuatku jatuh cinta. Binar mata yang juga milik ibunya. Perempuan yang kunikahi hanya untuk alibi.

“Bunda pasti senang.”

Aku terkesiap. Kembali menunduk dan memegang bahunya. Menatap matanya dalam.

“Bundamu tak perlu tahu, sayang. Maukah kau menyimpan ini untuk kita? Hanya milik kita. Menjadi rahasia kita berdua!”

“Rahasia seperti punya bunda ya yah?”

Hatiku berdebar mendengarnya. Sebuah tanya melintas.

“Ya! Seperti rahasia bunda.”

“Aseeekk!! Aku suka bermain rahasia. Kata bunda aku sudah cukup besar untuk menyimpan sebuah rahasia. Rahasia orang dewasa.”

Getar di hatiku semakin menghebat. Tanya itu mendesak.

“Ya, sayang! Kau sudah besar untuk menyimpan rahasia orang dewasa. Rahasiaku dan rahasia bundamu.”

Senyum di bibir gadis kecilku semakin lebar. Jantungku berdebar. Apa rahasia bundanya?

“Ya ayah! Aku akan menyimpannya. Aku tak akan bilang tentang ayah yang pandai berdandan. Dan aku juga tak akan bilang bahwa bunda suka bermain kuda-kudaan dengan om Arso saat ayah kerja.”

Kata-kata itu membuatku seperti tersengat ribuan halilintar. Menyambarku hingga aku hanya bisa ternganga.
Terus ternganga. Tak mampu berkata. Tak sanggup menerima kenyataan. Hingga aku lemas. Persendianku bagai tak punya kekuatan. Aku jatuh terduduk begitu saja. Tak memperdulikan tanya gadis kecilku. Tak memperdulikan guncangannya di bahuku.

Aku terus terpana. Dengan riasan wajah yang masih tampak menawan. Dengan gaun merah muda yang kuhadiahkan buat istriku tersayang!

***
Goresan cerita Rinzhara