Tali Darah





Seruni terbangun dengan wajah pucat. Bajunya basah oleh keringat. Nafasnya memburu seolah habis berlari puluhan kilometer tanpa jeda. Jantungnya berdetak keras. Gambaran mimpi itu masih terbayang jelas. Ketakutan itu masih menguasai jiwanya. 

Dengan tangan gemetar. Seruni menekan tombol lampu kamar di kanan atas ranjang. Meraih gelas di atas meja setelah kamar terang benderang. Meneguk isinya hingga tuntas. Mencoba menghilangkan ketakutan yang masih tersisa.

Ketakutan yang terus saja menguasainya meski mimpi itu selalu berulang. Ya! Mimpi itu akhir-akhir ini sering mengganggu tidurnya. Mimpi yang entah apa maknanya. Yang dia sendiripun tak tahu kapan tepatnya mimpi itu mulai mengganggunya.

“Mimpi yang berulang adalah teriakan alam bawah sadar.” Kata Nastiti saat dia menceritakan tentang mimpi-mimpinya. 

“Aku tak mengerti. Apa yang ingin kuteriakkan? Selama ini aku tak menyimpan beban. Kau tahu, bukan? Aku tipe easy going. Semua tak ada yang kubuat rumit. Bahkan ketika kerumitan itu terjalin.”
“Mungkin itu teriakan alam bawah sadarmu atas lamaran Damar.”

Damar! Lelaki istimewa dalam hidupnya. Satu-satunya lelaki yang menghargainya. Memandangnya beda dari lelaki kebanyakan. Ahh...benarkah apa yang dikatakan Nastiti? Apakah lamaran Damar sebenarnya membebaninya?

Baiklah! Mungkin awalnya memang lamaran Damar membebaninya. Bukan karena dia tak mencintai lelaki itu. Bukan juga karena pernikahan tak pernah ada dalam daftar rencana hidupnya. Tapi karena keadaan dirinya yang tak mungkin bisa menikah dengan lelaki itu.

“Ini bukan sinetron, Seruni. Jangan kau dramatisir kehidupanmu. Banyak orang tua yang tak lagi memilih menantu dari bibitnya. Kau cukup cantik, sukses, baik dan berpendidikan. Itu sudah cukup jadi modalmu untuk menjadi menantu siapapun.”

Kata-kata Nastiti jugalah yang akhirnya membuat masalah itu terasa ringan. Tak lagi membebaninya. Dia bisa melihat masalah itu dengan pikiran tenang.

Jika memang Damar adalah jodohnya, maka halangan apapun tak akan mampu memisahkan mereka. Dan begitu juga sebaliknya. Apapun usahanya, jika Damar bukan jodoh yang baik menurutnya. Maka mereka tak akan pernah bisa bersatu dalam pernikahan.

Apalagi dia sudah menceritakan semua latar belakang keluarganya pada Damar. dan tanggapan positif Damar sungguh melegakannya.

“Setiap orang memiliki kisah masa lalunya sendiri-sendiri, Seruni. Siapa dan bagaimana keluargamu tak akan merubah penilaianku padamu. Yang penting bagiku siapa yang kunikahi. Dan bukan bagaimana keluarganya.”

Nah! Sudah selesai bukan? Masalah lamaran Damar memang tak lagi menjadi masalah baginya. Dan dia juga sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan calon mertuanya minggu depan.
Jadi apa sebenarnya yang ingin diteriakkan alam bawah sadarnya? Apa arti mimpi-mimpinya yang berulang?

Seruni menggeram pelan. Mengibaskan rambut panjangnya. Menghalau bayang mimpi itu dari kepalanya. Melemparkan tubuhnya kembali ke atas ranjang. Dan mencoba sekali lagi membuat dirinya terlelap.

***

“Ibu sakit?” Tanya Seruni cemas saat suara Yu Nah lah yang ternyata terdengar di gagang telphon genggamnya.

“Ibu baik-baik saja, Mbak. Ibu pesan supaya Mbak pulang secepatnya.” Kata-kata Yu Nah tak mampu menenangkan kecemasannya. Pesan ibu yang menyuruhnya pulang membuat perasaan khawatir menguasainya.

Yu Nah dulu teman seprofesi ibunya. Yang menjalani hari tua dengan menemani ibunya di rumah. Agar ibu tak terlalu merasa kesepian. Seperti permintaan Seruni setelah dengan berat hati menerima keputusan ibu untuk menetap di Jogja. 

“Ada apa, Yu?”

“Ndak tahu saya, Mbak. Kata Ibu, pulangnya gak usah sekarang. Nanti saja kalau Mbak Seruni lagi gak sibuk.”

Pesan dari ibu memang tak mengharuskannya pulang hari ini. Tapi kata ‘secepatnya’ membuat hati Seruni tak tenang seharian. Berbagai pertanyaan berputar di kepalanya. Berbagai prasangka buruk menyerbu pikirannya. Membuat Seruni tak tenang bekerja. 

Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di Jogja? Apakah ibu baik-baik saja? Sakitkah ibu? Kenapa tiba-tiba ibu menyuruhnya pulang? Padahal baru tiga hari lalu dia menelphon ibu, saat dia mengabarkan rencana keluarga Damar untuk melamarnya. Saat itu ibu terdengar baik-baik saja. Menyambut gembira rencana mereka. Bahkan ibulah yang meyakinkannya untuk tak perlu takut akan ditolak keluarga Damar. Bahwa Seruni memiliki banyak kelebihan untuk diterima sebagai menantu setiap ibu di dunia.

Jadi kenapa tiba-tiba ibu jadi penuh rahasia? Mengatakan keadaannya baik-baik saja. Tapi meminta Seruni secepatnya pulang. Menyuruh Yu Nah menelphonnya dan bukan beliau sendiri yang berbicara dengannya.

Ada apa?? Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu? Apa yang begitu penting di Jogja hingga ibu menyuruhnya pulang?

Telphon dari Yu Nah tadi siang benar-benar mempengaruhi konsentrasinya. Membuat hatinya diliputi kecemasan. Membuat jantungnya berdegup keras. Membuat Seruni akhirnya memutuskan membatalkan rapat staf. Menyerahkan urusan kantor pada Nastiti dengan setumpuk pesan. Dan segera terbang ke Jogja tanpa persiapan apa-apa. Langsung berangkat dari tempatnya bekerja. Tanpa membawa baju ganti dan seluruh perlengkapan bepergiannya.

***

Dan di sinilah dia sekarang. Di ruang tamu rumah ibunya di Jogja. Duduk santun mendengarkan ibunya bercerita. Tanpa tanya. Tanpa menyela. Hanya mendengarkan!

Sesekali dia mengamati wajah ibunya yang mulai penuh kerutan. Sesekali melirik rambut yang mulai memutih di kepalanya. Sesekali bersirobok tatap dengan mata yang selalu memancarkan kasih sayang di depannya.

Ibu memang baik-baik saja seperti kata Yu Nah. Tak terlihat gurat sakit di wajahnya. Tak ada satupun pertanda bahwa ibu menderita. Wajah itu masih sangat cantik meski sudah menua. Segar dan sehat.
Jadi apa sebenarnya maksud ibu menyuruh Seruni pulang? Hanya untuk mendengarkan ibu bercerita tentang masa lalunya? Benarkah hanya untuk itu? Untuk apa? Seberapa pentingnya cerita itu sampai-sampai ibu menyuruhnya pulang? Seberapa pentingnya cerita itu sampai-sampai ibu mengganggu kesibukannya? 

Tidakkah ibu paham bahwa Seruni sudah tahu semua ceritanya? Seruni toh anak ibu. Yang berpuluh tahun tinggal bersamanya. Seruni juga tidak buta. Dia juga bukan anak bodoh yang tak tahu kenapa ibu sering meninggalkannya malam-malam saat mengira Seruni sudah terlelap. 

Dia juga paham kenapa ibu merubah penampilannya setiap malam. Mengolesi wajahnya dengan berbagai alat make-up hingga terlihat menor di mata Seruni. Mengganti daster lusuhnya dengan pakaian terbuka di sana sini. Meninggalkan Seruni tanpa berpesan apa-apa. Dan pulang sebelum ayam berkokok di luar.

Seruni tahu apa yang dikerjakan ibunya di luar rumah. Meski saat kecil Seruni belum paham artinya. Tapi olok-olok teman sebaya membuatnya paham bahwa apa yang dikerjakan ibu memang bukan pekerjaan yang pantas.

Tapi apakah selama ini Seruni mempermasalahkannya? Apakah selama jadi anak ibu, Seruni memprotesnya? 

Tidak! Bahkan untuk sekedar bertanyapun Seruni tak pernah. Dia tahu ibu melakukannya untuk Seruni. Untuk membiayai hidup mereka berdua. Untuk menyekolahkan Seruni hingga sarjana. Hingga akhirnya Seruni sekarang bisa bekerja di tempat yang mapan. Hidup mewah dan bisa mencukupi kebutuhan ibu hingga tak perlu lagi bekerja.

Seruni tahu keadaan ekonomi merekalah yang memaksa ibu melakukan pekerjaan itu. Karena itu dia tak pernah mencela pekerjaan ibu. dia tak pernah merendahkan ibu. Seruni tetap mencintainya. Tetap menghormati ibu layaknya perempuan terhormat. Tetap menganggap ibu perempuan hebat dan istimewa.

Jadi tak ada gunanya bukan ibu bercerita tentang semua itu? 

“Ibu sudah lama menjalani profesi itu. Bahkan sebelum kamu ada.”

Nah! Mungkin bagian ini memang Seruni baru mengetahuinya. Selama ini dia pikir ibu terpaksa melakukannya demi menghidupi Seruni. Setelah merasakan beratnya menghidupi seorang anak tanpa suami. 

Tapi apa bedanya? Sebelum atau sesudahnya tak membuat penilaian Seruni berubah. 

“Sempat ibu memutuskan berhenti. Saat lelaki itu mendekati ibu dan menjanjikan pernikahan.”

Seruni menggeser duduknya. Dua jam lamanya dia duduk di bangku ini. Pantatnya sudah terasa tak nyaman. Ingin rasanya Seruni berbaring sambil mendengarkan ibu bercerita. Dan terlelap dalam pelukan lengan tua itu seperti dulu. Seperti masa kecilnya yang selalu dipenuhi kasih sayang ibu.

“Ibu begitu senang membayangkan akan keluar dari pekerjaan yang menjijikkan itu. Begitu senang ada lelaki yang mau menikahi ibu. Hingga ibu tak berhati-hati dan...hamil.”

Oh jadi dia adalah janin yang tumbuh sebelum pernikahan? Yang sering disebut orang-orang itu sebagai anak haram? Sebutan yang sedari dulu tak pernah disetujuinya meski dia belum tahu bahwa diapun ternyata termasuk salah satunya.

Seruni memang tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan dari ibunya saat dia menanyakan siapa dan di mana ayahnya. Hingga akhirnya dia berhenti untuk bertanya. Berhenti mencari tahu siapa lelaki yang seharusnya dia panggil ayah. Dan menerima keadaan itu begitu saja.

“Begitu senangnya hingga lupa satu hal. Bahwa perempuan seperti kami tak pernah berhak mengharapkan pernikahan. Bahwa perempuan seperti kami tak boleh berharap banyak pada pria yang mendekat. Bahwa kata-kata cinta mereka hanya sebuah cara untuk mendapatkan pelayanan gratis saja.”

Ohh...andai ibu tahu. Bahwa anak dari perempuan seperti ibupun punya pemikiran yang sama. Setidaknya Seruni! Ya! Andai ibu tahu selama inipun Seruni selalu merasa tak berhak mendapatkan lelaki dari keluarga baik-baik. Tak pernah berharap banyak dari hubungannya dengan Damar. Bahkan lamaran Damarpun tak pernah dia tanggapi dengan serius. Selama orang tua Damar belum tahu latar belakangnya, Seruni belum berani memupuk harapan.

Tanpa mampu dicegah, bayangan Damar menyelusup relung Seruni. Menguasai pikiran Seruni. Membuat Seruni tak lagi mendengar kata-kata ibunya. Hingga tiba-tiba telinganya menangkap nada tercekat dalam suara ibunya.

“Banyak darah.... Dan ibu bukan saja kehilangan bayi itu. Tapi juga kewarasan ibu.”

Seruni ternganga. Dia memang tak mendengar bagaimana awal mula cerita ibu sampai kata ‘banyak darah’ terdengar di telinganya. Dia memang larut dalam lamunannya. Tapi kalimat setelah itu membuat jantungnya berdetak keras. Membuat Seruni tak mampu lagi membendung tanya di kepalanya.

“Maksud ibu? Bayi itu bukan aku?”

“Tentu saja bukan, nduk. Bayi itu...pergi. Bersamaan menghilangnya lelaki itu.”

“Lantas aku?”

Hampir tiga jam dia duduk mendengarkan cerita ibunya. Selama itu tak pernah terbersit dihatinya arah dari cerita ibu sebenarnya. Selama itu dia hanya mengira akan mendengarkan cerita yang membosankan. Dan sekarang? Ohh inikah maksud ibu menyuruhnya pulang? Inikah maksud semua ini? 

“Ibu kehilangan kewarasan saat itu Seruni. Ibu baru keluar rumah sakit. Dan ibu melihatmu. Di sana. Di taman itu. Main sendirian.”

“Di mana bu?” Desis Seruni tajam.

Tak ada gunanya mendengarkan lanjutan cerita. Tak ada gunanya lagi bagi Seruni. Tak ada pentingnya apa alasan ibu melakukannya. Yang Seruni tahu bahwa dia bukan anak pelacur itu!

“Bu?” Desak Seruni saat melihat perempuan yang selama ini dipanggilnya ibu hanya diam membisu.

“Ibu tak tahu, nduk. Ibu...lupa. Ibu saat itu kehilangan kewarasan. Ibu gila.”

“Di mana letak rumah sakit itu? Jakarta?”

Perempuan tua itu tak menjawab. Hanya menggeleng dan menatap Seruni dengan sorot mata yang sama. Penuh kasih sayang!

Ahh! Bagaimana perempuan itu masih bisa menatapnya dengan penuh sayang? Dia toh tak punya perasaan. Bisa-bisanya dia memisahkan anak dari orang tua kandungnya. Tega sekali dia membiarkan orang lain sedih dan kebingungan kehilangan anaknya.

“Maafkan ibu, nduk.”

“Maaf ibu tak berarti banyak, bukan? Toh Seruni tetap tak tahu siapa orang tua kandung Seruni. Teganya ibu melakukan ini! Tidakkan ibu memikirkan orang tua anak itu? Setidaknya...tidakkan ibu mencari tahu siapa mereka? Untuk Seruni. Untuk saat ini.”

“Maaf, nduk. Ibu tak memikirkannya.” 

Tak ada penyesalan di mata tua itu. Tak ada setitikpun rasa bersalah di mata ibunya. Kenyataan itu membuat hati Seruni remuk redam. Membuat Seruni tahu siapa perempuan tua yang duduk di depannya. 

Egois! Ya! Perempuan itu sosok paling egois yang pernah dikenal Seruni. Betapa teganya dia melakukan ini pada Seruni. Betapa teganya dia menyakiti hidup banyak orang hanya demi kepentingannya. Hanya demi kesenangannya. Hanya demi kebahagiaannya!

 “Oh shit! Tahukah ibu arti semua ini bagi Seruni? Tidakkan ibu tahu ini menyakiti Seruni? Untuk apa ibu mengatakannya pada Seruni? Untuk apa bu? Toh ibu bahkan tak terpikir untuk mencari tahu siapa orang tua Seruni.”

“Ibu.... Ahh, ibu menceritakan ini agar kau tak perlu malu lagi pada keluarga Damar nduk. Agar kau tak ragu lagi menerima lamaran Damar. Agar keluarga mereka mau menerimamu.”

Kemarahan yang bergejolak dalam dadanya seketika meledak. Seruni bangkit dari posisi duduknya. Menatap perempuan itu dengan tajam. Dengan sorot mata marah. Kemarahan yang berbalut kesedihan.

“Sejak kecil aku tahu ibuku pelacur. Sejak itu pula tak sedikitpun luntur cintaku padamu. Tak setitikpun aku menganggapmu sampah. Kau! Tetap perempuan terhormat di mataku.”

Perempuan tua itu masih dalam posisi duduknya. Masih menatapnya dengan penuh kasih sayang. Tatapan yang tak mampu meluruhkan amarahnya.

“Karena itu...hanya lelaki yang bisa menerima ibukulah yang pantas menjadi suamiku. Tidakkah kau tahu apa artinya itu? Aku menghormatimu, bu. Di mataku, kau satu-satunya perempuan terhormat. Dan ternyata penilaianku salah.”

Mata yang menyorotkan kasih sayang itu kini berlinang air mata. Linangan yang justru membuat amarahnya semakin memuncak.

“Ternyata kau...kau perempuan jahat!!”

Dan disambarnya tas kerja di atas meja dengan geram. Dia harus segera pergi dari rumah ini. Dari depan perempuan tua ini. Atau kemarahan itu akan meledak tak terkendali. Karena kemarahan itu sudah berbalut sakit hati. Sudah hampir berubah jadi benci.

Tanpa menoleh lagi Seruni melangkah cepat meninggalkan rumah. Meninggalkan perempuan tua yang sesenggukan di bangkunya. Meninggalkannya begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya. Dengan membawa kemarahan dan kebencian dalam dadanya!
***

“Kenapa harus menipunya?” Suara Yu Nah menghentikan isak perempuan tua itu.

Perempuan itu mengusap air matanya pelan dengan lengan bajunya. Beranjak dari duduknya dengan badan lemas. Menatap sahabat yang mengetahui seluruh rahasia hidupnya itu dengan sorot mata penuh duka. Sorot mata yang membuat Yu Nah menyesali kebohongan paling mengerikan yang terjadi di ruang tamu ini.

“Seorang ibu akan melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya. Bahkan jika kebahagiaan itu dengan memutus tali darah!”
***

Goresan Cerita Rinzhara

Lorong!





Lorong gelap di depannya tampak bercabang. Tanpa ragu dia menyusupkan tubuhnya ke celah sempit yang ada di cabang sebelah kanan. Merundukkan badannya hingga mampu melalui lubang sempit di depannya. Dan melangkah bergegas saat lorong itu membesar disebaliknya.

Tak ada lagi keingintahuan yang meletup-letup di relungnya. Tak ada lagi hasrat menggebu menikmati petualangan seperti saat pertama. Dia hanya bergerak gesit dan lincah. Berusaha secepatnya sampai ke tujuan. Meletakkan keempat benda yang tersimpan di dalam ranselnya. Dan kembali menyusuri lorong gelap itu secepat yang dia bisa. Memasuki cabang-cabang yang ditemuinya. Meletakkan keempat barang bawaannya. Dan kembali menyusuri lorong gelap itu hingga seluruh isi ranselnya tak bersisa. Terus berulang. Dan harus cepat. Sebelum mentari merekah.

Sebelum orang-orang itu bangun dari mimpi lelapnya.

***

Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 7 lebih 10 menit saat dia terbangun dengan badan lemas oleh suara-suara ribut di luaran. Dengan malas dia bangkit dari ranjang. Melangkah ke arah kamar mandi di sebelah kanan ranjangnya. Tak dihiraukannya teriakan-teriakan yang memanggil namanya. Dia justru berdendang pelan sambil melepas t-shirt yang melekat di badannya. Mengguyur badannya. Merasakan segarnya air dingin yang jatuh ke kulit tubuhnya. Mengusir kantuk dan penat oleh kerja kerasnya semalam.

***

Kehebohan di komplek perumahan Griya Indah itu berlanjut sampai siang. Warga masih berkerumun di depan rumah Ishack. Sesekali masih terdengar teriakan memanggil namanya. Namun pagar rumah itu tetap tertutup rapat.

“Sudahlah. Mungkin dia sudah pergi dari semalam. Sebaiknya kita pergi menghadap Pak Harja.” Seorang bapak setengah baya dengan tampang bijak mencoba menghentikan teriakan dan umpatan warga.

“Iya. Kita harus tuntut pihak pengelola perumahan yang membiarkan penyusup menggerayangi rumah kita dengan bebas.”

“Komplek apaan ini? Apa kerja satpam-satpam itu? Bisa-bisanya mereka tak tahu ada maling masuk ke rumah warga. Bodoh!! Satpam bego semua!!”

Komentar dan argumen berhamburan. Bersahut-sahutan. Bergemuruh memenuhi udara. Riuh! Hingga mendatangkan lebih banyak warga. Memperdengarkan lebih banyak komentar. Opini kesoktahuan bertebaran. Spekulasi-spekulasi bermunculan. Mendatangkan caci maki dan hinaan. Menimbulkan kebencian. Meledakkannya dalam teriakan-teriakan histeris penuh dendam.

Hingga satpam-satpam berdatangan. Hingga kabar adanya penyusup itupun sampai ke telinga Pak Harja, pengelola perumahan Griya Indah.

***

“Prang!!”

Suara kaca pecah itu membangunkan Ishack dari tidur siangnya. Belum pulih kesadarannya saat teriakan-teriakan dari luar terdengar bersahutan.

“Oeeeyyyy...maling! Keluar kau!”

“Manusia tak beretika, jangan bersembunyi kau.”

“Pengecuuttt!! Tanggung jawab kau dengan perbuatanmu. Dasar pengecut busuk!”

Masih banyak lagi hujatan yang terdengar. Jika dalam posisi berbeda, dia tentu sudah keluar menghadapi orang-orang tak tahu diri itu. Jika dalam keadaan berbeda sudah dihabisinya warga di luar sana. Dia tak perduli berapa jumlah mereka. Pun jika perlawanannya hanya bentuk kekonyolan melawan puluhan orang bersenjata, tak akan membuat nyalinya ciut.

Dia tak pernah gentar dengan apapun. Dia bahkan tak pernah takut mati. Dia punya beribu keberanian saat merasa benar. Siapa dan berapapun jumlah lawan akan dihadapinya. Tak ada lagi yang menakutkan dalam hidupnya sekarang. Karena tak ada lagi orang terdekat yang akan menangisi kematiannya.

***

“Pengaruhi warga! Jangan biarkan warga mendengarkan ocehan bocah ingusan itu!”

“Baik, Pak Harja.”

“Pengaruhi mereka. Katakan saja bocah ingusan itu pelakunya.”

Lelaki berpeci itu menganggukkan kepalanya khidmat.

“Jangan sampai mereka mendengar tentang lorong!”

Kembali lelaki berpeci yang berdiri santun di depan Pak Harja menganggukkan kepalanya. Mendengarkan setiap perintah Pak Harja. Dan bergegas pergi saat Pak Harja mengibaskan tangannya.

***

“Prang!!”

Suara pecahan kaca kembali terdengar. Ishack hanya mendesah keras. Menahan kemarahannya. Mengedepankan kewarasannya. Dia tak akan keluar! Tidak! Tidak kali ini!

Dia harus bisa menahan emosinya. Bukankah dia tahu konsekuensi perbuatannya dari awal? Bukankah dia sendiri telah bersiap untuk pindah jika akhirnya pihak pengelola perumahan menendangnya keluar? Bukankan apa yang terjadi saat ini sudah diperkirakannya? Jadi untuk apa dia marah? Untuk apa dia meladeni warga? Biarkan saja mereka melampiaskan amarah mereka. Meledakkannya dalam caci maki seperti perkiraannya. Mereka saat ini belum mengerti apa tujuannya. Mereka tak memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam perumahan. Mereka sama sekali tak tahu bahwa komplek tempat mereka tinggal tak aman.

Kejahatan meraja lela sudah sangat meresahkan. Dari penculikan, perampokan, hilangnya anak-anak balita sampai puncaknya 3 bulan lalu saat seorang anak perempuan tewas dengan kemaluan tercabik-cabik begitu mengenaskan.

Ishack menggeram pelan. Dihelanya tubuh dari pembaringan. Berjalan terseok oleh penat yang tak kunjung hilang. Meneguk habis isi gelas yang diraihnya dari atas meja.

Lorong itu sumber masalahnya. Ya! Meski warga melakukan keamanan berlapis. Meski warga memasang tembok tinggi mengelilingi perumahan. Meski menetapkan satu pintu masuk utama dan menutup pintu lainnya. Meski menambah jumlah satpam dan menempatkannya di sudut-sudut rawan. Tentu saja tak akan berpengaruh apa-apa. Lorong itulah biang keladi masalah.

Lorong yang ditemukannya 10 tahun lalu saat dia masih bertugas sebagai civil engeneering di kantor Pak Harja. Lorong yang dilaporkannya pada Pak Harja. Dia bahkan sudah mengusulkan untuk menimbun lorong itu agar tak menjadi masalah di kemudian hari. Membuat perencanaan matang untuk menutupnya secara permanent. Tapi apa dayanya jika Pak Harja justru menolak usulnya mentah-mentah.

“Pakai duit nenek moyangmu? Kau pikir berapa keuntungan menjual rumah-rumah itu?”

“Tapi, pak....”

“Sudah...sudah! Hapus keinginan gilamu. Dananya tak ada lagi.”

“Lama-lama tanah diatasnya akan turun pak. Dan itu membahayakan keselamatan warga yang tinggal diatasnya. Karena tak ada kekuatan apapun untuk menyangga lorong itu.”

Kibasan tangan Pak Harja tak membuatnya diam. Dia terus berusaha meyakinkan Pak Harja akan bahayanya lorong bawah tanah yang dia temukan. Berhari-hari dia melakukan pendekatan. Memberikan gambaran-gambaran kerugian yang bisa menimpa perusahaan lelaki tua itu. Menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi warga perumahan. Tapi Pak Harja hanya menganggapnya sebagai bualan. Bersikukuh dengan pendapatnya. Tak memperdulikan usulnya. Sampai akhirnya diapun lelah meyakinkan.

Dan itulah yang disesalinya sampai sekarang. Andai dia tak menyerah tentu tak akan ada orang yang menggunakan lorong itu untuk menyusup ke rumah warga. Lorong itu berliku-liku dan bercabang. Dan hampir semua ujungnya berada di halaman rumah warga. Beberapa bagian menjulur ke luar komplek perumahan. Dan kemungkinan inilah yang dijadikan jalan bagi para penyusup itu untuk masuk ke halaman rumah warga.

Lorong yang terjadi karena peristiwa alam. Yang meskipun indah dan menakjubkan saat berada di dalam. Namun lorong itu membahayakan keselamatan warga. Ada beberapa ruas dari lorong itu yang begitu luas. Bagai permukaan tanah di atasnya. Ada danau di tengahnya. Ada stalaknit dan stalaktit yang berkilauan. Indah dan menakjubkan.

Dan dia sendiri sangat suka saat berada di bawah sana. Ya! Dia memang sering menghabiskan waktunya di sana saat hatinya gundah. Lorong luas berdanau itu tempat favoritnya untuk menghilangkan gundah. Tempat yang semakin sering didatanginya 3 bulan terakhir ini.

“Haaaaiiii penjahat!! Keluar kau! Atau kami bakar rumahmu!!”

Teriakan itu begitu keras sampai di telinganya. Membuyarkan lamunannya. Membuatnya melangkah pelan ke luar kamar.

Pecahan kaca berhamburan di lantai ruang depan. Ishack menggeram pelan.

“Bodoh!!” Desisnya penuh kemarahan.

Kemarahannya bukan karena jendela kacanya porak poranda. Bukan juga karena ancaman-ancaman warga yang mengerikan. Bukan pula teriakan warga yang memerahkan telinga. Dia marah melihat warga tak menangkap pesannya. Pesan yang ditinggalkannya semalam di rumah mereka. Empat pesan yang menyampaikan pada mereka tentang rawannya keamanan perumahan. Tentang keberadaan lorong gelap bawah tanah. Tentang kejahatan yang pernah terjadi di komplek mereka. Tentang penyusup-penyusup dari luar.

Ishack menarik nafas dalam. Menyingkirkan perasaan kesal yang mengendap. Melangkah pelan kembali ke kamar. Sambil terus merasakan penyesalan atas sikap warga yang tak mengindahkan pesannya.

“Kenapa kalian begitu bodoh??” Gumam Ishack sambil membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Memasang headset dikepalanya. Dan menikmati bayangan senyum polos anak semata wayangnya. Anak perempuannya yang tiga bulan lalu ditemukan tergeletak di taman!

***

Entah bagaimana awalnya. Dia sedang bermimpi berada di lorong bawah tanah. Bercanda, berlari-larian dengan anak perempuannya. Saat tiba-tiba dia merasakan sesak nafas. Saat tiba-tiba asap itu sudah memenuhi kamarnya. Rasa panas dalam ruangan membangunkannya. Dan dia terlambat menyadarinya. Api itu sudah berkobar meluluhlantakkan isi rumahnya. Mengurungnya di tengah kobaran api tanpa sempat menghindar. Membuatnya sulit bernafas. Membuat kulitnya tersengat. Tak ada teriakan yang diperdengarkan. Tak ada keluhan yang didesahkan. Dia hanya sempat menyambar sisa potret anak perempuannya sebelum api itu mulai menyambarnya. Menghanguskannya dengan cepat. Tanpa sisa!

***

“Beres?”

“Beres, pak.”

“Sudah kau periksa? Dia benar ada di dalam?”

“Hangus tanpa sisa, pak.”

Lelaki berperut buncit itu tertawa penuh kepuasan. Sambil menyandarkan punggungnya di atas sofa yang didudukinya. Terus tertawa hingga suaranya memenuhi ruangan. Semakin terbahak saat terbayang kembali nikmatnya teriakan anak-anak balita itu di telinganya.

***

goresan cerita Rinzhara