di Ujung Lara Nayra

“Waktu tak bisa diputar ulang. Waktu akan terus berjalan. Berat ataupun ringan. Mau ataupun tidak. Kau harus mengikuti sang waktu.”

Suara Kenzie begitu tenang. Tanpa beban. Bahkan mungkin tanpa rasa! Berbeda sekali dengan gejolak rasa di dada Nayra.

“Waktu yang sudah berlalu, selamanya akan menjadi masa lalu. Tak bisa dijadikan masa kini. Apalagi masa depan.”

Lelaki itu masih berkata-kata. Nayra sendiri hanya diam dan menatap lekat lelaki yang duduk di depannya. Tak sekalipun dia mengalihkan tatap. Meski sedari tadi, lelaki itu tak sekalipun membalas tatap Nayra. Hingga mungkin Kenzie tak pernah tahu ada sorot luka di mata Nayra. Bahkan mungkin Kenzie juga tak menyadari bahwa kata-katanya membuat kelopak Nayra basah!

“Seperti halnya kisah kita, Nay! Sudah berlalu. Sudah menjadi masa lalu.”

Sebenarnya tak perlu mendengar Kenzie berbicara lebih banyak. Nayra sudah bisa menduga jawaban lelaki itu sejak awal. Sejak pertama kali dia berdiri berhadapan dengan lelaki itu sejam lalu. Saat Nayra menyadari bahwa Kenzie terlihat tak begitu senang bertemu dengannya siang ini.
Seharusnya Nayra bergegas pergi dari depan Kenzie sejak tadi. Dan bukan membiarkan sakit itu merejam hatinya. Bukan justru membiarkan Kenzie mengatakan lebih banyak hal yang menyakitkan.

Akan lebih baik bagi Nayra berlalu dari depan Kenzie secepatnya, melupakan segala cerita cinta mereka, membuang harap dan menanggung sendiri masalahnya. Daripada dia hanya diam mengutuki kebodohan karena telah mempermalukan diri menemui lelaki yang tak lagi mencintainya. Daripada hanya menyesali keputusannya meminta Kenzie yang tak lagi menginginkannya. Daripada membiarkan dadanya sesak oleh ketololannya karena telah mengungkapkan kerinduan dan rasa cinta.

“Lupakan aku, Nay! Lanjutkan hidupmu! Suatu saat waktu akan membantumu menemukan lelaki yang lebih segalanya dariku. Suatu saat kamu akan menyadari bahwa aku memang bukan yang terbaik bagimu.”

Nayra sudah membuka mulutnya untuk berkata. Saat kepala lelaki itu bergerak pelan. Untuk pertama kali sejak mereka berhadapan, Kenzie membalas tatapnya. Tatapan dengan ekspresi tak terbaca. Dengan raut muka tenang. Namun mampu memporakporandakan perasaan Nayra. Mampu membuat jantung Nayra bergemuruh keras. Mampu membuat nafas Nayra terhenti sesaat! Tak ada cinta dalam tatapan Kenzie!

Hanya sesaat Kenzie menatapnya sebelum kemudian berlalu dari hadapan. Melangkah cepat meninggalkan Nayra. Tak sekalipun Kenzie menoleh untuk melihat keadaan Nayra. Tak sekejappun Kenzie berhenti melangkah mendengar panggilan Nayra. Kenzie terus melangkah. Terus menjauhi tempat Nayra berada. Pergi dari hidup Nayra untuk selamanya.

***

Nayra menghempaskan tubuhnya di atas ranjang setelah selesai memasang headset di telinga. Rasa penat setelah membuat kue ulang tahun sedikit mengabur. Lantunan suara Duta mengalun pelan di telinganya. Merasuk ke dalam rasanya. Membuai kesedihannya.

“Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu. Andai saja cintamu seperti cintaku...”

Mulut Nayra melantunkan tembang itu dengan penuh perasaan. Lagu favoritenya beberapa bulan terakhir ini. Gambaran kisahnya. Seolah Sheilla on Seven memang menciptakan lagu itu untuknya. Untuk memanjakan kesedihannya.

“Gimana loe bisa move on, Nay! Kalo tiap hari loe denger lagu itu mulu.”

Seulas senyum pilu terkembang di bibir Nayra saat mengingat kegusaran Marla setiap kali melihatnya menyendiri dalam kamar. Mendengarkan lagu-lagu melankolis. Atau menulis puisi-puisi tentang sakit hati dan kerinduan. Senyum semu yang sering menjengkelkan sahabatnya. Bahkan tak jarang membuat Marla meledak marah.

“Bangun, Nay! Keluar dan gaul! Masih banyak cowok baik di luar sana. Gak ada gunanya loe mewek-mewek begini. Loe harus lanjutin hidup seperti sebelumnya. Bahagia dan ceria. Seperti Nayra yang gue kenal!”

“Andai semudah itu, La.” Gumam Nayra di antara suara Duta.

Kadang Nayra tak habis pikir dengan orang-orang yang selalu menganggap mudah segala hal yang terjadi dengan orang lain. Padahal belum tentu jika orang itu menghadapi masalah yang sama, mampu mengatasi semudah yang mereka nasihatkan.

“Siapa sih yang ingin berada dalam kesedihan selamanya? Memang dipikir enak ya berkubang dalam sakit hati setiap detiknya? Mereka toh hanya pintar bicara. Coba saja jika mereka berada di posisiku. Apakah mereka bisa secepatnya melupakan masa lalu? Apa mereka bisa secepatnya bangkit dan memindahkan cinta pada lelaki lain? Apa mereka tahu bagaimana rasanya menjadi aku? Apa mereka bisa merasakan duka di hatiku?”

Nayra memutar badannya. Menempatkan dirinya senyaman mungkin di atas ranjang. Masih dengan headset di kedua telinganya. Masih dengan suara Duta yang terus diputar ulang. Masih dengan berbagai suara yang mengganggu relungnya.

“Mau sampai kapan loe begini terus?”
“Sampai senyumku tak lagi semu.”

Tak lelah-lelahnya Marla menyemangati Nayra. Tak bosan-bosan sahabatnya itu mengajak keluar dan berteman dengan banyak orang. Tapi Nayra punya seribu alasan untuk berkilah dan menolak. Selalu ada jawaban di setiap usaha Marla.

“Suatu saat.. Saat umur loe sudah tak muda lagi. Saat lelaki single seusia loe sudah jarang ditemukan. Loe akan menyesali saat-saat ini, Nay!”

Ingin rasanya Nayra berteriak di telinga Marla, bahwa Nayra sendiri juga menyesali apa yang pernah terjadi! Hidupnya kini tak sama lagi. Tak ada waktu baginya untuk bersosialisasi. Tak ada waktu buat mengenal lelaki lain. Hidupnya sekarang hanya untuk bekerja dan secepatnya pulang ke rumah. Bahwa dia kini bukan Nayra yang dulu lagi.

Nayra yang ini adalah Nayra yang telah melalui kepedihan selama 19 bulan tanpa henti. Yang telah mengalami getirnya hidup sendiri. Yang harus menghadapi kemarahan orang tuanya dan orang tua Kenzie. Tanpa belas kasih akan keadaannya. Tanpa ikut memikirkan masa depannya. Tanpa teman yang mau mendekat. Hanya Marla seorang!

Ya! Hanya Marla yang tak pernah berhenti membantunya. Menyemangati hidupnya. Menemaninya melewati hari berat. Menuntunnya saat Nayra kelelahan. Bahkan Marla pula yang memperjuangkan Nayra di depan atasan agar tetap bekerja saat Nayra terlalu sering alpa.

Nayra menghapus butiran bening yang meleleh tiada henti. Melepas headset dari kedua telinganya. Berusaha menghentikan isak.

Ahh.. Andai waktu bisa diputar ulang... Andai kejadian 19 bulan lalu bisa diulang.. Dia tentu tak akan menuruti kata hati. Dia tentu tak akan meminta Kenzie menemui. Dia tentu tak akan meminta Kenzie untuk kembali. Kenzie tentu tak akan pernah datang ke taman hari itu. Tak perlu melarikan diri dari Nayra. Tak perlu takut oleh teriakan Nayra. Bahkan mungkin tak perlu tahu kondisi Nayra. Hingga orang tua Kenzie tak perlu menyalahkannya!

Tapi benarkah dia yang bersalah? Pantaskan setelah dia harus menanggung sendiri bebannya, masih juga harus menanggung rasa bersalah?

Saat itu Kenzie melangkah cepat meninggalkannya. Tak memperdulikannya. 19 bulan lalu! Berlalu terburu. Seolah ingin secepatnya pergi dari hidup Nayra. Seolah tak ingin lagi mendengar kata-kata Nayra. Seolah tak mau tahu dengan kabar yang ingin disampaikan Nayra. Bayangan harus menghadapi masalahnya sendirian, membuat Nayra panik. Membuat Nayra berlari mengejar Kenzie. Berteriak memanggil lelaki yang seolah semakin kencang melangkahkan kaki. Membuat Nayra terpaksa mengatakannya dengan teriakan saat jarak mereka sudah cukup dekat. Cukup dekat bagi Kenzie mendengar kata-katanya. Agar Kenzie menghentikan langkah. Agar Kenzie berbalik arah. Agar Kenzie menghampirinya!

Nayra terisak. Bahunya berguncang pelan.

Kenzie memang berhenti saat itu. 19 bulan lalu. Kenzie juga membalikkan badan hingga menghadap Nayra dengan wajah tercengang. Dengan tatapan tak percaya. Dengan mulut ternganga. Tapi tanpa mendekat!

Mereka berdiri berhadapan dengan jarak 5 meter yang membentang. Nayra dengan tatapan iba dan air mata. Sedang Kenzie dengan tatapan tak percaya dan kemarahan.

“Berusaha mendapatkan keinginan dengan melakukan kebohongan itu perbuatan memalukan, Nayra!”

Suara Kenzie begitu tenang dan pelan saat itu. Tapi mampu membekukan hati Nayra.

“Dengan cara itu kau justru akan kehilangan semuanya. Aku, kenangan indah kita dan bahkan sisa rasa!”

Dan lelaki itu berbalik dengan cepat. Kembali tak memperdulikan teriakan Nayra. Tak mau mendengar penjelasan Nayra. Begitu terburu ingin berlalu dari hidup Nayra. Begitu takut oleh kebenaran yang dibawa Nayra. Begitu cepat langkahnya hingga tak mampu menghindar saat sebuah kendaraan roda dua melaju kencang dari samping kanan.

Dengan kedua matanya, Nayra menyaksikan tubuh Kenzie terlempar ke kiri begitu keras. Kepala lelaki itu menghantam tiang listrik yang berdiri menjulang di sisi kiri jalan. Dengan suara derak yang mengerikan. Dengan darah begitu banyak setelahnya.

Nayra tersedu dalam posisinya berbaring miring di atas ranjang. Bayangan darah dan suara derak itu masih jelas dalam ingatan. Sampai sekarang! Meski 19 bulan telah berlalu dengan penuh kepahitan.

“Mam.. Mam...”

Nayra tersentak. Bayangan masa lalu itu menghilang cepat. Dengan terburu, Nayra menghapus cepat air mata. Menyiapkan senyum terbaiknya. Kemudian berbalik dan merentangkan tangan.

Peri kecil berwajah bidadari itu berdiri berpegangan di kusen pintu kamar. Menatapnya dengan binar menggemaskan. Dengan rambut kemerahan yang tumbuh jarang di kepalanya. Dengan dua gigi yang terlihat dalam senyum Kenzie di wajah mungilnya. Di belakang peri kecilnya, mbak Min, pembantu rumah tangganya, berdiri dan tersenyum riang.

Nayra bangkit dan melangkah cepat. Memeluk erat bidadarinya. Menumpahkan cinta dan rasa sayangnya. Pada belahan jiwanya. Pada peri kecil sumber semangat hidupnya. Pada bayi mungil yang deminya-lah Nayra mampu melewati segala kepedihan! Pada satu-satunya cinta dan rindunya kini bermuara!

“Selamat ulang tahun yang pertama, Kenzie sayang.”

Dan dikecupnya kedua pipi gadis mungilnya dengan gemas. Yang disambut tawa ceria. Seceria hari-hari yang menantinya.

***




Goresan Cerita Rinzhara

(bukan) Rekayasa Cinta - bagian 2




Senja telah berlalu. Serambi depan sudah diselimuti kegelapan. Jejak Raesha telah lenyap. Tapi untuk beberapa saat, Laras masih terdiam dalam kesendirian. Masih bingung dengan apa yang barusan terjadi padanya. Masih gamang menentukan sikap. Masih banyak tanya yang membutuhkan jawaban.

Sebelum kemudian memutuskan beranjak. Berdiri linglung menatap surat perjanjian di atas meja. Meraihnya dengan enggan. Dan melangkah, meninggalkan serambi depan yang gelap.

Tak perlu lagi membaca detail perjanjian itu. Karena bahkan dengan sekali baca Laras sudah tahu maksud yang tertuang di dalamnya. Dan hanya sekali baca pula Laras sudah tahu jawabannya. Tak perlu berpikir ulang seperti pinta Raesha. Sampai kapanpun jawaban Laras tetap sama. Tidak!

Ada lima lembar dalam bendel surat perjanjian yang dibawa Raesha. Lembar pertama dan kedua berisi tentang siapa Raesha yang disebut sebagai pihak pertama. Ada juga nama Bara yang disebut sebagai pihak ketiga. Dan nama Laras sendiri berikut semua data diri yang termuat sebagai pihak kedua. 

Di lembar ketiga dan keempat tertulis maksud dan tujuan Raesha membuat surat perjanjian itu. Meski disamarkan dengan bahasa hukum yang rumit, namun Laras tahu apa sebenarnya maksud Raesha sebenarnya. Kasarnya, Raesha menginginkan rahimnya untuk melahirkan anak. Anak yang nanti sepenuhnya milik Raesha. Laras hanya bertugas hamil dan melahirkan. Tanpa tanggung jawab membesarkan. Bahkan jika mungkin anak yang dilahirkan dari rahimnya itu tak boleh tahu siapa Laras baginya. Oh ya, dengan peran Bara tentunya. Dan sudah pasti dengan imbalan nominal yang besar. Ya..ya! Bukankah orang-orang seperti Raesha dan Bara memang selalu menggunakan uang untuk memecahkan masalah mereka? Sedangkan untuk pernikahan yang ditawarkan Raesha hanya sebuah cara untuk mendaparkan sertifikat halal dari tuhan.

Hah! Mereka pikir Laras sama piciknya dengan mereka? Mereka pikir kemiskinannya selama ini akan membuat Laras mudah tergiur sejumlah uang? Mereka pikir pernikahan dengan tujuan kotor seperti yang direncanakan Raesha dan Bara akan direstui Tuhan?

Bodoh! Ternyata mereka menggunakan kepintaran mereka untuk hal-hal tolol! Apa mereka pikir bisa menipu tuhan?

Laras mendengus kesal. Melangkah cepat menuju belakang rumah. Melemparkan begitu saja surat perjanjian itu keatas bufet di ruang tengah. Dan tersenyum penuh sayang saat melihat kedua anaknya telah terlelap di ruang tengah. Dengan hati-hati Laras memindahkan mereka ke dalam kamar. Mengecup dahi-dahi buah hatinya. Menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah mereka untuk esok harinya. Dan menyibukkan diri dengan berbagai adonan yang telah akrab dengan malam-malamnya.

Tak ada waktu untuk menikmati kesedihan saat ini. Karena masih banyak tugas menanti. Masih banyak yang harus dilakukannya agar bisa menghidupi buah hati esok hari.

Dan tak ada gunanya menyesali yang pernah terjadi. Bukankah dengan kejadian ini, Laras bisa cepat tersadar akan langkah kecilnya yang salah? Ya! Bagaimanapun hubungannya dengan Bara adalah hubungan terlarang. Bara masih milik Raesha. Dan dia tak berhak memisahkan pasangan yang telah disatukan semesta. Ada ataupun tidak ada skenario dibelakang hubungan mereka, tetap saja, Laras telah melakukan kesalahan! Pada Raesha dan pada semesta!

Ahh.. Sebenarnya rasa bersalah itu telah hadir di hatinya sejak lama. Berulang kali pula dia telah mengatakan rasa bersalah itu pada Bara. Meminta Bara berhenti menemuinya. Meminta Bara berhenti berhubungan dengannya! Meminta hubungan mereka berhenti sebelum Raesha mengetahuinya.

“Aku akan berhenti menemuimu jika memang kau tak menginginkannya. Tapi bukan dengan alasan Raesha.”
Selalu itu jawaban Bara saat Laras menyampaikan ketakutannya.

“Mungkin bukan karena Raesha. Tapi karena apa yang kita lakukan ini salah.”

“Tak ada yang salah dengan cinta.”

“Cintanya memang tak salah. Tapi kita yang salah. Kita telah melanggar banyak hal. Norma, kepantasan.. Bahkan sumpah setia.”

“Aku tak perduli dengan segala norma dan kepantasan.”

“Lalu soal setia?”

“Sumpah setia hanya berlaku saat masih ada ikatan cinta.”

Memang tak ada kata-kata cinta untuk Laras. Tapi jawaban Bara saat itu terdengar di telinga Laras sebagai ungkapan cinta.

“Betapa bodohnya!” Geram Laras sambil membanting adonan yang akan dijadikannya donat dalam sebuah nampan.

Selama ini memang tak pernah ada ungkapan cinta dari Bara. Bahkan Bara tak pernah benar-benar memintanya jadi seorang kekasih. Hubungan mereka berjalan begitu saja. Mengalir dan akhirnya begitu dekat, melewati batas-batas ikatan persahabatan!

“Bodoh! Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang menganggapnya kekasih?” Laras berhenti dengan tangan masih memegang adonan. Benaknya sibuk membuka lembaran-lembaran kisah pertemuannya dengan Bara. Sibuk mencari kata-kata cinta yang mungkin pernah terucap. Sibuk mengingat setiap kenangan yang dijalaninya berdua.

Tak ada! Tak pernah ada! Andaipun ada, dia tak mungkin melupakannya.

Tapi bukankah di usia mereka memang tak harus ada kata-kata? Bukankah tak semua orang mampu mengungkapkan rasa? Bukankah tak semua rasa mampu diwujudkan dalam kata?

Sikap Bara toh menunjukkan bahwa memang ada yang istimewa dengan hubungan mereka. Dan bagi Laras memang istimewa! Karena dia tak mungkin membiarkan Bara mencium bibirnya jika memang mereka tak ada ikatan rasa. Dan jika menurut Bara ciuman bibir bukan hal istimewa, setidaknya malam itu tak akan terjadi jika Bara menganggapnya sahabat saja!

Dengan pelan semburat merah mewarnai pipi Laras. Hatinya berdesir panas. Kulit tubuhnya menggelenyar setiap kali dia mengingat kejadian malam itu. Malam yang manis. Yang serasa sudah seabad tak pernah dia rasakan. Malam di mana dia kembali merasa menjadi perawan lugu yang belum pernah bercinta!

Malam itu memang suasana seperti memberi restunya. Malam yang dingin karena sesiangan hujan deras. Anak-anak bahkan tak terbangun untuk sekedar minum air putih seperti biasa. Dan Bara begitu harum dan wangi. Dan Laras begitu lelah saat itu setelah menyelesaikan 50 biji donat, pesanan tetangga untuk pesta ulang tahun anak mereka. Kelelahan yang terpancar keluar. Hingga Bara melihatnya.

“Capek?”

Laras hanya tersenyum dan mengangguk malam itu. Begitu lelahnya hingga hanya diam saja saat Bara meraih bahunya. Bahkan dia memejamkan mata menikmati setiap pijatan tangan Bara. Pijatan yang tepat di urat-urat kelelahannya. Pijatan yang tepat di pori-porinya yang berdenyut nyeri saat arah pijatan itu mulai berubah. Pijatan yang membuat Laras mendesah, bergelinjang dan memekik pelan saat kedua telapak tangan itu menangkup dadanya.

Tak ada penolakan. Laras justru merapatkan matanya. Laras justru terus bergelinjang menikmati setiap remasan dan kuluman. Laras justru mendesah penuh permohonan saat kewanitaannya berdenyut nyeri oleh belaian dan ciuman. Bahkan Laraslah yang berinisiatif membawa Bara masuk ke kamar depan!

Tak ada permintaan. Tak perlu ada kata di antara mereka. Hanya lengan-lengan yang berebut saling memuaskan dahaga. Hanya kecipak ludah yang terdengar saat saling membuat basah. Hanya dengus dan desah yang mengiringi irama permaianan cinta mereka. Hingga kemudian pekik puas Laras mengakhiri percintaan mereka!


***

Goresan Cerita Rinzhara

(bukan) Rekayasa Cinta - bagian 1



Keheningan menyelimuti serambi depan rumah. Hanya gemerisik ilalang yang terdengar. Dan sesekali deru kendaraan di kejauhan. Laras menengadahkan wajah. Menatap senja yang mulai datang perlahan. Berusaha mengaburkan amarah dengan menikmati semburat merah yang tampak indah. Keindahan yang biasanya mampu menenangkan segala gundah. Tapi senja ini justru membuat matanya berlinang. Membuat luka di hatinya semakin terasa menyakitkan. Membuat dadanya sesak oleh isak yang menggumpal.

Laras menarik nafas panjang. Berusaha sekuat tenaga menahan isak. Tak boleh ada air mata. Tidak saat perempuan bernama Raesha itu masih ada di depannya. Dia tak akan mempermalukan dirinya dengan tangisan. Dia tak akan membiarkan dirinya tampak bodoh di depan Raesha. Sudah cukup kebodohannya selama ini. Hingga mengira perempuan sempurna di depannya ini datang mengulurkan ikatan persahabatan. Sudah cukup kenaifannya selama enam bulan ini. Hingga begitu tololnya masuk dalam jebakan permainan Raesha.

“Oh Tuhan... Betapa kejam permainan Raesha! Betapa tololnya aku hingga mudah terjebak!”

Laras memalingkan wajah. Butiran bening di sudut mata sudah siap tumpah. Masalah ini terlalu berat buat perempuan sederhana sepertinya. Yang tak pernah mengenal intrik dan tipuan. Yang hidupnya hanya diwarnai hal-hal seputar urusan rumah tangga. Yang otaknya hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana cara bisa menghidupi kedua anak yang masih balita sendirian.

Ahh... Permainan Raesha terlalu menyakitkan bagi hatinya yang rentan!

Bagaimana perempuan biasa sepertinya mampu memahami niat jahat perempuan pintar itu? Bagaimana dia bisa tahu bahwa untuk orang-orang kaya dan pintar seperti Raesha, memaknai cinta bukan hanya sekedar rasa. Bukan hanya sekedar pertautan dua hati yang saling mendamba. Tapi lebih dari itu.. Orang-orang seperti Raesha memaknai cinta lebih pada apa yang bisa didapat dari sebuah hubungan. Lebih pada bagaimana dia bisa mendapatkan sebanyak apa yang sudah diberikan. Cinta bagi orang-orang seperti Raesha lebih rumit dari pada makna cinta bagi Laras.

“Oh Tuhan... Bagaimana perempuan sepertiku bisa tahu bahwa semua ini hanya permainan?”

“Baiklah, Laras!” Laras memalingkan wajah. Melihat Raesha sudah beranjak dari duduknya. Menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ekspresi yang sama sejak kedatangannya.

“Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkannya. Dan aku juga tak berniat meminta jawaban sekarang. Minggu depan, Laras. Aku harap kamu sudah memiliki jawaban.”

Ada kilatan di mata Laras. Ditatapnya perempuan itu dengan amarah yang tak lagi disembunyikan.

“Sampai kapanpun, jawabannya akan sama. Tidak! Kau pikir aku perempuan murahan? Perlu kau tau, Raesha! Tak semua hal bisa kau beli dengan uang!”

Nada suara Laras mengeras. Tatapannya semakin tajam. Namun perempuan di depannya hanya mengibaskan tangan. Masih dalam posisinya berdiri di depan Laras. Masih dengan ekspresi tak terbaca.

“Baca dan pelajari saja dulu! Tak ada yang menganggapmu murahan. Dan aku bisa menambah nominalnya jika kamu rasa masih kurang.”

“Bawa pulang sampah itu!” Dengan kasar didorongnya bendel kertas di atas meja, “dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini! Dengan perjanjian itu atau tanpa perjanjian itu!”

“Ayolah, Laras! Baca saja dulu dan pertimbangkan tawaranku. Tak ada yang dirugikan di sini. Justru perjanjian itu akan membantumu lepas dari masalah.”

Laras menggelengkan kepala dengan gemas. Kesal dengan cara Raesha memaksa. Menyambar bendel kertas itu dengan kasar, berdiri dan melempar kertas itu ke dada perempuan angkuh di depannya.

“Masalahku adalah urusanku. Masalah ini sudah bersamaku sepanjang hidupku. Tak ada urusannya dengan kau! Dan masalahmu, Raesha! Juga tak ada urusannya denganku!”

“Jangan terburu-buru, Laras. Bukankah akan menyenangkan untukmu? Kamu bisa lepas dari lilitan hutang yang selama ini mencekik hidupmu. Dan.. Bukankah kamu seharusnya berterimakasih padaku, karena aku mewujudkan mimpimu dengan Bara?”

Laras mengerjap saat gelombang kemarahan itu mendesak keluar. Tak terbendung. Tak mampu lagi ditahannya. Dengan geram, Laras berdiri dari duduknya. Menatap tajam Raesha. Meluapkan segala sakit yang menyiksa hatinya.

“Tak ada mimpi apapun antara aku dan Bara. Kau pikir aku perempuan bodoh yang bisa kau permainkan seenak perutmu? Kau pikir aku begitu miskinnya hingga mau menjual cintaku? Tidak Raesha! Tak semua orang sepicik kamu! Tak semua orang tak memiliki hati sepertimu!”

“Wow! Bukannya kamu yang mempermainkan aku, Laras? Come on.. Di sini kamu-lah yang tak memiliki hati. Kamu mengkhianati orang yang telah menganggapmu sahabat, Laras. Bukan aku!”

“Tapi kau yang menjebakku. Kau yang merencakan semuanya. Kau yang mengatur semuanya tanpa pernah kusadari sebelumnya. Kau licik! Kau ular, Raesha!”

“Wah..wah..wah.. Kenapa semua kau bolak balik, Laras? Tak ada seorang perempuanpun yang rela suaminya dicuri oleh perempuan lain. Tak ada Laras!”

“Pembohong! Kau di belakang semua yang terjadi.” Suara Laras masih keras, namun sedikit bergetar. Sebersit rasa bersalah menggores kemarahan.

“Jangan mencari pembenaran, Laras! Jangan sok naif! Kamu pikir aku bisa mengatur rasamu? Kamu pikir aku cupid yang bisa mengatur kemana arah cintamu berlabuh? Hahaha... Laras.. Laras! Hatimu sendiri yang menentukan rasa. Bukan aku! Come on.. Kamu mencintai suamiku, Laras. Jangan lupakan itu!”
Kini Laras benar-benar tak mampu lagi menatap Raesha.

“Harusnya kau berterima kasih padaku, Laras. Aku tak menuntutmu. Aku tak melabrakmu karena telah berselingkuh dengan suamiku. Aku bahkan datang untuk memberikan suamiku.”

“Tapi demi keuntunganmu!” Sambar Laras cepat.

“Kamu tahu, Laras? Akan lebih mudah bagiku dan Bara untuk mengadopsi anak. Akan lebih mudah buatku, Laras. Daripada melihat Bara bersama perempuan lain.”

Raesha menunduk saat mengatakannya. Berhenti sesaat. Meletakkan bendel kertas perjanjian itu kembali ke atas meja. Menatap Laras dengan pandangan terluka. Ekspresi yang mengejutkan buat Laras. Ekspresi pertama yang diperlihatkan Raesha sejak kedatangannya senja ini.

“Jika kamu saat ini merasa terluka, Laras.. Maka ketahuilah! Bahwa lukaku lebih dalam dari milikmu!”

Perempuan itu kemudian membalikkan badan. Berjalan cepat meninggalkan serambi rumahnya. Menghilang bersama deru mobilnya yang semakin tak terdengar. Membiarkan Laras dalam kegamangan. Membiarkan Laras dalam rasa bersalah yang semakin menghujam. Membiarkan Laras dalam keterdiamannya.. Dengan mata basah!


***

*** bersambung ***

Goresan Cerita Rinzhara

Hingga Maut Memisahkan


Renata menghentikan langkah. Mengatur nafas yang terengah. Menatap dengan rasa puas ke arah rindangnya pohon di balik belukar dan batu karang di depannya.

“Hampir sampai, Bey! Tinggal satu tanjakan lagi.” Bisik Renata dengan nafas tak teratur. Pendakian ke bukit karang ini ternyata tak semudah perkiraan. Tak semudah yang dikatakan Bey selama ini. Bukit ini sangat terjal. Dengan jalanan setapak mendaki tanpa pemandangan indah. Hanya hamparan ilalang di sela bebatuan cadas yang menjulang di sekelilingnya.

Renata meraih botol air mineral di saku celana kargonya. Menenggak dalam tegukan besar. Menatap sekali lagi ke arah rindangnya dedaunan di atas karang dan kembali melanjutkan langkah.

Hanya satu kelokan tajam dan mendaki, untuk sampai ke pohon yang daunnya terlihat dari tempatnya berdiri tadi. Kini di depan Renata terpampang dataran batu cadas yang tak begitu besar. Dengan hamparan ilalang yang mengering di sela-selanya. Dengan batu-batu cadas hitam dan berrongga di sisi kirinya. Dengan pemandangan debur ombak laut yang tampak mengerikan di sisi lainnya. Dan di sanalah, tepat di tengah-tengah dataran dengan pemandangan laut di bawahnya, sebuah pohon besar berdiri menjulang di tengah batu besar.

Pohon bangkong dan batu besar tempat Bey menyematkan kesendiriannya!

“Akhirnya aku sampai di sini, Bey! Di batu besarmu. Di bukit karang tempatmu membunuh sepi dan rindu. Di bawah rindangnya pohon tempatmu merangkai semua mimpi masa kecilmu.

“Pohon itu masih ada Bey. Masih setia tumbuh meneduhi batu besar itu.”

Dan Renata melangkah mendekat. Sedikit ngeri saat sudut matanya menangkap deburan ombak yang menggila di bawah sana. Menempatkan dirinya di atas batu besar, duduk di sisi menghadap lautan, bersandar pada batang pohon bangkong di belakangnya. Dan berharap inilah posisi yang sama seperti posisi Bey setiap kali menghabiskan waktunya di sini. Menghadap lautan dan bersandar pada batang pohon besar! Satu-satunya pohon berbatang di puncak bukit karang!

“Tak ada yang tahu asal pohon itu tumbuh di tengah batuan. Pohon itu sudah ada sejak aku kanak-kanak. Sejak aku menemukan tempat itu tanpa sengaja. Saat itu, pagi pertama aku tak menemukan ibuku di rumah.”

Renata menghela nafas keras. Merasakan tusukan nyeri di hatinya. Bagaimana dia bisa lupa cerita luka masa kecil Bey? Bagaimana dia bisa lupa bahwa Bey menyimpan luka sepanjang hidupnya? Luka ditinggalkan ibu yang melahirkannya. Membiarkannya sendiri dengan ayah yang sibuk dengan alkohol di mulutnya. Pergi membebaskan diri tanpa memikirkan nasib Bey!

“Mungkin air laut yang membawa biji bangkong hingga ke pantai di bawahnya. Dan mungkin ombaklah yang melemparkannya ke atas puncak bukit karang. Atau bisa jadi kawanan burung yang sering melintas setiap senjalah yang menjatuhkan bijinya tepat di antara bebatuan. Entahlah.. Yang pasti biji itu ada di sana. Tumbuh dan besar hingga sekarang.”

Seperti Bey, yang terdampar di ibu kota tanpa sanak. Sendiri. Selalu sendiri. Sepanjang hidupnya Bey memang selalu sendiri. Hingga menemukan Renata. Hingga menambatkan hatinya pada Renata. Pada perempuan yang mengagumi suaranya di sepanjang lajunya kereta listrik dari Cawang sampai Kota.

“Mereka.. Batu besar dan pohon bangkong itu saling setia. Hidup berdua. Selalu bersama. Saling membutuhkan. Meski mereka sama sekali berbeda. Batu besar itu dengan wujud yang tak pernah berubah. Sedang pohon yang semakin lama tumbuh menjadi pohon besar dan rindang. Batu dengan kediamannya yang membosankan. Dan pohon yang terus berganti-ganti masa. Kadang panas mengeringkan dan meluruhkan daunnya. Kadang bunga yang tumbuh di pucuk-pucuknya menjadikan pohon itu jadi rupawan. Namun pohon tetap setia pada batu besar. Tetap tumbuh di antaranya. Tetap meneduhi batu itu saat panas tiba.

“Seperti seharusnya pasangan yang saling mencinta!”

Renata memejamkan matanya. Bahkan dia masih ingat tatapan Bey yang penuh harap dan cinta saat mengatakannya. Bahkan semua kenangan itu masih jelas dalam relungnya.

“Tapi cinta tak seharusnya menjadi penghalang langkah pasangannya, Bey! Cinta harus jadi pendorong. Bukan penghalang.”

“Aku mendukungmu, Renata! Selalu mendukungmu. Bahkan aku bersedia menjadi orang lain agar kau tak malu memiliki suami seorang pengamen sepertiku. Bahkan aku sanggup berbohong di depan teman-temanmu seperti yang kau pinta. Aku mendukungmu, Renata!”

Bey memang mendukungnya. Selalu mendukungnya. Selalu berkorban demi dirinya. Bekerja keras mengerjakan apa saja agar bisa menutup biaya kuliahnya yang tak terbayar dari gajinya yang pas-pasan. Bahkan meski berat, meski itu menyakiti hatinya yang rentan, Bey mendukung kepergiannya untuk belajar ke Australia saat kantor memberinya bea siswa. Bey mendukungnya. Mengantar kepergiannya. Menunggu dengan setia selama dua tahun lamanya. Rajin mendoakannya dalam untaian kata yang ditulisnya dalam surat.
Bey selalu rajin menyuratinya. Meski Renata jarang membalas. Selalu menunggunya meski karena kesibukan belajar sering membuat Renata melupakannya. Selalu memikirkannya. Meski Renata sibuk dengan Bryan!

Bryan! Lelaki sempurna di matanya kala itu. Begitu pintar dan kaya. Begitu tampan dan berpenampilan elegant. Lelaki terhormat dan terpelajar. Berbeda dengan Bey. Jauhh berbeda. Dan perbedaan itu menyilaukan mata Renata. Membuat Renata lupa bahwa dia bukan lagi seorang lajang. Bahwa jauh di Jakarta sana, ada lelaki sederhana yang menunggunya dengan setia.

Renata menarik nafas panjang. Dadanya sesak oleh gumpalan isak. Betapa bodohnya! Betapa tololnya! Betapa jahatnya Renata hingga melukai hati Bey! Hati tulus milik lelaki jalanan. Hati yang dipenuhi cinta. Hati yang dipenuhi satu mimpi.. Membahagiakan Renata!

“Maaf!”

Hanya itu yang bisa diucapkan Renata kala itu. Kala dua tahun keberadaannya di Australia berakhir. Kala dia kembali ke Jakarta bersama Bryan. Kembali ke kantornya. Kembali ke aktifitas seperti sebelum berangkat ke Australia. Tapi bukan untuk kembali ke rumah kontrakan di mana bey menunggunya. Bukan untuk kembali ke hati Bey!

Kali ini Renata memiliki hati Bryan. Meski tak satupun janji yang diucapkan Bryan untuk menikahinya. Meski Renata sendiri belum tahu bagaimana masa depan cintanya dengan Bryan. Lelaki itu terlalu ambisius meraih puncak kesuksesan. Hingga kadang menempatkan Renata hanya sebagai penghibur kejenuhan semata. Dan sering meniadakan Renata saat disibukkan oleh ambisinya. Pun begitu status Bryan sanggup menyilaukan mata Renata. Mampu menumpulkan hati Renata dari lelaki yang setia mendoakannya.

Sore itu Renata pulang ke rumah kontrakan mereka. Menemui Bey yang gembira melihat kedatangannya. Menemui Bey yang begitu bahagia dengan binar cinta di matanya. Sore itu, Renata datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Agar Bey berhenti menunggunya. Renata datang untuk membebaskan dirinya dari ikatan pernikahan.

“Kau mencintainya?”

Tak ada kemarahan dalam nada suara Bey. Hanya ada luka di matanya. Luka yang dalam. Luka yang tak membuat hati Renata bergeming dari keputusannya berpisah.

“Pergilah, Renata! Jika dengan bersamanya kau lebih bahagia. Doaku untuk kebahagiaanmu.”

“Bagaimana dengan kau?”

“Aku akan baik-baik saja. Aku akan terus menjalani hidupku seperti sebelumnya. Seperti saat kita masih bersama. Seperti saat kita memupuk mimpi berdua.”

“Jangan mengharapkanku kembali, Bey! Jangan menungguku!”

“Tidak, Renata! Mungkin kau tak lagi ada di sisiku. Tapi bukan berarti mimpiku untuk membahagiakanmu berakhir. Meski kau telah pergi dan tak mau kembali. Mimpiku tetap sama Renata. Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Aku akan terus menjalani hariku dengan memimpikan kebahagiaanmu. Meski kebahagiaanmu bukan bersamaku.”

Butiran bening meluncur turun dengan deras dari kedua kelopak Renata. Bahunya tersengal. Isaknya tumpah. Penyesalan menyesaki dadanya.

“Kau berbohong, Bey! Kau menipuku! Kau bilang kau akan hidup terus dengan memimpikanku. Kau bilang akan terus menjalani hidupmu dan mendoakan kebahagiaanku! Tapi mana buktinya? Mana Bey??”

Teriakan Renata menggema di puncak bukit karang. Isaknya terdengar di antara debur ombak. Penyesalannya menyesaki udara di sekitar batu besar. Membuat angin enggan datang. Membuat pohon bangkong terdiam. Membuat batu besar membeku di bawahnya. Seakan ikut merasakan penyesalan Renata. Seakan turut berduka dengan jalan kematian yang ditempuh Bey sepeninggalnya!

Seakan semesta tahu apa yang akan terjadi sesudahnya, awan hitam berarak mendekati puncak bukit karang. Perlahan suasana di dataran itu berubah menjadi muram.

Renata bergerak dari duduknya. Menghapus sisa air mata yang membasahi wajahnya. Melangkah pelan ke depan, menjauhi batu besar.

“Andai kau mau bersabar, Bey! Satu jam saja! Maka kau akan melihatku berlari pulang. Maka kau akan tahu hatiku berubah. Ya, Bey! Andai kau menepati janjimu untuk terus hidup.. Satu jam saja! Maka aku akan mendapatimu tersenyum bahagia menyambutku. Dan bukan justru menemukan banyak darah yang menyelimuti jasadmu!”

Renata menghentikan langkahnya. Bergidik ngeri sesaat. Menarik nafas panjang. Memejamkan mata dan bergumam pelan.

“Andai kau menepati janjimu untuk terus hidup.. maka kau akan tahu, Bey! Bahwa aku memutuskan pulang untuk bersamamu! Untuk menepati janji cinta kita. Untuk bersama selamanya..

“Hingga maut memisahkan!”

Dan masih dengan mata terpejam, Renata menjatuhkan dirinya ke bawah. Ke dalam jurang beralas debur ombak yang menggila. Tubuhnya melayang cepat dari atas puncak bukit karang yang cadas. Dari tempat Bey menghabiskan masa kecilnya dalam kesendirian. Dari tempat Bey  merajut mimpi-mimpinya. Dari puncak di mana batu besar dan pohon bangkong berada, tubuh Renata terus melayang ke bawah dengan cepat. Dan hilang di antara ombak yang pecah menghantam karang!

***

Goresan Cerita Rinzhara