Senja telah berlalu. Serambi depan sudah diselimuti
kegelapan. Jejak Raesha telah lenyap. Tapi untuk beberapa saat, Laras masih
terdiam dalam kesendirian. Masih bingung dengan apa yang barusan terjadi
padanya. Masih gamang menentukan sikap. Masih banyak tanya yang membutuhkan
jawaban.
Sebelum kemudian memutuskan beranjak. Berdiri linglung
menatap surat perjanjian di atas meja. Meraihnya dengan enggan. Dan melangkah,
meninggalkan serambi depan yang gelap.
Tak perlu lagi membaca detail perjanjian itu. Karena bahkan
dengan sekali baca Laras sudah tahu maksud yang tertuang di dalamnya. Dan hanya
sekali baca pula Laras sudah tahu jawabannya. Tak perlu berpikir ulang seperti
pinta Raesha. Sampai kapanpun jawaban Laras tetap sama. Tidak!
Ada lima lembar dalam bendel surat perjanjian yang dibawa Raesha.
Lembar pertama dan kedua berisi tentang siapa Raesha yang disebut sebagai pihak
pertama. Ada juga nama Bara yang disebut sebagai pihak ketiga. Dan nama Laras
sendiri berikut semua data diri yang termuat sebagai pihak kedua.
Di lembar
ketiga dan keempat tertulis maksud dan tujuan Raesha membuat surat perjanjian
itu. Meski disamarkan dengan bahasa hukum yang rumit, namun Laras tahu apa
sebenarnya maksud Raesha sebenarnya. Kasarnya, Raesha menginginkan rahimnya
untuk melahirkan anak. Anak yang nanti sepenuhnya milik Raesha. Laras hanya
bertugas hamil dan melahirkan. Tanpa tanggung jawab membesarkan. Bahkan jika
mungkin anak yang dilahirkan dari rahimnya itu tak boleh tahu siapa Laras
baginya. Oh ya, dengan peran Bara tentunya. Dan sudah pasti dengan imbalan
nominal yang besar. Ya..ya! Bukankah orang-orang seperti Raesha dan Bara memang
selalu menggunakan uang untuk memecahkan masalah mereka? Sedangkan untuk pernikahan
yang ditawarkan Raesha hanya sebuah cara untuk mendaparkan sertifikat halal
dari tuhan.
Hah! Mereka pikir Laras sama piciknya dengan mereka? Mereka pikir
kemiskinannya selama ini akan membuat Laras mudah tergiur sejumlah uang? Mereka
pikir pernikahan dengan tujuan kotor seperti yang direncanakan Raesha dan Bara
akan direstui Tuhan?
Bodoh! Ternyata mereka menggunakan kepintaran mereka untuk
hal-hal tolol! Apa mereka pikir bisa menipu tuhan?
Laras mendengus kesal. Melangkah cepat menuju belakang rumah.
Melemparkan begitu saja surat perjanjian itu keatas bufet di ruang tengah. Dan
tersenyum penuh sayang saat melihat kedua anaknya telah terlelap di ruang
tengah. Dengan hati-hati Laras memindahkan mereka ke dalam kamar. Mengecup
dahi-dahi buah hatinya. Menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah mereka untuk
esok harinya. Dan menyibukkan diri dengan berbagai adonan yang telah akrab
dengan malam-malamnya.
Tak ada waktu untuk menikmati kesedihan saat ini. Karena masih
banyak tugas menanti. Masih banyak yang harus dilakukannya agar bisa menghidupi
buah hati esok hari.
Dan tak ada gunanya menyesali yang pernah terjadi. Bukankah
dengan kejadian ini, Laras bisa cepat tersadar akan langkah kecilnya yang
salah? Ya! Bagaimanapun hubungannya dengan Bara adalah hubungan terlarang. Bara
masih milik Raesha. Dan dia tak berhak memisahkan pasangan yang telah disatukan
semesta. Ada ataupun tidak ada skenario dibelakang hubungan mereka, tetap saja,
Laras telah melakukan kesalahan! Pada Raesha dan pada semesta!
Ahh.. Sebenarnya rasa bersalah itu telah hadir di hatinya
sejak lama. Berulang kali pula dia telah mengatakan rasa bersalah itu pada Bara.
Meminta Bara berhenti menemuinya. Meminta Bara berhenti berhubungan dengannya! Meminta
hubungan mereka berhenti sebelum Raesha mengetahuinya.
“Aku akan berhenti menemuimu jika memang kau tak
menginginkannya. Tapi bukan dengan alasan Raesha.”
Selalu itu jawaban Bara saat Laras menyampaikan ketakutannya.
“Mungkin bukan karena Raesha. Tapi karena apa yang kita
lakukan ini salah.”
“Tak ada yang salah dengan cinta.”
“Cintanya memang tak salah. Tapi kita yang salah. Kita telah
melanggar banyak hal. Norma, kepantasan.. Bahkan sumpah setia.”
“Aku tak perduli dengan segala norma dan kepantasan.”
“Lalu soal setia?”
“Sumpah setia hanya berlaku saat masih ada ikatan cinta.”
Memang tak ada kata-kata cinta untuk Laras. Tapi jawaban Bara
saat itu terdengar di telinga Laras sebagai ungkapan cinta.
“Betapa bodohnya!” Geram Laras sambil membanting adonan yang
akan dijadikannya donat dalam sebuah nampan.
Selama ini memang tak pernah ada ungkapan cinta dari Bara. Bahkan
Bara tak pernah benar-benar memintanya jadi seorang kekasih. Hubungan mereka
berjalan begitu saja. Mengalir dan akhirnya begitu dekat, melewati batas-batas
ikatan persahabatan!
“Bodoh! Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang
menganggapnya kekasih?” Laras berhenti dengan tangan masih memegang adonan.
Benaknya sibuk membuka lembaran-lembaran kisah pertemuannya dengan Bara. Sibuk mencari
kata-kata cinta yang mungkin pernah terucap. Sibuk mengingat setiap kenangan
yang dijalaninya berdua.
Tak ada! Tak pernah ada! Andaipun ada, dia tak mungkin
melupakannya.
Tapi bukankah di usia mereka memang tak harus ada kata-kata?
Bukankah tak semua orang mampu mengungkapkan rasa? Bukankah tak semua rasa
mampu diwujudkan dalam kata?
Sikap Bara toh menunjukkan bahwa memang ada yang istimewa
dengan hubungan mereka. Dan bagi Laras memang istimewa! Karena dia tak mungkin
membiarkan Bara mencium bibirnya jika memang mereka tak ada ikatan rasa. Dan jika
menurut Bara ciuman bibir bukan hal istimewa, setidaknya malam itu tak akan
terjadi jika Bara menganggapnya sahabat saja!
Dengan pelan semburat merah mewarnai pipi Laras. Hatinya berdesir
panas. Kulit tubuhnya menggelenyar setiap kali dia mengingat kejadian malam
itu. Malam yang manis. Yang serasa sudah seabad tak pernah dia rasakan. Malam
di mana dia kembali merasa menjadi perawan lugu yang belum pernah bercinta!
Malam itu memang suasana seperti memberi restunya. Malam
yang dingin karena sesiangan hujan deras. Anak-anak bahkan tak terbangun untuk
sekedar minum air putih seperti biasa. Dan Bara begitu harum dan wangi. Dan Laras
begitu lelah saat itu setelah menyelesaikan 50 biji donat, pesanan tetangga
untuk pesta ulang tahun anak mereka. Kelelahan yang terpancar keluar. Hingga Bara
melihatnya.
“Capek?”
Laras hanya tersenyum dan mengangguk malam itu. Begitu lelahnya
hingga hanya diam saja saat Bara meraih bahunya. Bahkan dia memejamkan mata
menikmati setiap pijatan tangan Bara. Pijatan yang tepat di urat-urat
kelelahannya. Pijatan yang tepat di pori-porinya yang berdenyut nyeri saat arah
pijatan itu mulai berubah. Pijatan yang membuat Laras mendesah, bergelinjang
dan memekik pelan saat kedua telapak tangan itu menangkup dadanya.
Tak ada penolakan. Laras justru merapatkan matanya. Laras
justru terus bergelinjang menikmati setiap remasan dan kuluman. Laras justru mendesah
penuh permohonan saat kewanitaannya berdenyut nyeri oleh belaian dan ciuman.
Bahkan Laraslah yang berinisiatif membawa Bara masuk ke kamar depan!
Tak ada permintaan. Tak perlu ada kata di antara mereka. Hanya
lengan-lengan yang berebut saling memuaskan dahaga. Hanya kecipak ludah yang
terdengar saat saling membuat basah. Hanya dengus dan desah yang mengiringi
irama permaianan cinta mereka. Hingga kemudian pekik puas Laras mengakhiri
percintaan mereka!
***
Goresan Cerita Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar