(bukan) Rekayasa Cinta - bagian 2




Senja telah berlalu. Serambi depan sudah diselimuti kegelapan. Jejak Raesha telah lenyap. Tapi untuk beberapa saat, Laras masih terdiam dalam kesendirian. Masih bingung dengan apa yang barusan terjadi padanya. Masih gamang menentukan sikap. Masih banyak tanya yang membutuhkan jawaban.

Sebelum kemudian memutuskan beranjak. Berdiri linglung menatap surat perjanjian di atas meja. Meraihnya dengan enggan. Dan melangkah, meninggalkan serambi depan yang gelap.

Tak perlu lagi membaca detail perjanjian itu. Karena bahkan dengan sekali baca Laras sudah tahu maksud yang tertuang di dalamnya. Dan hanya sekali baca pula Laras sudah tahu jawabannya. Tak perlu berpikir ulang seperti pinta Raesha. Sampai kapanpun jawaban Laras tetap sama. Tidak!

Ada lima lembar dalam bendel surat perjanjian yang dibawa Raesha. Lembar pertama dan kedua berisi tentang siapa Raesha yang disebut sebagai pihak pertama. Ada juga nama Bara yang disebut sebagai pihak ketiga. Dan nama Laras sendiri berikut semua data diri yang termuat sebagai pihak kedua. 

Di lembar ketiga dan keempat tertulis maksud dan tujuan Raesha membuat surat perjanjian itu. Meski disamarkan dengan bahasa hukum yang rumit, namun Laras tahu apa sebenarnya maksud Raesha sebenarnya. Kasarnya, Raesha menginginkan rahimnya untuk melahirkan anak. Anak yang nanti sepenuhnya milik Raesha. Laras hanya bertugas hamil dan melahirkan. Tanpa tanggung jawab membesarkan. Bahkan jika mungkin anak yang dilahirkan dari rahimnya itu tak boleh tahu siapa Laras baginya. Oh ya, dengan peran Bara tentunya. Dan sudah pasti dengan imbalan nominal yang besar. Ya..ya! Bukankah orang-orang seperti Raesha dan Bara memang selalu menggunakan uang untuk memecahkan masalah mereka? Sedangkan untuk pernikahan yang ditawarkan Raesha hanya sebuah cara untuk mendaparkan sertifikat halal dari tuhan.

Hah! Mereka pikir Laras sama piciknya dengan mereka? Mereka pikir kemiskinannya selama ini akan membuat Laras mudah tergiur sejumlah uang? Mereka pikir pernikahan dengan tujuan kotor seperti yang direncanakan Raesha dan Bara akan direstui Tuhan?

Bodoh! Ternyata mereka menggunakan kepintaran mereka untuk hal-hal tolol! Apa mereka pikir bisa menipu tuhan?

Laras mendengus kesal. Melangkah cepat menuju belakang rumah. Melemparkan begitu saja surat perjanjian itu keatas bufet di ruang tengah. Dan tersenyum penuh sayang saat melihat kedua anaknya telah terlelap di ruang tengah. Dengan hati-hati Laras memindahkan mereka ke dalam kamar. Mengecup dahi-dahi buah hatinya. Menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah mereka untuk esok harinya. Dan menyibukkan diri dengan berbagai adonan yang telah akrab dengan malam-malamnya.

Tak ada waktu untuk menikmati kesedihan saat ini. Karena masih banyak tugas menanti. Masih banyak yang harus dilakukannya agar bisa menghidupi buah hati esok hari.

Dan tak ada gunanya menyesali yang pernah terjadi. Bukankah dengan kejadian ini, Laras bisa cepat tersadar akan langkah kecilnya yang salah? Ya! Bagaimanapun hubungannya dengan Bara adalah hubungan terlarang. Bara masih milik Raesha. Dan dia tak berhak memisahkan pasangan yang telah disatukan semesta. Ada ataupun tidak ada skenario dibelakang hubungan mereka, tetap saja, Laras telah melakukan kesalahan! Pada Raesha dan pada semesta!

Ahh.. Sebenarnya rasa bersalah itu telah hadir di hatinya sejak lama. Berulang kali pula dia telah mengatakan rasa bersalah itu pada Bara. Meminta Bara berhenti menemuinya. Meminta Bara berhenti berhubungan dengannya! Meminta hubungan mereka berhenti sebelum Raesha mengetahuinya.

“Aku akan berhenti menemuimu jika memang kau tak menginginkannya. Tapi bukan dengan alasan Raesha.”
Selalu itu jawaban Bara saat Laras menyampaikan ketakutannya.

“Mungkin bukan karena Raesha. Tapi karena apa yang kita lakukan ini salah.”

“Tak ada yang salah dengan cinta.”

“Cintanya memang tak salah. Tapi kita yang salah. Kita telah melanggar banyak hal. Norma, kepantasan.. Bahkan sumpah setia.”

“Aku tak perduli dengan segala norma dan kepantasan.”

“Lalu soal setia?”

“Sumpah setia hanya berlaku saat masih ada ikatan cinta.”

Memang tak ada kata-kata cinta untuk Laras. Tapi jawaban Bara saat itu terdengar di telinga Laras sebagai ungkapan cinta.

“Betapa bodohnya!” Geram Laras sambil membanting adonan yang akan dijadikannya donat dalam sebuah nampan.

Selama ini memang tak pernah ada ungkapan cinta dari Bara. Bahkan Bara tak pernah benar-benar memintanya jadi seorang kekasih. Hubungan mereka berjalan begitu saja. Mengalir dan akhirnya begitu dekat, melewati batas-batas ikatan persahabatan!

“Bodoh! Atau jangan-jangan hanya aku sendiri yang menganggapnya kekasih?” Laras berhenti dengan tangan masih memegang adonan. Benaknya sibuk membuka lembaran-lembaran kisah pertemuannya dengan Bara. Sibuk mencari kata-kata cinta yang mungkin pernah terucap. Sibuk mengingat setiap kenangan yang dijalaninya berdua.

Tak ada! Tak pernah ada! Andaipun ada, dia tak mungkin melupakannya.

Tapi bukankah di usia mereka memang tak harus ada kata-kata? Bukankah tak semua orang mampu mengungkapkan rasa? Bukankah tak semua rasa mampu diwujudkan dalam kata?

Sikap Bara toh menunjukkan bahwa memang ada yang istimewa dengan hubungan mereka. Dan bagi Laras memang istimewa! Karena dia tak mungkin membiarkan Bara mencium bibirnya jika memang mereka tak ada ikatan rasa. Dan jika menurut Bara ciuman bibir bukan hal istimewa, setidaknya malam itu tak akan terjadi jika Bara menganggapnya sahabat saja!

Dengan pelan semburat merah mewarnai pipi Laras. Hatinya berdesir panas. Kulit tubuhnya menggelenyar setiap kali dia mengingat kejadian malam itu. Malam yang manis. Yang serasa sudah seabad tak pernah dia rasakan. Malam di mana dia kembali merasa menjadi perawan lugu yang belum pernah bercinta!

Malam itu memang suasana seperti memberi restunya. Malam yang dingin karena sesiangan hujan deras. Anak-anak bahkan tak terbangun untuk sekedar minum air putih seperti biasa. Dan Bara begitu harum dan wangi. Dan Laras begitu lelah saat itu setelah menyelesaikan 50 biji donat, pesanan tetangga untuk pesta ulang tahun anak mereka. Kelelahan yang terpancar keluar. Hingga Bara melihatnya.

“Capek?”

Laras hanya tersenyum dan mengangguk malam itu. Begitu lelahnya hingga hanya diam saja saat Bara meraih bahunya. Bahkan dia memejamkan mata menikmati setiap pijatan tangan Bara. Pijatan yang tepat di urat-urat kelelahannya. Pijatan yang tepat di pori-porinya yang berdenyut nyeri saat arah pijatan itu mulai berubah. Pijatan yang membuat Laras mendesah, bergelinjang dan memekik pelan saat kedua telapak tangan itu menangkup dadanya.

Tak ada penolakan. Laras justru merapatkan matanya. Laras justru terus bergelinjang menikmati setiap remasan dan kuluman. Laras justru mendesah penuh permohonan saat kewanitaannya berdenyut nyeri oleh belaian dan ciuman. Bahkan Laraslah yang berinisiatif membawa Bara masuk ke kamar depan!

Tak ada permintaan. Tak perlu ada kata di antara mereka. Hanya lengan-lengan yang berebut saling memuaskan dahaga. Hanya kecipak ludah yang terdengar saat saling membuat basah. Hanya dengus dan desah yang mengiringi irama permaianan cinta mereka. Hingga kemudian pekik puas Laras mengakhiri percintaan mereka!


***

Goresan Cerita Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar