di Ujung Lara Nayra

“Waktu tak bisa diputar ulang. Waktu akan terus berjalan. Berat ataupun ringan. Mau ataupun tidak. Kau harus mengikuti sang waktu.”

Suara Kenzie begitu tenang. Tanpa beban. Bahkan mungkin tanpa rasa! Berbeda sekali dengan gejolak rasa di dada Nayra.

“Waktu yang sudah berlalu, selamanya akan menjadi masa lalu. Tak bisa dijadikan masa kini. Apalagi masa depan.”

Lelaki itu masih berkata-kata. Nayra sendiri hanya diam dan menatap lekat lelaki yang duduk di depannya. Tak sekalipun dia mengalihkan tatap. Meski sedari tadi, lelaki itu tak sekalipun membalas tatap Nayra. Hingga mungkin Kenzie tak pernah tahu ada sorot luka di mata Nayra. Bahkan mungkin Kenzie juga tak menyadari bahwa kata-katanya membuat kelopak Nayra basah!

“Seperti halnya kisah kita, Nay! Sudah berlalu. Sudah menjadi masa lalu.”

Sebenarnya tak perlu mendengar Kenzie berbicara lebih banyak. Nayra sudah bisa menduga jawaban lelaki itu sejak awal. Sejak pertama kali dia berdiri berhadapan dengan lelaki itu sejam lalu. Saat Nayra menyadari bahwa Kenzie terlihat tak begitu senang bertemu dengannya siang ini.
Seharusnya Nayra bergegas pergi dari depan Kenzie sejak tadi. Dan bukan membiarkan sakit itu merejam hatinya. Bukan justru membiarkan Kenzie mengatakan lebih banyak hal yang menyakitkan.

Akan lebih baik bagi Nayra berlalu dari depan Kenzie secepatnya, melupakan segala cerita cinta mereka, membuang harap dan menanggung sendiri masalahnya. Daripada dia hanya diam mengutuki kebodohan karena telah mempermalukan diri menemui lelaki yang tak lagi mencintainya. Daripada hanya menyesali keputusannya meminta Kenzie yang tak lagi menginginkannya. Daripada membiarkan dadanya sesak oleh ketololannya karena telah mengungkapkan kerinduan dan rasa cinta.

“Lupakan aku, Nay! Lanjutkan hidupmu! Suatu saat waktu akan membantumu menemukan lelaki yang lebih segalanya dariku. Suatu saat kamu akan menyadari bahwa aku memang bukan yang terbaik bagimu.”

Nayra sudah membuka mulutnya untuk berkata. Saat kepala lelaki itu bergerak pelan. Untuk pertama kali sejak mereka berhadapan, Kenzie membalas tatapnya. Tatapan dengan ekspresi tak terbaca. Dengan raut muka tenang. Namun mampu memporakporandakan perasaan Nayra. Mampu membuat jantung Nayra bergemuruh keras. Mampu membuat nafas Nayra terhenti sesaat! Tak ada cinta dalam tatapan Kenzie!

Hanya sesaat Kenzie menatapnya sebelum kemudian berlalu dari hadapan. Melangkah cepat meninggalkan Nayra. Tak sekalipun Kenzie menoleh untuk melihat keadaan Nayra. Tak sekejappun Kenzie berhenti melangkah mendengar panggilan Nayra. Kenzie terus melangkah. Terus menjauhi tempat Nayra berada. Pergi dari hidup Nayra untuk selamanya.

***

Nayra menghempaskan tubuhnya di atas ranjang setelah selesai memasang headset di telinga. Rasa penat setelah membuat kue ulang tahun sedikit mengabur. Lantunan suara Duta mengalun pelan di telinganya. Merasuk ke dalam rasanya. Membuai kesedihannya.

“Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu. Andai saja cintamu seperti cintaku...”

Mulut Nayra melantunkan tembang itu dengan penuh perasaan. Lagu favoritenya beberapa bulan terakhir ini. Gambaran kisahnya. Seolah Sheilla on Seven memang menciptakan lagu itu untuknya. Untuk memanjakan kesedihannya.

“Gimana loe bisa move on, Nay! Kalo tiap hari loe denger lagu itu mulu.”

Seulas senyum pilu terkembang di bibir Nayra saat mengingat kegusaran Marla setiap kali melihatnya menyendiri dalam kamar. Mendengarkan lagu-lagu melankolis. Atau menulis puisi-puisi tentang sakit hati dan kerinduan. Senyum semu yang sering menjengkelkan sahabatnya. Bahkan tak jarang membuat Marla meledak marah.

“Bangun, Nay! Keluar dan gaul! Masih banyak cowok baik di luar sana. Gak ada gunanya loe mewek-mewek begini. Loe harus lanjutin hidup seperti sebelumnya. Bahagia dan ceria. Seperti Nayra yang gue kenal!”

“Andai semudah itu, La.” Gumam Nayra di antara suara Duta.

Kadang Nayra tak habis pikir dengan orang-orang yang selalu menganggap mudah segala hal yang terjadi dengan orang lain. Padahal belum tentu jika orang itu menghadapi masalah yang sama, mampu mengatasi semudah yang mereka nasihatkan.

“Siapa sih yang ingin berada dalam kesedihan selamanya? Memang dipikir enak ya berkubang dalam sakit hati setiap detiknya? Mereka toh hanya pintar bicara. Coba saja jika mereka berada di posisiku. Apakah mereka bisa secepatnya melupakan masa lalu? Apa mereka bisa secepatnya bangkit dan memindahkan cinta pada lelaki lain? Apa mereka tahu bagaimana rasanya menjadi aku? Apa mereka bisa merasakan duka di hatiku?”

Nayra memutar badannya. Menempatkan dirinya senyaman mungkin di atas ranjang. Masih dengan headset di kedua telinganya. Masih dengan suara Duta yang terus diputar ulang. Masih dengan berbagai suara yang mengganggu relungnya.

“Mau sampai kapan loe begini terus?”
“Sampai senyumku tak lagi semu.”

Tak lelah-lelahnya Marla menyemangati Nayra. Tak bosan-bosan sahabatnya itu mengajak keluar dan berteman dengan banyak orang. Tapi Nayra punya seribu alasan untuk berkilah dan menolak. Selalu ada jawaban di setiap usaha Marla.

“Suatu saat.. Saat umur loe sudah tak muda lagi. Saat lelaki single seusia loe sudah jarang ditemukan. Loe akan menyesali saat-saat ini, Nay!”

Ingin rasanya Nayra berteriak di telinga Marla, bahwa Nayra sendiri juga menyesali apa yang pernah terjadi! Hidupnya kini tak sama lagi. Tak ada waktu baginya untuk bersosialisasi. Tak ada waktu buat mengenal lelaki lain. Hidupnya sekarang hanya untuk bekerja dan secepatnya pulang ke rumah. Bahwa dia kini bukan Nayra yang dulu lagi.

Nayra yang ini adalah Nayra yang telah melalui kepedihan selama 19 bulan tanpa henti. Yang telah mengalami getirnya hidup sendiri. Yang harus menghadapi kemarahan orang tuanya dan orang tua Kenzie. Tanpa belas kasih akan keadaannya. Tanpa ikut memikirkan masa depannya. Tanpa teman yang mau mendekat. Hanya Marla seorang!

Ya! Hanya Marla yang tak pernah berhenti membantunya. Menyemangati hidupnya. Menemaninya melewati hari berat. Menuntunnya saat Nayra kelelahan. Bahkan Marla pula yang memperjuangkan Nayra di depan atasan agar tetap bekerja saat Nayra terlalu sering alpa.

Nayra menghapus butiran bening yang meleleh tiada henti. Melepas headset dari kedua telinganya. Berusaha menghentikan isak.

Ahh.. Andai waktu bisa diputar ulang... Andai kejadian 19 bulan lalu bisa diulang.. Dia tentu tak akan menuruti kata hati. Dia tentu tak akan meminta Kenzie menemui. Dia tentu tak akan meminta Kenzie untuk kembali. Kenzie tentu tak akan pernah datang ke taman hari itu. Tak perlu melarikan diri dari Nayra. Tak perlu takut oleh teriakan Nayra. Bahkan mungkin tak perlu tahu kondisi Nayra. Hingga orang tua Kenzie tak perlu menyalahkannya!

Tapi benarkah dia yang bersalah? Pantaskan setelah dia harus menanggung sendiri bebannya, masih juga harus menanggung rasa bersalah?

Saat itu Kenzie melangkah cepat meninggalkannya. Tak memperdulikannya. 19 bulan lalu! Berlalu terburu. Seolah ingin secepatnya pergi dari hidup Nayra. Seolah tak ingin lagi mendengar kata-kata Nayra. Seolah tak mau tahu dengan kabar yang ingin disampaikan Nayra. Bayangan harus menghadapi masalahnya sendirian, membuat Nayra panik. Membuat Nayra berlari mengejar Kenzie. Berteriak memanggil lelaki yang seolah semakin kencang melangkahkan kaki. Membuat Nayra terpaksa mengatakannya dengan teriakan saat jarak mereka sudah cukup dekat. Cukup dekat bagi Kenzie mendengar kata-katanya. Agar Kenzie menghentikan langkah. Agar Kenzie berbalik arah. Agar Kenzie menghampirinya!

Nayra terisak. Bahunya berguncang pelan.

Kenzie memang berhenti saat itu. 19 bulan lalu. Kenzie juga membalikkan badan hingga menghadap Nayra dengan wajah tercengang. Dengan tatapan tak percaya. Dengan mulut ternganga. Tapi tanpa mendekat!

Mereka berdiri berhadapan dengan jarak 5 meter yang membentang. Nayra dengan tatapan iba dan air mata. Sedang Kenzie dengan tatapan tak percaya dan kemarahan.

“Berusaha mendapatkan keinginan dengan melakukan kebohongan itu perbuatan memalukan, Nayra!”

Suara Kenzie begitu tenang dan pelan saat itu. Tapi mampu membekukan hati Nayra.

“Dengan cara itu kau justru akan kehilangan semuanya. Aku, kenangan indah kita dan bahkan sisa rasa!”

Dan lelaki itu berbalik dengan cepat. Kembali tak memperdulikan teriakan Nayra. Tak mau mendengar penjelasan Nayra. Begitu terburu ingin berlalu dari hidup Nayra. Begitu takut oleh kebenaran yang dibawa Nayra. Begitu cepat langkahnya hingga tak mampu menghindar saat sebuah kendaraan roda dua melaju kencang dari samping kanan.

Dengan kedua matanya, Nayra menyaksikan tubuh Kenzie terlempar ke kiri begitu keras. Kepala lelaki itu menghantam tiang listrik yang berdiri menjulang di sisi kiri jalan. Dengan suara derak yang mengerikan. Dengan darah begitu banyak setelahnya.

Nayra tersedu dalam posisinya berbaring miring di atas ranjang. Bayangan darah dan suara derak itu masih jelas dalam ingatan. Sampai sekarang! Meski 19 bulan telah berlalu dengan penuh kepahitan.

“Mam.. Mam...”

Nayra tersentak. Bayangan masa lalu itu menghilang cepat. Dengan terburu, Nayra menghapus cepat air mata. Menyiapkan senyum terbaiknya. Kemudian berbalik dan merentangkan tangan.

Peri kecil berwajah bidadari itu berdiri berpegangan di kusen pintu kamar. Menatapnya dengan binar menggemaskan. Dengan rambut kemerahan yang tumbuh jarang di kepalanya. Dengan dua gigi yang terlihat dalam senyum Kenzie di wajah mungilnya. Di belakang peri kecilnya, mbak Min, pembantu rumah tangganya, berdiri dan tersenyum riang.

Nayra bangkit dan melangkah cepat. Memeluk erat bidadarinya. Menumpahkan cinta dan rasa sayangnya. Pada belahan jiwanya. Pada peri kecil sumber semangat hidupnya. Pada bayi mungil yang deminya-lah Nayra mampu melewati segala kepedihan! Pada satu-satunya cinta dan rindunya kini bermuara!

“Selamat ulang tahun yang pertama, Kenzie sayang.”

Dan dikecupnya kedua pipi gadis mungilnya dengan gemas. Yang disambut tawa ceria. Seceria hari-hari yang menantinya.

***




Goresan Cerita Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar