Senja
pertama bulan ketiga, perempuan bernama Rasha itu kembali menemuinya. Kali ini
bukan untuk bercengkerama seperti yang sudah-sudah. Kali ini dia datang dengan
wajah datar, dengan membawa beban dan menumpahkannya begitu kami berhadapan.
Perempuan
bernama Rasha datang dengan tanya dan pinta. Yang membuat dirinya ternganga
akan kata yang tak disangka akan keluar dari bibirnya, bibir perempuan yang dua
purnama begitu dekat dan disangkanya milik sahabat!
Ya!
Siapa yang menyangka, dibalik uluran persahabatan tersimpan sebuah tujuan yang
mencengangkan. Betapa liciknya! Dan betapa hebat kemampuannya menahan amarah
agar tak meledak. Hingga jeda kesunyian menyelimuti mereka berdua, untuk
beberapa saat.
Rasha
dengan ekspresi datarnya dan dia dengan berbagai rasa dan amarah yang mengaduk
jiwa, membuatnya terpuruk dalam sedu yang tak lagi mampu terbendung.
“Kenapa
kau tega melakukannya padaku?”
“Justru
seharusnya kau berterimakasih padaku.”
“Berterimakasih?”
Tanyanya dengan nada tinggi. “Tidakkah kau sadar Rasha? Tawaranmu sama
menjijikkannya dengan hatimu!”
Rasha
tak bergeming. Sama seperti awal kedatangannya keserambi senja ini. Tak ada
ekspresi!
“Kau
benar-benar egois! Apakah kau pikir semua orang adalah boneka yang bisa kau
mainkan sesukamu? Kau atur dan kau tentukan perannya bagi keuntunganmu? Hanya
untuk memenuhi semua ambisimu?”
Kedua
alis Rasha berjingkat jemu. Emosi kembali menguasai.
“Kau
benar-benar tak punya perasaan! Terbuat apa hatimu hingga tak memiliki
sedikitpun rasa? Kau mendekatiku dengan kepura-puraan, kau mengatur sedemikian
rupa meski kau tahu aku pasti menolak! Kau..!”
Dan
dia kehabisan kata, mendesah dan akhirnya sibuk dengan isak. Tapi Rasha tetap
dengan ekspresi yang sama.
“Sudah?”
Tanya Rasha setelah membiarkannya dengan isak untuk beberapa saat. Dia menatap Rasha
dengan mata membara.
“Kau
berhati batu!” Emosi menghilangkan semua kata kasar yang dia punya.
“Huh!
Seharusnya kau berterimakasih padaku. Kubuat cintamu bersambut. Kuijinkan kau
menikah dengan suamiku. Bahkan aku merestui dan akan menanggung semua beban
ekonomimu.”
“Tapi semua demi ambisimu! Semua terjadi atas skeneriomu! Semua demi keuntunganmu!”
“Come
on Laras! Kau pikir aku bisa mengatur hatimu? Kau pikir aku cupid yang bisa mengarahkan
anak panah hatimu pada lelaki yang kuinginkan? Hahaha.. Hatimu yang melakukan
itu Laras. Bukan aku! Ayolah.. Kau mencintai suamiku Laras! Jangan lupakan itu!”
“Tapi
kau yang mengatur semuanya.”
“Tidak
Laras! Akuilah! Berapa banyak lelaki yang mendekatimu? Tapi kenapa cinta kau
jatuhkan pada suamiku? Bukan lelaki lain?”
“Kenapa
kau masih mengingkarinya? Kau yang mengarahkan hatiku untuk mencinta, kau yang
mengatur semuanya hingga tumbuh rasa dan kau mempermainkan hatiku untuk
keuntunganmu semata.”
Nada
suaranya yang mulai meninggi tak juga merubah datarnya ekspresi raut muka perempuan
di hadapan. Dan emosipun makin memuncak, menuntut pelepasan dengan hujaman
kata-kata pedas.
“Kau
benar-benar perempuan tak punya rasa. Betapa bekunya hatimu hingga tak lagi
merasakan cemburu. Tidakkah sakit menusuk hatimu saat tahu suamimu selingkuh?
Tidak adakah lagi nurani di jiwamu hingga kau sendiri yang mengatur suamimu
untuk mengkhianatimu? Kau benar-benar perempuan beku! Kau bahkan menjadikan
suamimu barang bisnis dengan hitung-hitungan untung rugi bagi dirimu!”
“Apa
maksudmu?” Desis marah Rasha membuatnya puas.
“Baca
kembali perjanjian menjijikkan yang kau tawarkan padaku!” Senyum sinis
menyertainya saat melempar sebendel perjanjian ke pangkuan Rasha.
Rasha
menyambarnya dengan kasar, membantingnya ke atas meja serambi depan dan berdiri
dengan tatapan amarah membara.
“Kau
yang tak punya hati Laras! Tidakkah kau sadar? Kau sedang berusaha merebut
suamiku dari sisiku. Kau tahu lelaki itu telah beristri dan kau tetap tak mau
menepi. Kaulah perempuan beku itu Laras! Bahkan setelah perselingkuhan
terbongkar tak juga ada maaf terucap. Kau bahkan menyalahkan aku atas
pengkhianatan kalian. Kau yang kejam menuduhku perempuan tak berperasaan hanya
demi menutupi perbuatanmu yang memalukan. Mencintai suami orang bukan perbuatan
perempuan terhormat!” Tajam kata-kata Rasha menyayat jiwanya lebih dalam.
Tak
ada yang mampu dia ucapkan, tak ada kata yang berhasil dirangkai sebagai
pembelaan. Kata-kata Rasha begitu telak merobohkan harga diri yang tersisa. Dan
dia hanya bisa diam tergugu, menunduk menyembunyikan semua kekalahan yang tak
mampu dihindarinya.
***
Senja
kedua bulan ketiga, di sudut serambi depan rumah, diantara semburat jingga yang
menelusup diantara dedaunan dan diantara gemerisik ilalang yang seolah ingin
mengusik kesunyian. Ditatapnya lelaki didepannya yang tertunduk tanpa kata. Tak
mampu berkata tepatnya. Tak mampu mengelak oleh semua cerca yang ditumpahkannya.
By Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar