Skenario Cinta - bagian 1



Senja pertama bulan ketiga, perempuan bernama Rasha itu kembali menemuinya. Kali ini bukan untuk bercengkerama seperti yang sudah-sudah. Kali ini dia datang dengan wajah datar, dengan membawa beban dan menumpahkannya begitu kami berhadapan. 

Perempuan bernama Rasha datang dengan tanya dan pinta. Yang membuat dirinya ternganga akan kata yang tak disangka akan keluar dari bibirnya, bibir perempuan yang dua purnama begitu dekat dan disangkanya milik sahabat!

Ya! Siapa yang menyangka, dibalik uluran persahabatan tersimpan sebuah tujuan yang mencengangkan. Betapa liciknya! Dan betapa hebat kemampuannya menahan amarah agar tak meledak. Hingga jeda kesunyian menyelimuti mereka berdua, untuk beberapa saat.

Rasha dengan ekspresi datarnya dan dia dengan berbagai rasa dan amarah yang mengaduk jiwa, membuatnya terpuruk dalam sedu yang tak lagi mampu terbendung.

“Kenapa kau tega melakukannya padaku?”

“Justru seharusnya kau berterimakasih padaku.”

“Berterimakasih?” Tanyanya dengan nada tinggi. “Tidakkah kau sadar Rasha? Tawaranmu sama menjijikkannya dengan hatimu!” 

Rasha tak bergeming. Sama seperti awal kedatangannya keserambi senja ini. Tak ada ekspresi!

“Kau benar-benar egois! Apakah kau pikir semua orang adalah boneka yang bisa kau mainkan sesukamu? Kau atur dan kau tentukan perannya bagi keuntunganmu? Hanya untuk memenuhi semua ambisimu?”

Kedua alis Rasha berjingkat jemu. Emosi kembali menguasai.

“Kau benar-benar tak punya perasaan! Terbuat apa hatimu hingga tak memiliki sedikitpun rasa? Kau mendekatiku dengan kepura-puraan, kau mengatur sedemikian rupa meski kau tahu aku pasti menolak! Kau..!”

Dan dia kehabisan kata, mendesah dan akhirnya sibuk dengan isak. Tapi Rasha tetap dengan ekspresi yang sama.

“Sudah?” Tanya Rasha setelah membiarkannya dengan isak untuk beberapa saat. Dia menatap Rasha dengan mata membara.

“Kau berhati batu!” Emosi menghilangkan semua kata kasar yang dia punya.

“Huh! Seharusnya kau berterimakasih padaku. Kubuat cintamu bersambut. Kuijinkan kau menikah dengan suamiku. Bahkan aku merestui dan akan menanggung semua beban ekonomimu.”

“Tapi semua demi ambisimu! Semua terjadi atas skeneriomu! Semua demi keuntunganmu!”

“Come on Laras! Kau pikir aku bisa mengatur hatimu? Kau pikir aku cupid yang bisa mengarahkan anak panah hatimu pada lelaki yang kuinginkan? Hahaha.. Hatimu yang melakukan itu Laras. Bukan aku! Ayolah.. Kau mencintai suamiku Laras! Jangan lupakan itu!”

“Tapi kau yang mengatur semuanya.”

“Tidak Laras! Akuilah! Berapa banyak lelaki yang mendekatimu? Tapi kenapa cinta kau jatuhkan pada suamiku? Bukan lelaki lain?”

“Kenapa kau masih mengingkarinya? Kau yang mengarahkan hatiku untuk mencinta, kau yang mengatur semuanya hingga tumbuh rasa dan kau mempermainkan hatiku untuk keuntunganmu semata.” 

Nada suaranya yang mulai meninggi tak juga merubah datarnya ekspresi raut muka perempuan di hadapan. Dan emosipun makin memuncak, menuntut pelepasan dengan hujaman kata-kata pedas.

“Kau benar-benar perempuan tak punya rasa. Betapa bekunya hatimu hingga tak lagi merasakan cemburu. Tidakkah sakit menusuk hatimu saat tahu suamimu selingkuh? Tidak adakah lagi nurani di jiwamu hingga kau sendiri yang mengatur suamimu untuk mengkhianatimu? Kau benar-benar perempuan beku! Kau bahkan menjadikan suamimu barang bisnis dengan hitung-hitungan untung rugi bagi dirimu!”

“Apa maksudmu?” Desis marah Rasha membuatnya puas.

“Baca kembali perjanjian menjijikkan yang kau tawarkan padaku!” Senyum sinis menyertainya saat melempar sebendel perjanjian ke pangkuan Rasha.

Rasha menyambarnya dengan kasar, membantingnya ke atas meja serambi depan dan berdiri dengan tatapan amarah membara.

“Kau yang tak punya hati Laras! Tidakkah kau sadar? Kau sedang berusaha merebut suamiku dari sisiku. Kau tahu lelaki itu telah beristri dan kau tetap tak mau menepi. Kaulah perempuan beku itu Laras! Bahkan setelah perselingkuhan terbongkar tak juga ada maaf terucap. Kau bahkan menyalahkan aku atas pengkhianatan kalian. Kau yang kejam menuduhku perempuan tak berperasaan hanya demi menutupi perbuatanmu yang memalukan. Mencintai suami orang bukan perbuatan perempuan terhormat!” Tajam kata-kata Rasha menyayat jiwanya lebih dalam.

Tak ada yang mampu dia ucapkan, tak ada kata yang berhasil dirangkai sebagai pembelaan. Kata-kata Rasha begitu telak merobohkan harga diri yang tersisa. Dan dia hanya bisa diam tergugu, menunduk menyembunyikan semua kekalahan yang tak mampu dihindarinya.

***

Senja kedua bulan ketiga, di sudut serambi depan rumah, diantara semburat jingga yang menelusup diantara dedaunan dan diantara gemerisik ilalang yang seolah ingin mengusik kesunyian. Ditatapnya lelaki didepannya yang tertunduk tanpa kata. Tak mampu berkata tepatnya. Tak mampu mengelak oleh semua cerca yang ditumpahkannya.

By Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar