Senja
kedua bulan ketiga, di sudut serambi depan rumah, diantara semburat jingga yang
menelusup diantara dedaunan dan diantara gemerisik ilalang yang seolah ingin
mengusik kesunyian. Ditatapnya lelaki didepannya yang tertunduk tanpa kata. Tak
mampu berkata tepatnya. Tak mampu mengelak oleh semua cerca yang ditumpahkannya.
“Betapa
teganya..” Bisiknya lirih menelan isak yang hampir tumpah.
“Kau
mempermainkan rasa. Kau buat aku mencinta. Kau..” Sedu itu membuat kata
menghilang.
Dihapusnya
air mata dengan kasar. Dia tak ingin tampak cengeng di depan lelaki itu. Dia tak
boleh menimbulkan iba. Dia ingin membenci lelaki yang tertunduk di depannya!
“Begitu
rendahkah aku dimatamu, Elang?”
Lelaki
itu terperangah, menatapnya dengan kecamuk rasa.
“Kau
berharga. Bahkan sejak pertama.”
“Ya!
Berharga demi kepentingan kalian. Kau pikir aku pabrik pembuat anak? Tega
sekali kalian!”
Lelaki
itu menatap sendu.
“Kau
bukan saja penipu! Kau bahkan lelaki yang tak berharga diri!” Tajam katanya
memercikkan kilat dimata Elang.
“Aku
tak berbohong soal rasa.” Kata Elang tegas. “Bahkan akupun memilih sendiri
siapa yang kusuka.”
“Hah?
Apakah itu lantas membuat hargamu melonjak? Tidak Elang! Kau bagai kerbau
dicucuk hidungnya. Kau tak memiliki otak! Bahkan kau mengiyakan saat istrimu
menjadikanmu boneka yang dipermainkan sesukanya.”
“Jaga
ucapan, Laras!”
“Kau
pantas mendapatkan yang lebih buruk dari apa yang kukatakan.” Desisnya dengan
amarah memuncak.
“Tahukah
kau Laras? Aku mengiyakan karena aku ingin kita bersama. Aku mencintaimu! Dan
itu tak palsu!”
Getar
itu hadir begitu saja tanpa mampu dicegah. Getar yang meredakan segala amarah
di dada. Yang sekuat tenaga ditepisnya oleh kenyataan yang ada.
“Jangan
permainkan rasa!”
“Tak
ada permainan. Aku mencintaimu! Kau harus percaya itu!”
Kembali
dia harus diam agar getar itu tak merusak amarah.
“Aku harus
membencinya! Harus! Atau aku akan jatuh dalam perangkapnya.”
“Dia
mengetahui tentang kita, Laras. Dia marah awalnya dan memintaku menentukan
pilihan. Tapi aku tak sanggup meninggalkannya. Tak bisa Laras, meski cintaku
telah berpindah. Kondisinya yang membuatku tak mampu menyakitinya lebih dalam.”
Dia
tak mampu lagi mencegah getar yang datang menyerbu. Mulutnya ternganga dan matanya
menatap tak percaya.
“Aku tak ingin
percaya tepatnya! Tidak! Ini tipuan!”
Bisiknya dalam ketermanguan.
“Permintaan
maafku tak sanggup mengobati luka hatinya. Dan perasaan bersalahlah yang
membuatku tak sanggup menolak rencananya.”
Elang
menarik nafas dan menghembuskannya dalam desah.
“Setidaknya
kita bersama Laras! Seperti yang sama-sama kita inginkan. Dan tentang anak? Ya!
Jujur kuakui aku menginginkannya. Aku menginginkan buah hati kita hadir untuk
memeriahkan cinta. Dan salahkah? Terlalu berlebihankah?”
Dia
kalah telak! Ya! Dia kalah bahkan hanya dengan kata cinta!
“Oh Tuhan, aku
mencintainya! Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membiarkan mereka
mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku? Sanggupkah aku direndahkan sebagai
perempuan? Relakah aku diperalat demi cinta?”
“Entahlah..”
Katanya setelah diam dalam kecamuk rasa.
“Aku
tak ingin memaksa Laras. Jika kau tak menginginkanku, kau bebas berkata tidak.”
“Biarkan
aku sendiri.” Katanya sambil memalingkan muka.
“Kau
akan mengabariku bukan?”
“Ya!
Aku akan memberi jawaban pada Rasha. Nanti! Setelah aku menemukannya.”
Dilihatnya
Elang tersenyum lega. Bertolak belakang dengan kegundahan yang dirasakannya
setelah kepergian Elang.
“Oh! Entahlah! Aku
tak ingin memikirkannya sekarang.”
Terlalu
banyak rasa yang sedang berlomba ingin menunjukkan kekuatannya. Terlalu bingung
bahkan untuk memahami yang mana kebenaran berada.
Dan
dia mendesah lelah oleh berbagai beban yang menggayuti rasa. Menyesal atas
semua kisah yang terjadi antara dirinya dan Elang, mengutuki kebodohannya yang
mengkhianati prinsip yang terukir dalam jiwa dan kembali sesal mengoyak
kesadaran. Prinsip itu terbukti benar!
Lelaki
memang hanya mendatangkan masalah baru yang membebani langkah!
***
Jarum
jam sudah menunjukkan angka dua lebih tiga puluh menit saat untuk keseribu
kalinya dia kembali mengubah posisi berbaring di atas dipan tempat
mengistirahatkan badan setiap malam. Rasa lelah setelah seharian menyelesaikan
jahitan dan mengurus rumah yang biasanya mampu melelapkannya dalam tidur yang
nyenyak, malam ini tak mampu membuat matanya terpejam.
By Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar