Skenario Cinta - bagian 2







Senja kedua bulan ketiga, di sudut serambi depan rumah, diantara semburat jingga yang menelusup diantara dedaunan dan diantara gemerisik ilalang yang seolah ingin mengusik kesunyian. Ditatapnya lelaki didepannya yang tertunduk tanpa kata. Tak mampu berkata tepatnya. Tak mampu mengelak oleh semua cerca yang ditumpahkannya.

“Betapa teganya..” Bisiknya lirih menelan isak yang hampir tumpah.

“Kau mempermainkan rasa. Kau buat aku mencinta. Kau..” Sedu itu membuat kata menghilang.

Dihapusnya air mata dengan kasar. Dia tak ingin tampak cengeng di depan lelaki itu. Dia tak boleh menimbulkan iba. Dia ingin membenci lelaki yang tertunduk di depannya!

“Begitu rendahkah aku dimatamu, Elang?”

Lelaki itu terperangah, menatapnya dengan kecamuk rasa.

“Kau berharga. Bahkan sejak pertama.”

“Ya! Berharga demi kepentingan kalian. Kau pikir aku pabrik pembuat anak? Tega sekali kalian!”

Lelaki itu menatap sendu.

“Kau bukan saja penipu! Kau bahkan lelaki yang tak berharga diri!” Tajam katanya memercikkan kilat dimata Elang.

“Aku tak berbohong soal rasa.” Kata Elang tegas. “Bahkan akupun memilih sendiri siapa yang kusuka.”

“Hah? Apakah itu lantas membuat hargamu melonjak? Tidak Elang! Kau bagai kerbau dicucuk hidungnya. Kau tak memiliki otak! Bahkan kau mengiyakan saat istrimu menjadikanmu boneka yang dipermainkan sesukanya.”

“Jaga ucapan, Laras!”

“Kau pantas mendapatkan yang lebih buruk dari apa yang kukatakan.” Desisnya dengan amarah memuncak.

“Tahukah kau Laras? Aku mengiyakan karena aku ingin kita bersama. Aku mencintaimu! Dan itu tak palsu!”

Getar itu hadir begitu saja tanpa mampu dicegah. Getar yang meredakan segala amarah di dada. Yang sekuat tenaga ditepisnya oleh kenyataan yang ada.

“Jangan permainkan rasa!”

“Tak ada permainan. Aku mencintaimu! Kau harus percaya itu!”

Kembali dia harus diam agar getar itu tak merusak amarah.

“Aku harus membencinya! Harus! Atau aku akan jatuh dalam perangkapnya.”

“Dia mengetahui tentang kita, Laras. Dia marah awalnya dan memintaku menentukan pilihan. Tapi aku tak sanggup meninggalkannya. Tak bisa Laras, meski cintaku telah berpindah. Kondisinya yang membuatku tak mampu menyakitinya lebih dalam.”
Dia tak mampu lagi mencegah getar yang datang menyerbu. Mulutnya ternganga dan matanya menatap tak percaya.

“Aku tak ingin percaya tepatnya! Tidak! Ini tipuan!” Bisiknya dalam ketermanguan.

“Permintaan maafku tak sanggup mengobati luka hatinya. Dan perasaan bersalahlah yang membuatku tak sanggup menolak rencananya.”

Elang menarik nafas dan menghembuskannya dalam desah.

“Setidaknya kita bersama Laras! Seperti yang sama-sama kita inginkan. Dan tentang anak? Ya! Jujur kuakui aku menginginkannya. Aku menginginkan buah hati kita hadir untuk memeriahkan cinta. Dan salahkah? Terlalu berlebihankah?”

Dia kalah telak! Ya! Dia kalah bahkan hanya dengan kata cinta!

“Oh Tuhan, aku mencintainya! Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membiarkan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dariku? Sanggupkah aku direndahkan sebagai perempuan? Relakah aku diperalat demi cinta?”

“Entahlah..” Katanya setelah diam dalam kecamuk rasa.

“Aku tak ingin memaksa Laras. Jika kau tak menginginkanku, kau bebas berkata tidak.”

“Biarkan aku sendiri.” Katanya sambil memalingkan muka.

“Kau akan mengabariku bukan?”

“Ya! Aku akan memberi jawaban pada Rasha. Nanti! Setelah aku menemukannya.”

Dilihatnya Elang tersenyum lega. Bertolak belakang dengan kegundahan yang dirasakannya setelah kepergian Elang.

“Oh! Entahlah! Aku tak ingin memikirkannya sekarang.”

Terlalu banyak rasa yang sedang berlomba ingin menunjukkan kekuatannya. Terlalu bingung bahkan untuk memahami yang mana kebenaran berada.

Dan dia mendesah lelah oleh berbagai beban yang menggayuti rasa. Menyesal atas semua kisah yang terjadi antara dirinya dan Elang, mengutuki kebodohannya yang mengkhianati prinsip yang terukir dalam jiwa dan kembali sesal mengoyak kesadaran. Prinsip itu terbukti benar!

Lelaki memang hanya mendatangkan masalah baru yang membebani langkah!

***

Jarum jam sudah menunjukkan angka dua lebih tiga puluh menit saat untuk keseribu kalinya dia kembali mengubah posisi berbaring di atas dipan tempat mengistirahatkan badan setiap malam. Rasa lelah setelah seharian menyelesaikan jahitan dan mengurus rumah yang biasanya mampu melelapkannya dalam tidur yang nyenyak, malam ini tak mampu membuat matanya terpejam.


By Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar