Skenario Cinta - bagian 3



Jarum jam sudah menunjukkan angka dua lebih tiga puluh menit saat untuk keseribu kalinya dia kembali mengubah posisi berbaring di atas dipan tempat mengistirahatkan badan setiap malam. Rasa lelah setelah seharian menyelesaikan jahitan dan mengurus rumah yang biasanya mampu melelapkannya dalam tidur yang nyenyak, malam ini tak mampu membuat matanya terpejam.

Dihelanya tubuh lelahnya untuk bangkit dan melangkah keluar kamar. Menyerah dengan beban rasa yang menghilangkan keinginan untuk terlelap, menghempaskan tubuh di sofa ruang depan dan membiarkan semua beban yang telah berusaha ditahan untuk keluar dengan bebasnya.

Mungkin dia masih bisa menekan semua beban itu jika siang. Dengan menyibukkan waktu dalam kubangan kesibukan dan kerja keras, dengan rutinitas yang menuntut semua konsentrasi hingga beban itu tak terasa. Dan dengan semua beban lain yang tak kalah beratnya!

Namun jika gelap datang, saat badan menuntut direbahkan, saat kantuk mulai menggayuti mata, saat itulah beban itu menyeruak keluar. Menari-nari hingga membuat kantuk dan lelap hilang. Mengalahkan lelahnya raga hingga terjaga meski tengah malam telah lewat.

Kebimbangan itu kembali menggoda. Dimana kebenaran berada? Benarkah apa yang dikatakan Elang? Benarkah cintanya tulus tanpa rekayasa Rasha? Benarkah keinginannya bersama yang membuat Elang menerima tawaran Rasha?

Tapi.. Kenapa hatinya terus mendengungkan prasangka? Kenapa hatinya selalu mengingatkan untuk waspada? Tak mungkin Rasha mau menerima kata maaf jika memang Elang terbukti mengkhianatinya diam-diam. Tidak! Rasha bukan tipe perempuan yang mampu menahan sakitnya rasa dengan mengajukan penawaran. Tidak! Rasha bukan perempuan pengecut yang takut hidup sendiri tanpa Elang. Dia perempuan mandiri yang tak terikat rasa. Dia akan secepatnya meninggalkan Elang di detik dia tahu tentang pengkhianatan mereka.

Dia mendesah lelah. Kebimbangan itu mulai kembali menggayut dengan beban yang makin berat.

Dia tahu ada permainan dibalik kisah cinta. Dia tahu ada peran Rasha dibelakang semua cerita, dia tahu tapi tak mampu mengelak pada rasa.

Ya! Dia mencintai Elang! Tapi dia tak sanggup memenuhi keinginan dalam baris surat perjanjian yang ditawarkan Rasha. Bagaimana mungkin dia sanggup menghempaskan harga dirinya hanya demi cinta yang dia sendiri tak yakin berbalas? Bagaimana mungkin dia mampu menjadi pabrik pembuat anak-anak yang mereka inginkan hanya demi tunggakan tagihan yang mencekik lehernya?

Bisakah dia melakukannya? Mampukah dia menjadi boneka yang harus siap untuk dibuang saat tak mampu lagi menghibur mereka? Setahun waktu yang diberikan Rasha untuk kehamilannya. Setahun dan dia akan dibuang tanpa harga diri tersisa. Tanpa muka dan tanpa cinta!

Setahun! Dan beban ekonomi yang menghimpitnya akan terangkat dari bahunya, setahun waktu yang diperlukan untuk menggadaikan harga dirinya dengan sebuah butik besar yang mampu menopang kesulitan ekonominya di masa depan.

Setahun yang akan terasa seabad baginya! Sanggupkah dia? Dan sanggupkah dia kehilangan Elang? Sanggupkah dia tak lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang lelaki itu dalam hari-harinya? Sanggupkah dia melalui segala kesulitan hidup tanpa Elang yang menghangatkan hari-harinya?

Oh Tuhan! Betapa membingungkan! Betapa semua pilihan yang terpampang tak ada yang mampu membuatnya bahagia. Betapa menyakitkan pilihan yang ada! Yang manapun jalan yang ditempuh hanya akan menyisakan tangis di akhirnya.

Siapa yang bisa menjamin bahwa cinta Elang akan mampu meyakinkan Rasha untuk mempertahankan kebersamaan dengannya? Siapa yang bisa jamin bahwa dia tak akan dibuang setelah memberikan keturunan yang mereka inginkan? Siapa yang bisa menjamin bahwa dia sanggup bertahan?

Tapi bagaimana dengan tagihan-tagihan yang tertunggak? Bagaimana dia bisa membayar semua hutang yang mencekik lehernya? Bagaimana dia bisa lepas dari himpitan beban ekonomi yang mulai membuat nafasnya tersengal? Kemana lagi dia harus berlari untuk meminta bantuan? Semua jalan sudah tertutup baginya! Dan satu-satunya arah yang bisa mengantarkannya untuk bisa lepas dari semua beban hanya setumpuk uang yang ada di dalam saku Rasha!

“Oh Tuhan!” Desisnya putus asa.

Direbahkannya tubuh lelahnya diatas sofa, seiring suara kokok yang mulai terdengar, seiring detak jam yang memanggilnya untuk segera berbenah dan memulai lagi segala rutinitasnya yang melelahkan.

***

Dia seharusnya mulai bangkit dan memulai rutinitasnya. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, menyiapkan segala keperluan mereka untuk sekolah dan membersihkan rumah agar anak-anaknya tetap merasa nyaman menunggunya bekerja dengan mesin jahit tuanya untuk mengais rupiah.



by Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar