Jarum
jam sudah menunjukkan angka dua lebih tiga puluh menit saat untuk keseribu
kalinya dia kembali mengubah posisi berbaring di atas dipan tempat
mengistirahatkan badan setiap malam. Rasa lelah setelah seharian menyelesaikan
jahitan dan mengurus rumah yang biasanya mampu melelapkannya dalam tidur yang
nyenyak, malam ini tak mampu membuat matanya terpejam.
Dihelanya
tubuh lelahnya untuk bangkit dan melangkah keluar kamar. Menyerah dengan beban
rasa yang menghilangkan keinginan untuk terlelap, menghempaskan tubuh di sofa
ruang depan dan membiarkan semua beban yang telah berusaha ditahan untuk keluar
dengan bebasnya.
Mungkin
dia masih bisa menekan semua beban itu jika siang. Dengan menyibukkan waktu
dalam kubangan kesibukan dan kerja keras, dengan rutinitas yang menuntut semua
konsentrasi hingga beban itu tak terasa. Dan dengan semua beban lain yang tak
kalah beratnya!
Namun
jika gelap datang, saat badan menuntut direbahkan, saat kantuk mulai menggayuti
mata, saat itulah beban itu menyeruak keluar. Menari-nari hingga membuat kantuk
dan lelap hilang. Mengalahkan lelahnya raga hingga terjaga meski tengah malam
telah lewat.
Kebimbangan
itu kembali menggoda. Dimana kebenaran berada? Benarkah apa yang dikatakan Elang?
Benarkah cintanya tulus tanpa rekayasa Rasha? Benarkah keinginannya bersama
yang membuat Elang menerima tawaran Rasha?
Tapi..
Kenapa hatinya terus mendengungkan prasangka? Kenapa hatinya selalu
mengingatkan untuk waspada? Tak mungkin Rasha mau menerima kata maaf jika
memang Elang terbukti mengkhianatinya diam-diam. Tidak! Rasha bukan tipe
perempuan yang mampu menahan sakitnya rasa dengan mengajukan penawaran. Tidak! Rasha
bukan perempuan pengecut yang takut hidup sendiri tanpa Elang. Dia perempuan
mandiri yang tak terikat rasa. Dia akan secepatnya meninggalkan Elang di detik
dia tahu tentang pengkhianatan mereka.
Dia
mendesah lelah. Kebimbangan itu mulai kembali menggayut dengan beban yang makin
berat.
Dia
tahu ada permainan dibalik kisah cinta. Dia tahu ada peran Rasha dibelakang
semua cerita, dia tahu tapi tak mampu mengelak pada rasa.
Ya!
Dia mencintai Elang! Tapi dia tak sanggup memenuhi keinginan dalam baris surat
perjanjian yang ditawarkan Rasha. Bagaimana mungkin dia sanggup menghempaskan harga
dirinya hanya demi cinta yang dia sendiri tak yakin berbalas? Bagaimana mungkin
dia mampu menjadi pabrik pembuat anak-anak yang mereka inginkan hanya demi
tunggakan tagihan yang mencekik lehernya?
Bisakah
dia melakukannya? Mampukah dia menjadi boneka yang harus siap untuk dibuang
saat tak mampu lagi menghibur mereka? Setahun waktu yang diberikan Rasha untuk
kehamilannya. Setahun dan dia akan dibuang tanpa harga diri tersisa. Tanpa muka
dan tanpa cinta!
Setahun!
Dan beban ekonomi yang menghimpitnya akan terangkat dari bahunya, setahun waktu
yang diperlukan untuk menggadaikan harga dirinya dengan sebuah butik besar yang
mampu menopang kesulitan ekonominya di masa depan.
Setahun
yang akan terasa seabad baginya! Sanggupkah dia? Dan sanggupkah dia kehilangan Elang?
Sanggupkah dia tak lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang lelaki itu dalam
hari-harinya? Sanggupkah dia melalui segala kesulitan hidup tanpa Elang yang
menghangatkan hari-harinya?
Oh
Tuhan! Betapa membingungkan! Betapa semua pilihan yang terpampang tak ada yang
mampu membuatnya bahagia. Betapa menyakitkan pilihan yang ada! Yang manapun
jalan yang ditempuh hanya akan menyisakan tangis di akhirnya.
Siapa
yang bisa menjamin bahwa cinta Elang akan mampu meyakinkan Rasha untuk
mempertahankan kebersamaan dengannya? Siapa yang bisa jamin bahwa dia tak akan
dibuang setelah memberikan keturunan yang mereka inginkan? Siapa yang bisa
menjamin bahwa dia sanggup bertahan?
Tapi
bagaimana dengan tagihan-tagihan yang tertunggak? Bagaimana dia bisa membayar
semua hutang yang mencekik lehernya? Bagaimana dia bisa lepas dari himpitan
beban ekonomi yang mulai membuat nafasnya tersengal? Kemana lagi dia harus
berlari untuk meminta bantuan? Semua jalan sudah tertutup baginya! Dan
satu-satunya arah yang bisa mengantarkannya untuk bisa lepas dari semua beban
hanya setumpuk uang yang ada di dalam saku Rasha!
“Oh
Tuhan!” Desisnya putus asa.
Direbahkannya
tubuh lelahnya diatas sofa, seiring suara kokok yang mulai terdengar, seiring
detak jam yang memanggilnya untuk segera berbenah dan memulai lagi segala
rutinitasnya yang melelahkan.
***
Dia
seharusnya mulai bangkit dan memulai rutinitasnya. Menyiapkan sarapan untuk
anak-anaknya, menyiapkan segala keperluan mereka untuk sekolah dan membersihkan
rumah agar anak-anaknya tetap merasa nyaman menunggunya bekerja dengan mesin
jahit tuanya untuk mengais rupiah.
by Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar