Dibalik Tuduhan Yang Tak Beralasan












“Hah? Menuduh lagi? Tidakkah pikiran-pikiran buruk itu melelahkanmu? Tidakkah energimu habis hanya untuk prasangka-prasangka yang terus memenuhi otakmu? Tidak adakah sedikit saja sinar yang bisa menerangi otakmu agar tak selalu dalam kegelapan?”

“Kemarahanmu mendengar tuduhan justru membenarkan prasangkaku!”

“Oh ya? Kenapa tak kau sematkan dalam otakmu bahwa kemarahanku karena sudah terlalu bosan mendengar kau menuduh tanpa henti?”

“Tuduhanku berdasar! Dan kau tak perlu ketakutan jika memang tak melakukannya.”

“Berdasar?” Teriakan Darmi mengguncang seisi rumah. “Bagaimana kau bisa mengatakan berdasar jika semua tuduhanmu tak terbukti kebenarannya. Kau bahkan tak bisa menunjukkan satupun bukti bahwa aku memiliki pria lain dibelakangmu.”

“Intropeksi aja kelakuanmu sendiri. Dan kau akan tahu dimana letak kesalahanmu. Buat apa aku repot-repot cari bukti buatmu. Kau pikir aku tak ada kerjaan lain yang lebih penting?”

Kemarahan yang bergejolak membuat tubuh Darmi bergetar hebat. Matanya merah menatap Sasongko suaminya yang melangkah keluar rumah dengan begitu ringannya. Seolah tak memperdulikan kemarahan Darmi yang siap meledak. Seolah tak perduli akibat dari tuduhan-tuduhannya yang terlalu menyakitkan. Dan seolah pertengkaran yang barusan terjadi hanya sebuah selingan iklan diantara jeda tayangan sinetron di layar kaca.

Darmi hanya mampu terpuruk dengan dada sesak. Berusaha mengalihkan sakit hatinya dengan membereskan barang=barang yang berantakan. Tak mengerti dengan sikap Sasongko akhir-akhir ini yang begitu mudah menyematkan banyak tuduhan padanya. Tak mengerti dari mana prasangka itu bisa hadir di benak suaminya.

Tak akan menjadi masalah bagi Darmi jika tuduhan itu memang terbukti adanya. Atau jika tuduhan itu hanya dilontarkan sekali padanya. Tapi kelakuan Sasongko sudah benar-benar membuatnya geram. Tak ada satupun tuduhannya yang terbukti benar.  Tak ada satupun prasangkanya yang masuk akal. Dan hampir setiap hari tuduhan terlontar tanpa memberi kesempatan baginya untuk menuntaskan kegeraman.

Tuduhan Sasongko benar-benar tak masuk akal! Bagaimana dia bisa mempunyai pria lain jika hari-harinya begitu sibuk dengan pekerjaan rumah dan anak-anak. Bagaimana Sasongko begitu tega menuduhnya berselingkuh, sedangkan tak ada waktu baginya untuk bergaul. Apa yang salah dengan dirinya akhir-akhir ini? Ataukah dia terlalu dingin melayani suaminya hingga prasangka itu hadir direlung suaminya? Atau ada yang berbeda dari sikapnya?

Darmi masih sibuk dengan pikirannya meski tubuhnya terus bergerak membereskan barang-barang yang berantakan karena pertengkaran mereka. Meraih setiap barang suaminya yang berantakan dari atas meja kerja. Meletakkan kembali ke tempat semula dan tertegun gamang saat melihat secarik kertas yang tampak seperti sobekan nota dibawah diktat mengajar suaminya.

Hanya sesaat Darmi berada dalam kegamangan. Sebelum secepat kilat mengobrak-abrik kembali semua barang suaminya. Membuka setiap diktat mengajar yang ada didekatnya, merogoh semua saku tas kerja suaminya dan berlari cepat kearah kamar saat tak mendapati apapun diantaranya.

Menyambar celana Sasongko yang tergantung dibalik pintu, merogoh setiap saku yang ada dan mengeluarkan dompet suaminya untuk digeledah. Darmi begitu kesetanan menginginkan sesuatu yang dapat membuktikan apa yang terbersit dalam kepalanya. Begitu sibuk memporakporandakan barang-barang suaminya. Hingga tak memperdulikan Karjo anak angkatnya yang terus menatapnya dari balik pintu kamar!

***

“Oh! Jadi ini jawaban atas semua tuduhanmu yang tak beralasan?” Teriak Darmi sambil melempar lembaran-lembaran kertas kemuka suaminya.

Sasongko terkejut sesaat. Aura kemarahan menguar keluar. Sebelum kemudian berubah dengan kegugupan yang tampak nyata.

Darimana Darmi mendapatkan semua nota hotel tempatnya menghabiskan waktu diantara jam mengajarnya? Bagaimana dia bisa begitu teledor tak membuang semua bukti tentang kelakuannya? Apa lagi yang diketahui Darmi tentangnya?

Putaran pikiran itu mulai membuat Sasongko cemas. Hingga diam menjadi pilihannya untuk menghindar.

“Kenapa diam? Atau kau tak lagi bisa mengelak? Tega sekali kau menutupi aibmu sendiri dengan menimpakan salah padaku! Jahat sekali hatimu! Kau tutupi perbuatanmu dengan menimpakannya padaku!”

Sasongko masih terdiam. Tak mampu berkata. Tak mampu berkelit atas bukti yang terpampang di depannya.

Dan Darmi terus mencercanya dengan kata-kata, menghujaninya dengan berbagai tanya yang tak sanggup dijawabnya. Hingga isak Darmi terdengar. Isak yang menghentikan teriakannya. Isak yang membuat dada Sasongko sesak! Oleh kenyataan bahwa apa yang dilakukannya tak hanya menorehkan luka dihati Darmi, istrinya! Tapi juga akan membuat Darmi tahu siapa sebenarnya sosok lelaki yang dinikahinya!

Sasongko hanya mampu mendesah saat mendengar isak Darmi yang terdengar semakin mengenaskan. Tak mampu berkata atau sekedar menjawab siapa sosok lain yang membuatnya berkhianat.

Ya! Dia tak mungkin mengatakan kejujuran di depan Darmi istrinya tentang siapa sosok yang menemani waktunya di kamar hotel langganan. Tak mungkin bagi Sasongko mengakuinya. Karena Darmi tak kan sanggup menanggungnya. Bahkan mungkin Darmi tak akan percaya bahwa Karjolah yang membuatnya berkhianat.

Karjo! Anak angkat mereka yang kini beranjak dewasa. Yang begitu tampan dan memikat. Yang membuatnya tak mampu lagi menahan perasaan cintanya.

Dan hanya desah yang kembali terdengar dari mulut Sasongko saat melihat Karjo menatapnya penuh cinta diambang pintu kamar.

***

By Rinzhara

Terbawa Rasa



Note: Versi 2 - Tarian Kembang Randu

“Aku akan secepatnya pulang begitu semua terkumpul sebagai bekal kita menikah.”

Teriknya mentari siang bertahun lalu tak mengeringkan wajahku yang basah oleh air mata. Hari itu, hari dimana kau pergi meninggalkanku ke kota. Menggenggam hatiku untuk kau bawa. Dan meninggalkan cintamu untuk menemaniku menunggu dengan setia.

Bertahun-tahun kau tak juga pulang. Hingga hari ini aku dengar kedatanganmu ke desa. Berlari ke sudut taman. Menantimu dengan debar rasa. Dan dengan harapan yang membuncah akan terwujudnya mimpi kita.

Gemerisik dedaunan mengusik ketenangan. Menggugah kegelisahan. Membuat hati berdebar resah. Sudah seharian aku menunggu sosokmu mendekat dengan menggenggam kerinduan yang membuncah. Sudah seharian kusandarkan bahu menantimu dengan setia. Tapi bayang dan hadirmu tak juga tampak.

Membuat berbagai tanya mendesak. Apa yang membuat langkahmu tak mendekat? Apa yang menghalangimu untuk datang? Ataukah rindu itu tak lagi ada? Tidakkah kau sadar kepergianmu terlalu lama? Tidakkan kau tahu aku setia menantimu tanpa kenal lelah? Ataukah kau lupa janjimu untuk pulang dan menikah?

Berbagai tanya menyulut keresahan. Kegelisahan memaksa langkah berayun cepat. Kerinduan merayu untuk sekedar mencari jawab dari tanya yang mendesak. Membawaku ke depan serambi rumahmu. Menunggu dengan degup baru, saat pintu itu terbuka dan menampakkan sosokmu.

“Aku menunggumu di sudut taman.”

Tatap mataku mengatakan lebih banyak dari yang terucap. Kau hanya diam. Melangkah ke bangku di sudut serambi rumah. Melewatiku yang berharap peluk dan kecupan. Dan tergugu saat hanya mendapati bau perkotaan yang menguar. Menggetarkan sukma. Membuatku tersadar. Kota telah membuatmu berubah!

“Kau tak harus menunggu.”

Aku ternganga. Meski sedari awal matamu telah mengatakan. Sakit itu tetap menyapa.

“Lupakan aku! Dan berhentilah menunggu. Aku telah memiliki hidupku. Aku telah menemukan cinta sejati itu! Dan kaupun harus melanjutkan hari-harimu.”

Hanya ternganga! Hanya itu yang mampu kulakukan saat ucapan terus kau lontarkan. Saat semua penjelasan terdengar. Bahwa kau telah menikah dengan gadis yang kau temukan di kota. Bahwa kisah di sudut taman hanyalah sebuah cerita kanak-kanak. Kau telah temukan sejatinya cinta. Pada diri perempuan yang mampu membuatmu bahagia. Pada sosok yang lebih dewasa. Yang kaya dan tak kampungan!

Tak ada belaian yang selalu kurindukan. Tak ada kata yang memabukkan. Bahkan sorot cinta itu tak lagi tersisa.

Aku masih dalam ketermanguan. Tak memperdulikan saat ibumu membawa nampan berisi teh hangat dalam gelas panjang. Tak bersopan menjawab saat ibumu menanyakan kabar. Hingga kecanggungan mengusirnya berlalu memasuki rumah. Meninggalkanku yang terus tersiksa oleh kata-katamu yang menyayat. Membiarkan aku meresapi luka yang kau torehkan.

Dan kau terus berkata-kata. Kau kini suka berkata-kata. Tapi bukan kata memabukkan seperti masa silam.

Bukan seperti semua kata lalu yang terucap.

“Kau begitu menakjubkan.” Bisikmu kala itu diantara desau angin yang mengibaskan rambutku.

“Waktu akan membuatnya memudar.”

“Tak akan mampu memudarkan cintaku padamu.”

Dan aku tersenyum mendengar kau merayu. Menikmati kata memabukkan darimu. Mereguk habis belai dan kecupmu. Dan memacu hasrat mengikuti buaimu. Di balik rindangnya belukar, diantara tarian kembang kertas dan diantara desau angin senja, kita menyatu dengan nafas memburu!

Dulu! Ya, itu dulu! Sebelum kota mengubahmu. Sebelum sosok lelaki dengan kata memabukkan itu tergiur kehidupan baru.

“Kau cukup cantik untuk menarik pria lain menikahimu.”

Aku diam. Terlempar kembali di alam kekinian. Menatap nanar sosokmu yang tak lagi kukenal. Dan aku masih terdiam. Mendengar semua kata yang menyakitkan. Menekan habis kerinduan hingga tak lagi berbekas. Ya! Dalam keterdiaman aku mencoba mengikis cinta.

“Kenapa kau diam? Percayalah! Kau akan temukan pria yang tepat!”

Apalagi yang bisa kukatakan? Bahkan air matapun tak akan sanggup membuatmu kembali merasa. Tak ada yang tersisa dari sosok lelaki yang kucinta. Kota telah menggerusnya. Kota telah mengubah lelaki sederhana dan menjadikannya lelaki yang haus oleh gelimang harta. Kota telah berhasil memenuhi diri lelakinya dengan satu pemahaman. Bahwa uang adalah segalanya!

“Perempuan yang kunikahi adalah perempuan dewasa. Aku bisa meraih semua keinginanku bersamanya. Dia perempuan yang tepat.”

Gelegak kemarahan itu tak mampu lagi kubendung. Kebencian menguasaiku. Sosok lelaki di depanku telah merampas jiwamu. Jiwa yang menjadi milikku. Dengan janji untuk pulang padaku.

“Kota selalu berhasil membuat pemuda lupa untuk pulang.” Isakku saat dulu kau berpamit hendak ke kota.

“Ada kau yang akan membuat kakiku berlari pulang.”

“Kota bahkan mampu mengubah rasa.”

“Tak ada yang sanggup mengubah rasaku padamu. Percayalah!”

“Entahlah! Jarak selalu membuatku ketakutan.”

“Hati kita tak pernah berjarak. Seberapapun jauhnya kita terpisah.”

Dan aku hanya mampu menghapus isak. Mencoba percaya. Menepis curiga. Dan mengikatkan diri pada kata setia. Hatiku telah terikat. Tak ada yang mampu merenggangkannya. Banyaknya godaan tak kuhiraukan. Banyaknya pinangan kutepis sekali kibas. Aku setia menunggumu dengan cinta yang sama.

Hingga berlalunya waktu. Hingga bergantinya tahun. Dan sosokmu tak juga hadir untukku. Hingga kesetiaan mengeringkanku. Hingga kerinduan menyakitiku dan hingga hari-hariku hanya berisi kemuraman dan keceriaan meredup.

Aku mendesah mengusir sesak. Mengalihkan amarah dengan menggenggam gelas panas yang membakar telapak. Berharap panasnya mampu menghapus lara. Berharap panasnya mampu menghanguskan ingatan akan janjimu yang ingkar.

“Kau juga akan menemukan pria yang tepat. Yang bisa kau ajak bermimpi setiap waktu. Seperti aku yang juga menemukan perempuan yang tepat untukku.”

Inginnya aku meneriakkan semua kata lalu yang pernah terucap. Inginnya aku menagih janji yang dia sematkan. Inginnya aku mengguncang kesadaran atas mahkotaku yang hilang. Yang dirampasnya dengan buaian belai dan kata memabukkan!

“Kita akan menikah. Tak ada bedanya besok atau sekarang.” Bujukmu di sebuah senja saat aku terus menolak menuntaskan hasrat. Saat aku terus menggeleng atas pintamu yang menakutkan.

“Hanya mahkota yang membuat perempuan berharga.”

“Mahkota hanya dibutuhkan bagi mereka yang mencari pasangan. Tapi kau telah menemukanku. Jadi tak ada bedanya.”

Keraguan itu mengingatkan. Tapi belaian kembali mengaburkannya. Dan kata-kata menghilangkan semua akal sehat. Aku melayang bersama kata-kata yang memabukkan.

“Cinta tak terlihat. Hanya bisa dirasa. Bagaimana aku tahu rasamu itu cinta?”

“Tidakkah kata-kata cukup untuk menggambarkan rasa?”

“Hanya sebagai lukisan. Aku tak bisa menyentuhnya. Aku butuh pembuktian.”

“Untuk apa?”

“Agar aku tahu bahwa cintaku berbalas. Pembuktian itu yang memberiku kekuatan untuk menghadang apapun yang menghalangi langkah kita untuk menikah.”

“Akankah kita menikah?”

“Tentu saja! Tak ada keraguan. Kau adalah perempuan pilihan!”

Aku kembali melayang. Mabuk kata dan belaian. Gemerisik daun yang mengingatkan justru membuat keraguan itu lenyap. Aroma kembang kertas yang seharusnya membuatku tetap terjaga, justru membuaiku dalam desah dan keinginan untuk mereguk lebih banyak. Aku terombang ambing seperti kapas terbang. Melayang, meliuk, terhempas dan .. Lepas!

Yang membuatku kini menyesal atas mudahnya melepas mahkota!

“Semesta tak menggariskan langkah kita untuk bersama. Kau harus menerimanya. Lanjutkan langkahmu. Lupakan aku!”

Kata yang terucap menusuk begitu dalam. Membuat luka semakin menyakitkan. Membuat kemarahan tak lagi mampu kutahan.

Dan kemarahan itu meledak. Membutakanku dalam kegelapan. Sakitnya hati menusuk jiwa begitu dalam. Luka itu tak tertanggungkan. Aku tak sanggup lagi menahan rasa perihnya. Hanya gelap! Hanya ingin terhindar dari luka yang menyiksa. Hanya keinginan kuat untuk terlepas dari derita. Hanya itu yang kurasa! Bahkan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kegelapan menguasai. Lara itu menyakiti. Kebencian merasuki. Membuat telapakku pedih. Membuatku berteriak histeris. Membuat matamu menyorot ngeri!

Hingga kesadaran datang saat kerumunan orang mencengkeramku begitu kuat. Menyeretku dari serambi rumah. Membuatku meneriakkan semua rasa. Meronta sekuat daya. Memberontak hingga cengkeram di lengan semakin erat. Menyeretku semakin cepat. Menjauhkanku dari dirimu yang terkapar dengan begitu banyaknya genangan merah. Tanyaku tak mereka hiraukan. Teriakanku tak membuat cengkeraman berkurang. Ketakutanku melihatmu kesakitan tak mereka hiraukan. Mereka terus menjauhkanku dari serambi rumah! Mereka terus mencengkeram hingga aku tak sanggup lagi meronta!

***

Di sudut taman, senja kedua bertahun-tahun kemudian.

Sepoi angin itu bertiup memberati mataku yang asik menatap tarian dedaunan. Seberkas serat putih terbang terbawa oleh tiupannya. Gemerisik merdu terdengar begitu melenakan. Aku menikmati setiap detik keindahan yang tercipta. Menghirup habis kesegaran udara bebas. Kebebasan yang telah terenggut bertahun-tahun lewat. Tahun-tahun yang hilang karena sebuah kebodohan yang kubuat.

Dan kutarik nafas dalam, melegakan sesak di dada. Keindahan inilah yang membawaku kembali. Kesejukan inilah yang kuingini. Kenikmatan inilah yang kurindukan selama bertahun-tahun tinggal di balik jeruji besi.

Segumpal serat putih kembali terbang terbawa hembusan. Meluncur turun dan berurai saat angin datang. Melayang, meliuk ,terbang dan lepas! Hingga tak terlihat. Hingga angin menghempaskannya di suatu tempat. Dan aku terlelap.

***
By Rinzhara

Tarian Kembang Randu



Seperti embun yang terserap hingga tak berbekas, saat mentari datang dengan sinarnya yang menerangi alam semesta. Seperti itulah adanya sekarang, menjadi tiada saat cinta melemparnya dalam keterpurukan. Menghabiskan waktu dalam kesendirian. Menikmati kesunyian di bawah pohon randu ujung desa. Dan bersembunyi diantara rindang daunnya dari bisik dan gunjing tetangga.

Kutengadahkan wajah menatap bunga randu yang hampir merekah. Menghirup aroma yang menguar. Menanti seratnya berhamburan terbang. Agar bisa menari riang seirama liukan serat putih yang mengelilinginya. Seperti dulu saat masa kanak-kanan. Seperti dulu saat kebahagiaan masih menjadi miliknya. Seperti kerinduan yang selalu ditahannya saat jeruji besi masih menjeratnya! Entah sudah berapa lama aku tak menyaksikan tarian serat bunga randu di awang-awang.

“Aku selalu suka saat randu berbunga.” Kataku sambil menatap gumpalan putih meluncur turun. Mengurai sebelum mencumbu rumput dan meliuk terbang hingga jauh.

Kau hanya tersenyum kala itu. Memeluk bahuku. Mengecup dan membuai hasratku. Seperti biasa! Kau tak suka kata-kata. Kau menyukai belaian. Kau selalu terobsesi membuatku berhasrat. Dan bila kau gagal menghadirkan hasrat, baru kau mulai berkata-kata. Kata-kata memabukkan. Tentang cinta dan pujian.

Aku suka kata-kata. Terutama kata yang memabukkan.

“Kau seperti serat bunga randu. Putih dan lembut.”

Kata-kata yang disertai belaian memang memabukkan. Dan aku mabuk karenanya. Aku berhasrat dan kau tersenyum riang. Seperti biasa, saat kau melihat hasratku mulai datang.

“Kita akan menikah. Tak ada bedanya besok atau sekarang.” Bujukmu mencoba merayu agar kumengangguk.

“Hanya mahkota yang membuat perempuan berharga.”

“Mahkota hanya dibutuhkan bagi mereka yang mencari pasangan. Tapi kau telah menemukanku. Jadi tak ada bedanya.”

Keraguan itu mengingatkan. Tapi belaian kembali mengaburkannya. Dan kata-kata menghilangkan semua akal sehat. Bisik daun randupun bahkan tak kuhiraukan.

“Cinta tak terlihat. Hanya bisa dirasa. Bagaimana aku tahu rasamu itu cinta?”

“Tidakkah kata-kata cukup untuk menggambarkan rasa?”

“Hanya sebagai lukisan. Aku tak bisa menyentuhnya. Aku butuh pembuktian.”

“Untuk apa?”

“Agar aku tahu bahwa cintaku berbalas. Pembuktian itu yang memberiku kekuatan untuk menghadang apapun yang menghalangi langkah kita untuk menikah.”

Aku kembali melayang. Mabuk kata dan belaian. Gemerisik daun yang mengingatkan justru membuat keraguan itu lenyap. Aroma serat bunga randu yang seharusnya membuatku tetap terjaga, justru membuaiku dalam desah dan keinginan untuk mereguk lebih banyak. Aku terombang ambing seperti serat bunga randu yang dibuai angin. Melayang, meliuk, terhempas dan .. Lepas!

Dan pohon randupun terdiam, menunduk gelisah! Gemerisik daunpun tak lagi terdengar. Serat bunga randupun tetap berada dalam kelopak kesrasnya. Bahkan semestapun menggertak angin agar tak bergerak. Tak ada satupun yang tersenyum menyaksikan terkoyaknya mahkota!

“Kau menakjubkan!”

Senyum puasnya terukir di wajah. Air mata tak membuat senyum itu memudar. Kau terus tersenyum dan bermain kata. Menceritakan tentang asa. Membisikkan mimpi tentang pernikahan. Dan menggumamkan cinta.

Membuat air mata berganti dengan senyum yang terukir oleh harapan. Pernikahan! Adakah yang lebih diinginkan perempuan muda dalam hidupnya selain menikah dengan lelaki tercinta? Adakah yang lebih menyenangkan dari mimpi mereguk setiap detik harinya dengan cinta dan tawa anak-anak buah hati mereka?

Dan kuhabiskan waktu bersamamu melukis angan tentang indahnya pernikahan. Merancang nama anak-anak yang akan hadir meramaikan cinta. Dan tertawa bersama membayangkan uban akan membuat kita berdua merenta.

“Saat nanti aku layu dan kering, akankah cinta itu tetap utuh dihatimu?”

“Kau akan tetap cantik di hatiku.”

Dan aku tersenyum mendengar kata memabukkan darimu.

“Waktu yang terhisap akan membuat perutku membuncit. Merontokkan rambutku hingga jidat melebar. Mengerutkan kulitku hingga tak lagi tampan. Akankah kau juga tetap mencinta?”

“Hingga maut memisahkan.”

Dan kau rengkuh kembali aku dalam dekapan. Membuaiku dalam belaian. Dan memabukkanku dengan kata yang memercikkan kembali hasrat. Hasrat yang datang berulang di setiap pertemuan. Menenggelamkanku dalam lautan mimpi yang kau bisikkan.

Hingga kembali pohon randu tertunduk gelisah. Mengeringkan setiap hijau daunnya yang lalu gugur seolah menangisi desah yang terus terdengar. Hingga serat bunga randu musnah tak bersisa. Meninggalkan kelopak kerasnya bergelantungan. Seperti musnahnya mahkota hingga tak bersisa. Seperti aku yang tak berharga saat mahkota itu terenggut oleh kata yang memabukkan.

Dan apalagi yang dipunya seorang perempuan tanpa mahkota? Apa lagi yang bisa diharapkan selain secepatnya menikah? Apalagi yang menakutkan dari terpisah oleh jarak? Karena jarak bisa mengaburkan rasa. Karena itulah duniaku terguncang saat kau nyatakan niat kepergianmu ke kota.

“Kau tak akan pulang. Kota selalu berhasil membuat pemuda melupakan desanya.”

“Ada kau di desa! Dan itu cukup membuatku secepatnya pulang.”

“Kenapa harus tergiur rayuan kota?”

“Cinta saja tak cukup, sayang! Dan kota menjanjikan masa depan bagi mimpi kita.”

“Di sinipun kau bisa mengaisnya.”

“Butuh waktu lama. Karena yang adapun tak banyak.”

“Bagaimana kampung memiliki banyak harapan? Jika semua pemuda lebih memilih kota daripada mengayunkan cangkulnya.”

Kau hanya terdiam. Sibuk mengenakan kembali celana dan kemeja. Tak melihat air mata telah membasahi wajah.

“Aku takut kehilangan. Mimpi menikah hanya akan menjadi sebuah kenangan.”

“Karena itulah aku harus ke kota. Dan secepatnya pulang untuk mewujudkan mimpi kita.”

Kini aku terdiam. Tak tahu bagaimana membuatmu tetap tinggal. Kau telah berkeputusan. Dan apa daya yang kupunya. Selain mengikatkan diri pada pohon randu yang setia menyediakan batangnya untuk bersandar. Mendatangi pohon randu di setiap pagi hingga senja. Menghitung hari hingga purnama. Mencoretkan garis di batang pohon randu setiap purnama datang. Menanti penuh debar dan kerinduan. Hingga purnama keduabelas. Hingga waktu terus berjalan. Dan bayangmu tak juga nampak.

Janji yang kau ukir di bawah pohon randu membuatku buta dan tuli. Dari kenyataan bahwa kau telah melupakan janji. Dari mendengar kata orang bahwa kau tak akan kembali. Dan aku terus Menyimpan rindu yang lambat laun mulai menyakiti. Menggerus harapan dan mimpi. Membuatku menarik diri. Menghindari bisik. Membuang muka dari tatap mata prihatin.

Di bawah rindang daun randu yang tak pernah habis. Dan di antara serat bunga randu yang menari. Aku terus menanti. 


Hingga suatu pagi. Harapan itu kembali hadir menyerbu relung hati. Menyisihkan sakit oleh kabar kedatanganmu yang membuatku kembali berseri. Membuat langkahku berlari ke bawah pohon randu di mana kuharus menanti.

Menunggu dengan debar rindu yang tak mampu kubendung. Menantimu dengan senyum penuh asa menggantung. Dan dengan seluruh mimpi yang kau sematkan padaku.

Hingga mentari berlalu dan senja mengintip malu. Hingga degup itu tergerus oleh keinginan mencari tahu. Kenapa langkah tak membawamu datang ke bawah randu seperti katamu dulu? Apakah kota telah menggerus ingatanmu? Ataukah kegembiraan orang tua menghalangi langkahmu? Apakah yang membuatmu menunda mengunjungiku?

Kegelisahan itu yang menuntun. Mengayunkan kaki menujumu. Kerinduan itu yang merayu. Untuk sekedar mencari jawab dari tanya yang mengganggu. Membawaku ke depan serambi rumahmu. Menunggu dengan degup baru saat pintu itu terbuka dan menampakkan sosokmu.

“Aku menunggumu di pohon randu.”

Tatap mataku mengatakan lebih banyak dari yang terucap. Kau hanya diam. Melangkah ke bangku di sudut serambi rumah. Melewatiku yang berharap peluk dan kecupan. Dan tergugu saat hanya mendapati bau perkotaan yang menguar. Menggetarkan sukma. Membuatku tersadar. Kota telah membuatmu berubah!

“Kau tak harus menunggu.”

Aku ternganga. Meski sedari awal matamu telah mengatakan. Sakit itu tetap menyapa.

“Lupakan aku! Dan berhentilah menunggu di pohon randu. Aku telah memiliki hidupku. Aku telah menemukan cinta sejati itu! Dan kaupun harus melanjutkan hari-harimu.”

Hanya ternganga! Hanya itu yang mampu kulakukan saat ucapan terus kau lontarkan. Saat semua penjelasan terdengar. Bahwa kau telah menikah dengan gadis yang kau temukan di kota. Bahwa kisah di pohon randu hanyalah sebuah cerita kanak-kanak. Kau telah temukan sejatinya cinta. Pada diri perempuan yang mampu membuatmu bahagia. Pada sosok yang lebih dewasa. Yang kaya dan tak kampungan! Tak ada belaian yang selalu kurindukan. Tak ada kata yang memabukkan. Bahkan sorot cinta itu tak lagi tersisa.

Aku masih dalam ketermanguan. Tak memperdulikan saat ibumu membawa nampan berisi teh hangat dalam gelas panjang. Tak bersopan menjawab saat ibumu menanyakan kabar. Hingga kecanggungan mengusirnya berlalu memasuki rumah. Meninggalkanku yang terus tersiksa oleh kata-katamu yang menyayat. Membiarkan aku meresapi luka yang kau torehkan. Dan kau terus berkata-kata. Kau kini suka berkata-kata. Tapi bukan kata memabukkan seperti masa silam.

“Kau cukup cantik untuk menarik pria lain menikahimu.”

Aku diam. Apalagi yang bisa kukatakan? Bahkan air matapun tak akan sanggup membuatmu kembali merasa. Tak ada yang tersisa dari sosok lelaki yang kucinta. Kota telah menggerusnya. Kota telah mengubah lelaki sederhana dan menjadikannya lelaki yang haus oleh gelimang harta. Kota telah berhasil memenuhi diri lelakinya dengan satu pemahaman. Bahwa uang adalah segalanya!

Cinta tak lagi penting bagi sosok lelaki di depanku. Dia bukan lelaki yang kurindu! Bukan! Hanya raganya yang berwujud. Tapi dia bukan lelakiku! Lelaki yang menjanjikan pulang dan menyuruhku menunggu di bawah pohon randu!

“Perempuan yang kunikahi adalah perempuan dewasa. Aku bisa meraih semua keinginanku bersamanya. Dia perempuan yang tepat.”

Gelegak kemarahan itu tak mampu lagi kubendung. Kebencian menguasaiku. Sosok lelaki di depanku telah merampas jiwamu. Jiwa yang menjadi milikku. Jiwa yang kau titipkan di bawah pohon randu. Dengan janji untuk pulang padaku. Yang memintaku menunggu. Yang menganyam mimpi bersamaku. Yang memiliki kata memabukkan itu. Ya! Sosok lelaki di depanku telah mencuri ragamu! Hingga menghilangkan hatimu.

Kualihkan kemarahanku dengan menggenggam gelas panas yang membakar telapak. Berharap panasnya mampu menghapus lara.

“Kau juga akan menemukan pria yang tepat. Yang bisa kau ajak bermimpi setiap waktu. Yang bisa menemanimu bermain dengan bunga randu.”

Inginnya aku meneriakkan semua kata lalu yang pernah terucap. Inginnya aku menagih janji yang dia sematkan. Inginnya aku mengguncang kesadaran atas mahkotaku yang hilang. Yang dirampasnya dengan buaian belai dan kata memabukkan!

“Semesta tak menggariskan langkah kita untuk bersama. Kau harus menerimanya. Lanjutkan langkahmu. Lupakan aku!”

Dan kemarahan itu meledak. Membutakanku dalam kegelapan. Sakitnya hati menusuk jiwa begitu dalam. Luka itu tak tertanggungkan. Aku tak sanggup lagi menahan rasa perihnya. Hanya gelap! Hanya ingin terhindar dari luka yang menyiksa. Hanya keinginan kuat untuk terlepas dari derita. Hanya itu yang kurasa! Bahkan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kegelapan menguasai. Lara itu menyakiti. Kebencian merasuki. Membuat telapakku pedih. Membuatku berteriak histeris. Membuat matamu menyorot ngeri!

Hingga kesadaran datang saat kerumunan orang mencengkeramku begitu kuat. Menyeretku dari serambi rumah. Membuatku meneriakkan semua rasa. Meronta sekuat daya. Memberontak hingga cengkeram di lengan semakin erat. Menyeretku semakin cepat. Menjauhkanku dari dirimu yang terkapar dengan begitu banyaknya genangan merah. Tanyaku tak mereka hiraukan. Teriakanku tak membuat cengkeraman berkurang. Ketakutanku melihatmu kesakitan tak mereka hiraukan. Mereka terus menjauhkanku dari serambi rumah! Mereka terus mencengkeram hingga aku tak sanggup lagi meronta!

***

Sepoi angin itu bertiup memberati mataku yang asik menatap tarian dedauan pohon randu diatas. Seberkas serat putih terbang terbawa oleh tiupannya. Gemerisik merdu terdengar begitu melenakan. Aku menikmati setiap detik keindahan yang tercipta. Menghirup habis kesegaran berada dalam rindangnya pohon randu dengan rantingnya yang bercabang. Menatap deretan gores garis yang kulukis di masa entah. Mengingatkanku akan kebodohan dan kenaifan. Memperingatkanku akan dusta kata.

Dan kutarik nafas dalam, melegakan sesak di dada. Keindahan inilah yang membawaku kembali. Kesejukan inilah yang kuingini. Kenikmatan inilah yang kurindukan selama bertahun-tahun tinggal di balik jeruji besi.

Segumpal serat putih kembali jatuh dari kelopaknya yang merekah. Meluncur turun dan berurai saat angin datang. Melayang, meliuk ,terbang dan lepas! Hingga tak terlihat. Hingga angin menghempaskannya di suatu tempat. Dan aku terlelap.

***

By Rinzhara