Terbawa Rasa



Note: Versi 2 - Tarian Kembang Randu

“Aku akan secepatnya pulang begitu semua terkumpul sebagai bekal kita menikah.”

Teriknya mentari siang bertahun lalu tak mengeringkan wajahku yang basah oleh air mata. Hari itu, hari dimana kau pergi meninggalkanku ke kota. Menggenggam hatiku untuk kau bawa. Dan meninggalkan cintamu untuk menemaniku menunggu dengan setia.

Bertahun-tahun kau tak juga pulang. Hingga hari ini aku dengar kedatanganmu ke desa. Berlari ke sudut taman. Menantimu dengan debar rasa. Dan dengan harapan yang membuncah akan terwujudnya mimpi kita.

Gemerisik dedaunan mengusik ketenangan. Menggugah kegelisahan. Membuat hati berdebar resah. Sudah seharian aku menunggu sosokmu mendekat dengan menggenggam kerinduan yang membuncah. Sudah seharian kusandarkan bahu menantimu dengan setia. Tapi bayang dan hadirmu tak juga tampak.

Membuat berbagai tanya mendesak. Apa yang membuat langkahmu tak mendekat? Apa yang menghalangimu untuk datang? Ataukah rindu itu tak lagi ada? Tidakkah kau sadar kepergianmu terlalu lama? Tidakkan kau tahu aku setia menantimu tanpa kenal lelah? Ataukah kau lupa janjimu untuk pulang dan menikah?

Berbagai tanya menyulut keresahan. Kegelisahan memaksa langkah berayun cepat. Kerinduan merayu untuk sekedar mencari jawab dari tanya yang mendesak. Membawaku ke depan serambi rumahmu. Menunggu dengan degup baru, saat pintu itu terbuka dan menampakkan sosokmu.

“Aku menunggumu di sudut taman.”

Tatap mataku mengatakan lebih banyak dari yang terucap. Kau hanya diam. Melangkah ke bangku di sudut serambi rumah. Melewatiku yang berharap peluk dan kecupan. Dan tergugu saat hanya mendapati bau perkotaan yang menguar. Menggetarkan sukma. Membuatku tersadar. Kota telah membuatmu berubah!

“Kau tak harus menunggu.”

Aku ternganga. Meski sedari awal matamu telah mengatakan. Sakit itu tetap menyapa.

“Lupakan aku! Dan berhentilah menunggu. Aku telah memiliki hidupku. Aku telah menemukan cinta sejati itu! Dan kaupun harus melanjutkan hari-harimu.”

Hanya ternganga! Hanya itu yang mampu kulakukan saat ucapan terus kau lontarkan. Saat semua penjelasan terdengar. Bahwa kau telah menikah dengan gadis yang kau temukan di kota. Bahwa kisah di sudut taman hanyalah sebuah cerita kanak-kanak. Kau telah temukan sejatinya cinta. Pada diri perempuan yang mampu membuatmu bahagia. Pada sosok yang lebih dewasa. Yang kaya dan tak kampungan!

Tak ada belaian yang selalu kurindukan. Tak ada kata yang memabukkan. Bahkan sorot cinta itu tak lagi tersisa.

Aku masih dalam ketermanguan. Tak memperdulikan saat ibumu membawa nampan berisi teh hangat dalam gelas panjang. Tak bersopan menjawab saat ibumu menanyakan kabar. Hingga kecanggungan mengusirnya berlalu memasuki rumah. Meninggalkanku yang terus tersiksa oleh kata-katamu yang menyayat. Membiarkan aku meresapi luka yang kau torehkan.

Dan kau terus berkata-kata. Kau kini suka berkata-kata. Tapi bukan kata memabukkan seperti masa silam.

Bukan seperti semua kata lalu yang terucap.

“Kau begitu menakjubkan.” Bisikmu kala itu diantara desau angin yang mengibaskan rambutku.

“Waktu akan membuatnya memudar.”

“Tak akan mampu memudarkan cintaku padamu.”

Dan aku tersenyum mendengar kau merayu. Menikmati kata memabukkan darimu. Mereguk habis belai dan kecupmu. Dan memacu hasrat mengikuti buaimu. Di balik rindangnya belukar, diantara tarian kembang kertas dan diantara desau angin senja, kita menyatu dengan nafas memburu!

Dulu! Ya, itu dulu! Sebelum kota mengubahmu. Sebelum sosok lelaki dengan kata memabukkan itu tergiur kehidupan baru.

“Kau cukup cantik untuk menarik pria lain menikahimu.”

Aku diam. Terlempar kembali di alam kekinian. Menatap nanar sosokmu yang tak lagi kukenal. Dan aku masih terdiam. Mendengar semua kata yang menyakitkan. Menekan habis kerinduan hingga tak lagi berbekas. Ya! Dalam keterdiaman aku mencoba mengikis cinta.

“Kenapa kau diam? Percayalah! Kau akan temukan pria yang tepat!”

Apalagi yang bisa kukatakan? Bahkan air matapun tak akan sanggup membuatmu kembali merasa. Tak ada yang tersisa dari sosok lelaki yang kucinta. Kota telah menggerusnya. Kota telah mengubah lelaki sederhana dan menjadikannya lelaki yang haus oleh gelimang harta. Kota telah berhasil memenuhi diri lelakinya dengan satu pemahaman. Bahwa uang adalah segalanya!

“Perempuan yang kunikahi adalah perempuan dewasa. Aku bisa meraih semua keinginanku bersamanya. Dia perempuan yang tepat.”

Gelegak kemarahan itu tak mampu lagi kubendung. Kebencian menguasaiku. Sosok lelaki di depanku telah merampas jiwamu. Jiwa yang menjadi milikku. Dengan janji untuk pulang padaku.

“Kota selalu berhasil membuat pemuda lupa untuk pulang.” Isakku saat dulu kau berpamit hendak ke kota.

“Ada kau yang akan membuat kakiku berlari pulang.”

“Kota bahkan mampu mengubah rasa.”

“Tak ada yang sanggup mengubah rasaku padamu. Percayalah!”

“Entahlah! Jarak selalu membuatku ketakutan.”

“Hati kita tak pernah berjarak. Seberapapun jauhnya kita terpisah.”

Dan aku hanya mampu menghapus isak. Mencoba percaya. Menepis curiga. Dan mengikatkan diri pada kata setia. Hatiku telah terikat. Tak ada yang mampu merenggangkannya. Banyaknya godaan tak kuhiraukan. Banyaknya pinangan kutepis sekali kibas. Aku setia menunggumu dengan cinta yang sama.

Hingga berlalunya waktu. Hingga bergantinya tahun. Dan sosokmu tak juga hadir untukku. Hingga kesetiaan mengeringkanku. Hingga kerinduan menyakitiku dan hingga hari-hariku hanya berisi kemuraman dan keceriaan meredup.

Aku mendesah mengusir sesak. Mengalihkan amarah dengan menggenggam gelas panas yang membakar telapak. Berharap panasnya mampu menghapus lara. Berharap panasnya mampu menghanguskan ingatan akan janjimu yang ingkar.

“Kau juga akan menemukan pria yang tepat. Yang bisa kau ajak bermimpi setiap waktu. Seperti aku yang juga menemukan perempuan yang tepat untukku.”

Inginnya aku meneriakkan semua kata lalu yang pernah terucap. Inginnya aku menagih janji yang dia sematkan. Inginnya aku mengguncang kesadaran atas mahkotaku yang hilang. Yang dirampasnya dengan buaian belai dan kata memabukkan!

“Kita akan menikah. Tak ada bedanya besok atau sekarang.” Bujukmu di sebuah senja saat aku terus menolak menuntaskan hasrat. Saat aku terus menggeleng atas pintamu yang menakutkan.

“Hanya mahkota yang membuat perempuan berharga.”

“Mahkota hanya dibutuhkan bagi mereka yang mencari pasangan. Tapi kau telah menemukanku. Jadi tak ada bedanya.”

Keraguan itu mengingatkan. Tapi belaian kembali mengaburkannya. Dan kata-kata menghilangkan semua akal sehat. Aku melayang bersama kata-kata yang memabukkan.

“Cinta tak terlihat. Hanya bisa dirasa. Bagaimana aku tahu rasamu itu cinta?”

“Tidakkah kata-kata cukup untuk menggambarkan rasa?”

“Hanya sebagai lukisan. Aku tak bisa menyentuhnya. Aku butuh pembuktian.”

“Untuk apa?”

“Agar aku tahu bahwa cintaku berbalas. Pembuktian itu yang memberiku kekuatan untuk menghadang apapun yang menghalangi langkah kita untuk menikah.”

“Akankah kita menikah?”

“Tentu saja! Tak ada keraguan. Kau adalah perempuan pilihan!”

Aku kembali melayang. Mabuk kata dan belaian. Gemerisik daun yang mengingatkan justru membuat keraguan itu lenyap. Aroma kembang kertas yang seharusnya membuatku tetap terjaga, justru membuaiku dalam desah dan keinginan untuk mereguk lebih banyak. Aku terombang ambing seperti kapas terbang. Melayang, meliuk, terhempas dan .. Lepas!

Yang membuatku kini menyesal atas mudahnya melepas mahkota!

“Semesta tak menggariskan langkah kita untuk bersama. Kau harus menerimanya. Lanjutkan langkahmu. Lupakan aku!”

Kata yang terucap menusuk begitu dalam. Membuat luka semakin menyakitkan. Membuat kemarahan tak lagi mampu kutahan.

Dan kemarahan itu meledak. Membutakanku dalam kegelapan. Sakitnya hati menusuk jiwa begitu dalam. Luka itu tak tertanggungkan. Aku tak sanggup lagi menahan rasa perihnya. Hanya gelap! Hanya ingin terhindar dari luka yang menyiksa. Hanya keinginan kuat untuk terlepas dari derita. Hanya itu yang kurasa! Bahkan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kegelapan menguasai. Lara itu menyakiti. Kebencian merasuki. Membuat telapakku pedih. Membuatku berteriak histeris. Membuat matamu menyorot ngeri!

Hingga kesadaran datang saat kerumunan orang mencengkeramku begitu kuat. Menyeretku dari serambi rumah. Membuatku meneriakkan semua rasa. Meronta sekuat daya. Memberontak hingga cengkeram di lengan semakin erat. Menyeretku semakin cepat. Menjauhkanku dari dirimu yang terkapar dengan begitu banyaknya genangan merah. Tanyaku tak mereka hiraukan. Teriakanku tak membuat cengkeraman berkurang. Ketakutanku melihatmu kesakitan tak mereka hiraukan. Mereka terus menjauhkanku dari serambi rumah! Mereka terus mencengkeram hingga aku tak sanggup lagi meronta!

***

Di sudut taman, senja kedua bertahun-tahun kemudian.

Sepoi angin itu bertiup memberati mataku yang asik menatap tarian dedaunan. Seberkas serat putih terbang terbawa oleh tiupannya. Gemerisik merdu terdengar begitu melenakan. Aku menikmati setiap detik keindahan yang tercipta. Menghirup habis kesegaran udara bebas. Kebebasan yang telah terenggut bertahun-tahun lewat. Tahun-tahun yang hilang karena sebuah kebodohan yang kubuat.

Dan kutarik nafas dalam, melegakan sesak di dada. Keindahan inilah yang membawaku kembali. Kesejukan inilah yang kuingini. Kenikmatan inilah yang kurindukan selama bertahun-tahun tinggal di balik jeruji besi.

Segumpal serat putih kembali terbang terbawa hembusan. Meluncur turun dan berurai saat angin datang. Melayang, meliuk ,terbang dan lepas! Hingga tak terlihat. Hingga angin menghempaskannya di suatu tempat. Dan aku terlelap.

***
By Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar