Selingkuh Yang Tak Indah

Vienna menatap lelaki itu dari jauh. Dari balik rimbun bougenville merah muda. Dari tempatnya duduk di sudut selatan taman yang berseberangan dengan kantor pos kota. Taman yang selalu ramai dengan aktifitas warga. Dari yang sekedar duduk-duduk menikmati keteduhan, maupun beberapa yang memanfaatkannya sebagai sarana berolah raga. Taman yang dapat menyamarkan keberadaannya. Yang rumpun bougenville-nya mampu meniadakan sosok Vienna. Tersembunyi dan tak terlihat! Baik dari tempat lelaki itu duduk di sisi lain taman, maupun dari jalan raya yang jaraknya sekitar 70 meter-an.

Tempat yang cukup aman baginya. Cukup memberi ruang bagi Vienna untuk mengulur waktu tanpa terlihat. Cukup membantu Vienna untuk mencari tahu adakah orang yang dikenalnya. Ya! Karena dia tak ingin seorangpun tahu keberadaannya di taman ini. Setidaknya hari ini! Hari di mana Vienna akan bertemu lelaki itu.. Sepuluh menit lalu!

Ahh.. Seharusnya Vienna segera menghampiri lelaki itu, mengatakan semuanya, mengucapkan perpisahan dan berlalu secepatnya! Seharusnya dia tak boleh membiarkan lelaki itu menunggu. Rasa bosan lelaki itu dalam penantian, akan berubah menjadi kekesalan. Dan Vienna tahu dengan pasti bagaimana rumitnya keadaan saat lelaki itu sedang marah!

Tapi toh meski menit kembali lewat, dia masih juga ada di sini. Di tempat persembunyiannya. Sesekali menatap lelaki tinggi berambut ikal itu atau kembali menelusuri jalanan di seberang sana dengan tatapannya. Keraguanlah yang menghambatnya. Keberanian yang tiba-tiba menguap setelah melihat wajah lelaki yang begitu akrab terpatri di relungnya. Lelaki itu tak akan mudah menerima keputusannya. Tak akan mau mendengar penjelasannya. Dan jika dia tak hati-hati menyampaikannya, bisa jadi semuanya akan berantakan. Dia tahu, lelaki itu mampu membuat hidupnya porak poranda. Mampu berbuat apapun jika terluka!

Vienna menghembuskan nafas keras saat rasa takut mulai merayap pelan. Tidak! Dia harus mampu mengalahkan rasa takutnya. Rencana ini tak boleh gagal. Akan banyak yang dia pertaruhkan. Hidupnya! Masa depan dan kebahagiaannya! Keraguan dan ketakutannya tak sebanding dengan kehilangan yang akan dia dapat jika gagal!

Vienna kembali melempar tatapannya ke arah jalan. Mencari-cari sebuah tanda. Mencoba mengenali sosok-sosok yang tak begitu jelas terlihat karena jarak yang membentang. Mengkhawatirkan seseorang melihat keberadaannya dengan lelaki itu di taman yang sama!

"Ayo, Vienna! Sekarang atau tidak sama sekali!”

Vienna beranjak dari duduknya. Bangkit perlahan dengan keraguan yang kental. Berjalan dengan wajah menyiratkan kekhawatiran. Menatap lelaki itu dengan sorot mata penuh harapan. Berharap lelaki itu tak bereaksi keras, berharap lelaki itu mampu mengerti keputusannya. Dan berharap lelaki itu tahu, bahwa semua ini juga melukai Vienna!

Jarak mereka masih sekitar 5 meter-an, saat lelaki itu melihat kedatangannya. Jantung Vienna berdetak lebih keras. Ketampanan lelaki itu selalu berhasil membuat lututnya goyah.

“Oh Tuhan, betapa aku merindunya.”

“Kau terlambat, sayang!”

Lelaki itu bangkit dan berjalan cepat ke arahnya. Kekesalan di wajah lelaki itu memudar. Berganti dengan senyum dan tatapan penuh cinta. Tatapan yang membuat batin Vienna tersayat. Kedua tangan lelaki itu membentang saat jarak mereka cukup dekat. Siap untuk memeluk dan mengecup dahi Vienna, seperti biasa. Seperti waktu-waktu kebersamaan mereka.

“Banyak mata, Ren!”

Ditepisnya tangan lelaki itu. Dan menunduk. Tak sanggup menatap mata lelakinya.

“Kau tahu itu! Kenapa justru ditempat ini? Apa yang salah dengan tempat kita?”

“Kita duduk dulu!”

Dengan cepat Vienna melangkah ke arah bangku di mana lelaki itu tadi menunggu.

“Ada apa ini?” Kekesalan tampak jelas dalam suara lelakinya, “seminggu lost contact. Lantas tiba-tiba telphon ngajak ketemuan. Fine! Tadinya aku gembira. Sampai kau sebut taman ini sebagai tempatnya!”

Vienna memejamkan matanya sampai detik kelima. Menyusun keberaniannya dalam diam.

“Kau mulai mengecewakan, Vienna!”

Vienna hanya mampu menatap kemarahan lelakinya tanpa kata. Menepuk bangku di sebelahnya. Memohon lelakinya untuk duduk dan tenang.

“Tidak! Aku tak mau duduk. Karena aku tahu apa yang mau kamu katakan. Kau menginginkan perpisahan, bukan?”

Vienna menundukkan wajah. Pedih itu kembali terasa. Pedih yang mulai mengendap seminggu ini. Pedih yang sudah dia rasakan bahkan hanya karena membayangkan harus terpisah dengan lelakinya. Pedih berbalut rasa takut yang menggetarkan raganya. Digenggamnya tas tangannya erat. Mengaburkan gemetar. Hingga buku jarinya memucat. Dia butuh pegangan untuk mengabaikan keinginan kakinya berlari dan menghindar!

“Oh shit! Benar dugaanku bukan? Kau hanyalah perempuan pecundang. Menjadikanku kesenangan sesaat. Dan membuangku setelah kau bosan.”

“Tidak, Ren!” Sambar Vienna cepat. Menatap lelaki itu dengan mata basah, “Tak seperti itu tepatnya.”

“Ooooo.. Kau tak mungkin jujur! Kau pasti beralasan suamimu mengetahui hubungan kita. Dan kau takut diceraikan. Dan bla-bla lainnya yang semuanya hanya bullshit saja!”

“Tapi memang itu yang sebenarnya.” Lirih suara Vienna. Tertutup isak yang akhirnya pecah. Ahh.. Seharusnya tangis itu tak perlu ada. Seharusnya dia bisa menatap lelaki di depannya dengan tegar. Seharusnya dia mengiyakan saja semua kata Rendra. Dan berlalu. Menjauh. Pergi untuk selamanya! Kembali pada hidupnya yang tenang.

Bullshit! Kalau benar itu yang terjadi, kau tak mungkin seperti ini. Dasar pembohong! Kau pikir aku gampang kau kibuli dengan air mata sinetronmu?”

Isak Vienna semakin keras. Ditutupnya muka dengan kedua telapak tangan. Berusaha meredam suara tangisnya. Berusaha menghapus rasa sakit yang semakin menghujam dadanya. Menggelengkan kepalanya sebagai penyangkalan kata-kata yang menyakitkan dari Rendra.

“Ok! Cukup sandiwaramu, Vienna! Hapus air matamu! Sekarang bangkit dan ikut aku! Tinggalkan suamimu!”

Jeda sejenak. Hanya hitungan detik yang diisi isak Vienna. Sebelum lelaki yang berdiri menjulang di depannya kembali meledak.

“Dasar pembual! Jadi benar kan? Kau tak akan seperti ini jika memang suamimu alasannya. Kau akan langsung meninggalkannya seminggu lalu. Seperti kata-katamu selama ini. Seperti janji kita untuk terus bersama.

Bitch! Dengar!”

Kepala Vienna tersentak ke belakang dengan kuat. Wajahnya mengernyit menahan pedih. Matanya basah menatap Rendra dengan rasa takut yang sangat. Tangan kirinya secara reflek menahan lengan Rendra yang menjambak rambutnya.

“Please, Ren! Sakit...”

“Catat baik-baik, pelacur murahan! Kau akan menerima balasanku. Akan ku lakukan apapun agar kau benar-benar jadi pelacur murahan! Ingat itu!”

‘Plak!’

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Sekejap setelah jambakan di rambutnya terlepas. Sekejap! Semuanya gelap bagi Vienna. Hingga dia tak melihat saat Rendra meninggalkannya. Hanya suara gemerisik langkah kaki yang menginjak rerumputan. Menjauh darinya. Meninggalkannya dalam kegelapan. Mencampakkannya dengan rasa sakit yang teramat dalam.

Rasa sakit di hatinya. Dan rasa perih di kepala dan pipinya.

Vienna memejamkan matanya. Isak itu telah lenyap. Tangan kanannya terangkat, mengusap pelan pipinya yang terasa panas. Akan ada bekas memerah di sana. Dan sudut bibirnya yang sekarang berdarah, akan lebam setelahnya. Seperti biasa, seperti sebulan lalu saat kemarahan Rendra meledak. Tepatnya sejak tiga bulan lalu. Sejak pernikahan Rendra berantakan gara-gara rahasia kisah mereka diketahui istrinya. Dan sejak dia menolak permintaan Rendra untuk meninggalkan suaminya. Sejak itulah Rendra berubah jadi sosok yang kasar bagi Vienna!

Vienna mengaduh lirih saat mengusap sudut bibirnya.

Pada dasarnya Rendra lelaki yang baik. Penuh perhatian dan penyayang. Dan ketiga hal itulah yang membuat Vienna jatuh cinta pada lelaki itu. Dia bisa menceritakan segala hal pada Rendra tanpa takut ditertawakan. Tanpa khawatir Rendra akan menganggapnya perempuan pengeluh. Tanpa tatapan iba yang amat dibencinya. Dan tanpa penghakiman!

“Ahh..!”

Vienna mendesah cukup keras. Dia memang pantas menerima tamparan Rendra. Pantas menerima kekasaran dan cacian Rendra. Pantas menerima semua hinaan Rendra. Karena dia memang pembual besar. Karena dia telah menipu Rendra dengan janji-janji manisnya.

image by bungil


Tapi bukankah semua orang yang sedang jatuh cinta selalu berbagi tentang mimpi dan harapan-harapan dalam hubungan mereka? Jika kemudian janji surga terucap, itu lumrah adanya. Karena rasalah yang dominan saat mereka memadu asmara.

Seharusnya Rendra tak menelan janjinya bulat-bulat. Seperti dirinya yang juga tak pernah menganggap serius janji-janji Rendra. Seharusnya Rendra paham kondisi mereka berdua, bahwa mereka masing-masing masih memiliki ikatan. Seharusnya Rendra sadar, bahwa mereka berdua hanya menjalin sebuah kisah sesaat. Hanya pasangan selingkuh semata. Tak lebih! Dan tak boleh mengharapkan lebih!

Tak ada seorangpun yang menginginkan rumah tangganya hancur berantakan. Hanya orang bodoh yang lebih memilih selingkuhannya dari pada pasangan resmi yang direstui semesta.

Tidakkah Rendra tahu bahwa nafsulah yang lebih dominan pada setiap hubungan perselingkuhan? Tak ada cinta di dalamnya. Sekalipun ada.. Hanya sedikit yang terselip di awal nafsu yang besar. Selebihnya, cinta tertinggal di rumah. Di antara kejenuhan dan hiruk pikuk problematik rumah tangga.

Seharusnya Rendra tahu semua itu! Seharusnya Rendra menghentikan hubungan mereka saat istrinya memergoki kisah mereka. Seharusnya Rendra tetap bertahan di rumah saat istrinya mengajukan pilihan. Dan bukan justru berlaku bodoh dengan meninggalkan perempuan yang telah melahirkan bayi-bayi mereka yang menggemaskan! Seharusnya Rendra mendengarkannya waktu itu! Bahwa tak ada yang bisa diharapkan darinya! Dia masih berstatus istri seseorang. Dia tak mungkin meninggalkan suaminya, meski segunung masalah membebani kehidupannya.

“Oh Tuhan!”

Tak seharusnya Rendra mengambil keputusan yang salah! Dan kemudian menyalahkannya atas apa yang terjadi dengan pernikahan mereka. Menuntutnya untuk secepat mungkin meninggalkan suami yang mencintainya. Merorongnya setiap saat. Dan meledak marah saat dia tak sanggup mengiyakan!

Vienna membuka mata. Mengubah posisi duduknya. Mengedarkan tatapnya ke seputar taman.

Sudah waktunya untuk pulang ke rumah. Melanjutkan hidupnya. Mengubur semua kisahnya bersama Rendra. Dan menguatkan diri untuk menghadapi tatapan penuh curiga suaminya!

Tanpa mampu dicegah, tangan Vienna bergetar. Ketakutan kembali datang. Kali ini bukan rasa takut atas reaksi Rendra.

“Oh Tuhan!” Vienna mendesis lelah.

Diambilnya tissu dari dalam tas. Dihapusnya darah yang keluar dari sudut bibir yang terluka. Mendesis lirih saat usapan itu membuat sakit di sudut bibir kembali menyerang. Vienna menarik nafas panjang. Menyiapkan hatinya. Memutar otak mencari jalan keluar. Masalah besar sedang menghadangnya di pintu rumah!

***


goresan cerita Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar