kisah di ujung senja


Sudah setengah jam lamanya aku menunggumu disini. Di bangku taman sudut kota tua, diantara ilalang yang menari riang dan diantara semburat merah mentari senja. Sendiri termangu mengkhayalkan pertemuan kita dengan penuh rindu.
“Ahh kau kembali terlambat seperti yang sudah-sudah!” Bisikku penuh sesal.
Kau memang sering terlambat menemuiku. Berlari mendekatiku dengan peluh yang membasahi bajumu. Dengan senyum bahagia mengembang di bibir indahmu. Dan dengan sorot mata rindu yang membuatku semakin jatuh cinta padamu.
*

“Kau terlambat!” Kataku kesal di senja lalu saat kuhampir saja berlalu.
“Oh sayang, mengertilah! Aku sudah berusaha datang tepat seperti yang sudah kujanjikan. Tapi begitu susah melepaskan diri darinya.” Aku diam dengan mulut terkatup rapat.
“Aku tak mungkin ingkar! Percayalah! Aku pasti datang! Andai kau tahu, setiap hari kuhitung sisa detak jam menunggu senja kita datang.” Lanjutmu sambil merengkuhku dalam pelukmu yang hangat.
Dan meski aku masih terdiam tapi senyum senangku telah merekah. Betapa indahnya senja kita. Bersandar dibahumu dan menikmati pelukmu. Bercerita tentang rasa diselingi desah menggoda. Menikmati hangatnya tatap matamu diantara kecup mesra yang saling berpagut. Aku bahagia! Selalu bahagia disetiap senja kedua kita. Selalu setia menunggumu di bangku taman kita. Bangku yang menjadi saksi cinta kita, di senja kedua setiap minggunya.
Hingga waktu kian menyempit bagi pertemuan kita. Sering kau terlambat tanpa kata dan penyesalan. Bahkan sering kau datang berlarian hanya untuk mengecupku dan ucapkan kau harus segera pulang. Pulang ke tempat semestinya kau berada. Bukan ditaman ini bersembunyi diantara ilalang.
“Sampai kapan kita kuat melalui ini? Bertemu dan berpisah dalam hitungan detik.” Tanyaku sedih saat kau kembali terlambat hanya untuk kecupan lalu bergegas pulang.  Ini sudah kali kelima kau datang, mengecupku dan lambaikan tangan. Dan aku lelah! Lelah menghadapi gejolak rindu yang tak terpuaskan. Lelah menghadapimu yang mulai berbeda. Dan lelah untuk terus berkorban tanpa kau pedulikan. Ahh..senja kala itu memang senja kelabu bagiku.
Senja dimana aku begitu jenuh menunggumu. Tak bisa menghubungimu karena kau tak menginginkan itu. Dan aku hanya bisa duduk menunggu ditemani nyamuk-nyamuk yang berpesta pora menggigitiku. Dengan hati gelisah memikirkan buah hatiku di rumah yang terbaring demam. Dan setelah penantianku yang lama tiba-tiba kau datang hanya tuk sesaat. Tanpa kata penyesalan!!
Aku kesal!! Semakin kesal saat teman mengabarkan bahwa telah berjumpa denganmu memeluk bahu di sebuah pesta.
“Dia istriku. Temanmu salah mengenalinya.” Jawabmu saat kutanya.
Dan kembali aku percaya. Meski beribu kali kau datang terlambat dengan sejuta alasan. Meski belaimu mulai tak sehangat sebelumnya! Meski beberapa teman mulai mendengungkan sebuah nama. Dan meski kemudian kau mulai tak mendatangi senja kita tanpa kata.
“Baru kini kutahu bahwa rasa rindu itu menyakitkan.” Bisikku pelan saat kau tiba-tiba menelponku setelah empat senja berlalu kumenunggu dengan setia tanpa kehadiranmu. Kau hanya terdiam. Dan aku mulai resah. Ada yang berbeda!

“Cinta kita berbuah. Sudah empat setengah minggu aku menunggumu untuk mengabarkannya.” Lanjutku dengan gembira teringat kau pasti senang mendengarnya.
“Maksudmu?”
“Buah cinta kita meringkuk hangat dalam perutku sekarang. Sudah empat setengah minggu umurnya.” Kataku sambil tersenyum membayangkan keterkejutan di wajahmu. Menunggu seruan riangmu dalam heningmu.
“Kau harus segera membuangnya, sebelum menimbulkan masalah!” katamu bagai kilat yang menyambar, nada suaramu membuatku tercekat dan rasa perih dihati begitu menyakitkan!
Kukira akan ada sorak gembira. Kukira kau bahagia mendengarnya. sungguh aku tak menyangka! Bukankah kau menginginkannya? Bukankah kau terus meminta perutku segera terisi buah hati kita? Penolakanku tak kau dengar! Dan segala rayuan kau tebarkan hingga aku mengiyakannya. Sepuluh tahun pernikahanmu tanpa tangis bayi mewarnai rumahmu. Jika akhirnya aku mengiyakanmu, itu hanya karena aku ingin membahagiakanmu! Ingin kau merasakan bahagianya menjadi seorang ayah. Seperti yang kau pinta.
Tapi kenapa setelah perutku terisi buah cinta kita, kau mengingkarinya! Kau tak bersorak gembira. Kau tak memelukku suka cita seperti yang kubayangkan! Kenapa? Adakah yang berbeda? Ataukah cintamu telah terkikis dengan sempitnya waktu untuk berjumpa? Ataukah benar ada wanita ketiga?
Sejuta tanya menerpa, aku gelisah, resah dan tak lagi dapat membendung rasa. Aku harus bertanya! Harus tahu kebenaran yang ada. Harus tahu ada apa denganmu disana! Dan kuhela langkahku..terseok kearahmu!

Ahh.. waktu telah bergulir tak terasa. Kulihat jam tangan di pergelangan kanan. Sudah dua jam berlalu dan bayangmu tetap tak terlihat menghampiriku.
“Kau pasti datang untukku! Seperti janjimu! Seperti senja-senja yang telah berlalu.” Bisikku lirih sambil menatap penuh harap pada benda merah dalam genggaman. Ya! Kau pasti datang! Setidaknya untuk mengambil benda yang kuambil tadi siang.
Ahh..aku mendesah gelisah. Meredakan debar jantungku yang tak beraturan.
*
Debar yang sama yang kurasakan siang tadi saat berdiri di depan pintu kantor tempat kau bekerja. Debar yang sama seperti saat aku melangkah pelan memasukinya. Menyebutkan namamu dan duduk diam menunggu kau keluar.  Sedikit gelisah akan reaksimu melihatku datang. Kemarahankah yang akan kuterima? Atau peluk hangatmu karena bahagia?
Dan disanalah kau berdiri dengan sinar terkejutmu, dengan aura kemarahanmu dan dengan nada suara yang menyayat jantungku. Suara yang terus kau putar ulang di motel terdekat. Motel dimana kau bawa aku hanya untuk kau umpat.
 Dan aku terus terdiam! Mendengar suaramu yang memekakkan telinga, mendengar suaramu yang penuh caci maki dan kata-kata pedas. Kurasakan kamar itu mulai berputar pelan, dunia menjadi hitam dan suaramu tak lagi terdengar. Hanya dengung-dengung yang memusingkan diantara hitam yang membutakan. Hingga terdengar bisik lirih kata-katamu di senja lalu. Senja saat aku menangis karena istrimu mencaciku.
“Jika rasa sakit dihatimu tak tertahankan, ambillah jantungku untuk mengobatinya!” kata-katamu terus berdengung ditelinga. Diantara hitam yang membutakan dan diantara kata-katamu yang mendengung di telinga, aku merasakan sayatan itu semakin menyakitkan. Sayatan yang membuat hatiku terluka! Luka yang menyemburkan darah berwarna merah tepat didada! Tepat dimana jantungmu berada!
*
“Kau pasti datang!” kataku lebih keras.
Senja benar-benar telah berlalu dan aku masih diam menunggu. Sambil terus menatap merahnya jantungmu dalam genggamku.
“Ya! Kau pasti datang!” Kataku senang membayangkan pertemuan kita.
“Kau pasti datang!!” seruku gembira sambil menyenandungkan tawa bahagia.
***
By Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar