setitik cahaya di belantara kelam


Termenung menatap mendung. Gumpalan hitam berarak membuat resah. Tiga senja berlalu penuh pilu. Tiga senja tanpa daya, hanya mampu menatap pasrah pada rintik hujan yang akhirnya tercurah. Tak begitu deras tapi sudah membuat semangatnya patah.
Dia beranjak ke kamar utama, membalik sprei usang dan menatap sendu tiga lembar kertas berwarna ungu yang tersimpan rapi disana.

"Tinggal tiga lembar!" Bisiknya sendu sambil kembali merapikan alas tempatnya mengistirahatkan badan setiap gelap. 

Sebuah bimbang menggoyahkan keyakinannya. 

Haruskah dia berbalik arah? Beban ini sudah teramat berat, bahunya sudah tak sanggup lagi menanggungnya. Bagaimanapun dia memang tak terbiasa dengan kerja keras. Bukan berarti dia selalu bergelimang kemewahan dan bukan juga berarti dia seseorang yang manja. Dia bahkan sanggup membiayai kedua adiknya hingga sarjana saat dia baru saja lulus kuliah!

Hanya saja keadaan kini berbeda! Ijazah sarjananya memang akan bisa membantunya lepas dari jeratan beban, tapi itu berarti dia harus menebalkan hati mendengar tangis keempat anaknya yang tak bisa terpisah darinya meski sesaat.

"Tidak!" Bisiknya lebih keras. "Aku tak bisa melakukannya. Mereka sudah cukup kehilangan. Dan aku tak sanggup menambah beban hati mereka!"

Dia menarik nafas bimbang, sudah terlalu lelah menolak berbagai tawaran kerja dari para sahabat, sudah terlalu bosan mendengar pinta ibu dan saudara-saudaranya untuk kembali bekerja dan dia sudah terlalu sering menjelaskan alasannya pada mereka!
Tapi saat beban terasa teramat beran, ingin rasanya dia berbalik arah. Menerima tawaran kerja yang datang dan mencari pembantu untuk menjaga anak-anak.

"Oh Tuhan! Bisakah dia melakukannya? Tegakah dia melihat tatap mata sedih mereka?"

Diambilnya selembar kertas di atas meja, sebuah surat dari sekolah yang dibawa anak keduanya kemarin siang. Tiga bulan menunggak uang bulanan mereka!

"Tapi bagaimana dengan sekolah anak-anak? Bagaimana dia harus menghidupi mereka sekarang?"

Lagi-lagi dia hanya mampu mendesah resah.

***

Dia masih sibuk dengan ketermenungan dan kebimbangannya, saat dering telphon itu nyaring membangunkannya dari lamun penyesalan.

"Ya?" 

Sapa ceria Dewi temannya semasa kuliah ramai terdengar. Dia sedikit terhibur oleh tawa canda yang dihadirkan. 

"Jadi.. Bisakah kau membuatkan baju spesial untukku secepatnya? Ah! Aku tahu ini mendadak! Tapi.. Acara yang dibuat suamiku untuk merayakan ulang tahun pernikahan kamipun begitu mendadak. Please..bantu aku Sari! Penjahit langgananku sudah menolakku, dan aku tak tahu lagi harus kemana meminta bantuan. 3 hari sayang! Masih bisa kan?"

"Tapi sudah bertahun-tahun aku tak mencoba"

"Dan sekarang saatnya menguji apakah kepintaranmu masih tersisa!"

"Aku takut gagal!"

"Kau bukan sosok pesimis Sari! Aku tahu dari dulu kau punya tekad dan semangat! Ayolah!"

"Entahlah!"

"Ok deal! Sore nanti aku kesana! Bye!"

"Tapi.."

Suara berdengung diujung sana membuatnya gundah.
Dewi selalu saja punya beribu cara menaklukkan hatinya. Sejak lama!
Dia kembali tersenyum mengingat masa-masa remajanya yang ceria bersama Dewi sahabtanya dan berpuluh teman yang bergerombol disekitarnya.

"Ahh..betapa indahnya masa remaja! Selalu ceria tanpa beban. Hanya cinta dan prestasi sekolah yang menjadikan remaja gundah." Gumamnya masih dengan senyum diwajah, melangkahkan kakinya ke bagian belakang rumah dan menatap mesin jahit tua yang teronggok penuh debu disudut ruangan. Tertumpuk barang-barang yang tak kalah usang.

"Berapa lama mesin itu tak digunakannya?" Tanyanya dalam diam.

***

Satu hari terlewat! Dan kain itu masih saja terlipat rapi diatas meja. Bukan karena hari cerah yang menyibukkan waktunya mengais rupiah dengan berjualan es kelapa muda di taman perumahan. Dan juga bukan karena mesin jahit tua begitu berdebu hingga tak mampu melaksanakan tugasnya. 

Bukan! Tapi lebih pada kegamangan akan kemampuan yang tersisa.

Mungkin ada baiknya dia memberitahu Dewi untuk membeli gaun jadi saja. Pikirnya sambil mengemasi lembaran kain diatas meja dan menyimpannya diatas mesin jahit tua yang semalam sempat dipindahkannya ke ruang depan.

***

Satu hari kembali datang menyapa. Ketak berdayaan yang membuatnya menghubungi Dewi di telephon genggamnya.

"Tidak! Kau tahu aku tak pernah nyaman mengenakan gaun jadi meski dari butik! Ini hari spesialku Sari! Aku ingin tampil beda!"

"Tapi.. Aku takut merusak kainmu yang mahal."

"Kau belum mencoba!"

"Jika gagal aku tak bisa menggantinya!"

"Karena itulah, buat agar berhasil dan jadi gaun indah!"

Dia menggeram kesal! 
Dengan setengah hati dilembarkannya kain mahal berwarna biru muda dengan bordiran di beberapa bagiannya. Diliriknya sekilas surat teguran yang disampaikan anak nya tadi siang sepulang sekolah, terngiang kembali ancaman petugas PLN untuk segera melunasi tagihan yang telah tertunggak 3 bulan.

Resah itu mulai menghimpit dadanya. Ada baiknya dia mulai menghubungi beberapa teman yang pernah menawarkan kerja.

"Dan semoga kesempatan itu belum hilang!"

Diambilnya meteran yang ternyata masih tersimpan rapi di laci mesin jahit tuanya, penggaris jahit yang juga ditemukannya disana dan kapur khusus kain berwarna merah muda.

"Tinggal hari ini! Sanggupkah dia menyelesaikannya?"

Banyak yang harus dikerjakannya. Dia harus membuat pola sesuai bentuk gaun yang diinginkan Dewi, memotong kain sesuai polanya dan membawanya ke pasar untuk diobras.

Dia lagi-lagi mendesah bimbang. Perlahan dilipatnya kain menjadi dua bagian, menatap lama kain yang terhampar di depannya sebelum meraih meteran dan penggaris di dekatnya.
Tak perlu menunggu lama saat dia mulai larut dalam kesibukannya, diiringi banyak kenangan indah saat masih kuliah, saat dia begitu gemar menjahit hingga sebuah butik miliknya cukup dikenal di lingkungan kampus tempatnya belajar.
Kenangan yang tampak asing baginya sekarang!
Sambil terus sibuk dengan gunting dan kain didepannya sebuah rasa rindu melintas dalam dirinya, mengusik kembali ketenangan yang susah payah dia coba bangun sepeninggal suaminya.

Rasa rindu yang menguasai perasaannya, membuat butiran bening menggenangi kelopaknya dan yang membuatnya terisak pelan saat menyadari kini tak mampu lagi menuntaskan kerinduannya.

"Ahh..kuatkan aku untuk tetap berdiri demi anak-anak yang kau titipkan mas"

***

"Taraaaa!!" 

Dewi keluar dari kamarnya dengan wajah berbinar. Tampak cantik dan elegant dengan gaun birunya.
Dia tersenyum dan berjalan mendekati Dewi. Membelai pelan punggung Dewi yang terbalut gaun biru hasil kerja kerasnya.

"Kau tampak hebat!"

"Dan kau berhasil membuatku tampak hebat!" Kata Dewi dengan senyum di bibirnya.

"Aku sudah mencuci dan merapikannya, jadi kau bisa memakainya malam ini."

Dewi tertawa pelan, mengerling nakal dan kembali masuk kamar untuk mengganti baju dengan pakaian yang dikenakannya saat datang.

"Ehem..aku mau buat pengakuan." Kata Dewi saat telah duduk di sofa. Menatap serius dirinya yang sedang sibuk melibat gaun biru ditangan. 

"Sebenarnya, tak ada pesta nanti malam."

Dia tercengang. Mengerutkan dahi tak mengerti akan kata-kata Dewi yang barusan terdengar.
Dewi tersenyum dan mulai meraih tas besar yang dibawanya, mengeluarkan bungkusan besar dari dalam dan membukanya!

"Ini ada beberapa kain dan aku ingin kau membuatkannya untukku! Sebagus gaun biru itu! Dengan model dan ukuran yang sudah kulampirkan disetiap kainnya."

Diterimanya tumpukan kain yang disodorkan Dewi ke pangkuannya, mencermati setiap potongan kertas yang tersemat di setiap potongan, menghitung tumpukannya dengan cepat dan kembali mengerutkan dahi sambil menatap Dewi tak mengerti.

"Tujuh gaun dengan ukuran yang berbeda"

Dewi tersenyum dan mengangguk.

"Dan berapa lama kau memberiku waktu untuk menyelesaikan semuanya?"

"Tiga hari!"

"Apa??" Teriaknya spontan. "Mana mungkin dew! Tiga hari! Dan aku mengerjakan semuanya sendirian, belum aku harus mengobraskannya ke pasar. Seminggu!"

"Tiga hari! Aku akan mengirimkan mesin obras kesini sore nanti. Oh ya! Dan itu tidak gratis! Kau akan mulai mencicilnya bulan depan."

Dia ternganga tak mengerti.

"Semua gaun itu akan diambil pemiliknya ke butikku empat hari lagi. Jadi kau harus menyelesaikannya tiga hari!"

"Tapi.."

"Kau sanggup! Aku tahu itu! Dulu butikmu mampu menerima 25 gaun setiap harinya!"

"Tapi dengan lima penjahit dan seorang tukang potong, dew!"

"Ini ongkos untuk gaun biru dan sedikit untuk uang muka ketujuh gaun itu." 

Dihitungnya lembaran rupiah dengan hati tercekat bimbang. Menghembuskan nafas lega saat tahu uang itu akan mampu sedikit mengurangi bebannya. 

"Tapi? Tiga hari! Mampukan dia?" Kebimbangan masih mengusiknya.

"Besok asistenku akan kesini untuk mengantar kain berikutnya."

"Hah??"

Dewi tersenyum dan berlalu meninggalkannya dalam kebingungan.

***

by Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar