(bukan) Rekayasa Cinta - bagian 1



Keheningan menyelimuti serambi depan rumah. Hanya gemerisik ilalang yang terdengar. Dan sesekali deru kendaraan di kejauhan. Laras menengadahkan wajah. Menatap senja yang mulai datang perlahan. Berusaha mengaburkan amarah dengan menikmati semburat merah yang tampak indah. Keindahan yang biasanya mampu menenangkan segala gundah. Tapi senja ini justru membuat matanya berlinang. Membuat luka di hatinya semakin terasa menyakitkan. Membuat dadanya sesak oleh isak yang menggumpal.

Laras menarik nafas panjang. Berusaha sekuat tenaga menahan isak. Tak boleh ada air mata. Tidak saat perempuan bernama Raesha itu masih ada di depannya. Dia tak akan mempermalukan dirinya dengan tangisan. Dia tak akan membiarkan dirinya tampak bodoh di depan Raesha. Sudah cukup kebodohannya selama ini. Hingga mengira perempuan sempurna di depannya ini datang mengulurkan ikatan persahabatan. Sudah cukup kenaifannya selama enam bulan ini. Hingga begitu tololnya masuk dalam jebakan permainan Raesha.

“Oh Tuhan... Betapa kejam permainan Raesha! Betapa tololnya aku hingga mudah terjebak!”

Laras memalingkan wajah. Butiran bening di sudut mata sudah siap tumpah. Masalah ini terlalu berat buat perempuan sederhana sepertinya. Yang tak pernah mengenal intrik dan tipuan. Yang hidupnya hanya diwarnai hal-hal seputar urusan rumah tangga. Yang otaknya hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana cara bisa menghidupi kedua anak yang masih balita sendirian.

Ahh... Permainan Raesha terlalu menyakitkan bagi hatinya yang rentan!

Bagaimana perempuan biasa sepertinya mampu memahami niat jahat perempuan pintar itu? Bagaimana dia bisa tahu bahwa untuk orang-orang kaya dan pintar seperti Raesha, memaknai cinta bukan hanya sekedar rasa. Bukan hanya sekedar pertautan dua hati yang saling mendamba. Tapi lebih dari itu.. Orang-orang seperti Raesha memaknai cinta lebih pada apa yang bisa didapat dari sebuah hubungan. Lebih pada bagaimana dia bisa mendapatkan sebanyak apa yang sudah diberikan. Cinta bagi orang-orang seperti Raesha lebih rumit dari pada makna cinta bagi Laras.

“Oh Tuhan... Bagaimana perempuan sepertiku bisa tahu bahwa semua ini hanya permainan?”

“Baiklah, Laras!” Laras memalingkan wajah. Melihat Raesha sudah beranjak dari duduknya. Menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ekspresi yang sama sejak kedatangannya.

“Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkannya. Dan aku juga tak berniat meminta jawaban sekarang. Minggu depan, Laras. Aku harap kamu sudah memiliki jawaban.”

Ada kilatan di mata Laras. Ditatapnya perempuan itu dengan amarah yang tak lagi disembunyikan.

“Sampai kapanpun, jawabannya akan sama. Tidak! Kau pikir aku perempuan murahan? Perlu kau tau, Raesha! Tak semua hal bisa kau beli dengan uang!”

Nada suara Laras mengeras. Tatapannya semakin tajam. Namun perempuan di depannya hanya mengibaskan tangan. Masih dalam posisinya berdiri di depan Laras. Masih dengan ekspresi tak terbaca.

“Baca dan pelajari saja dulu! Tak ada yang menganggapmu murahan. Dan aku bisa menambah nominalnya jika kamu rasa masih kurang.”

“Bawa pulang sampah itu!” Dengan kasar didorongnya bendel kertas di atas meja, “dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini! Dengan perjanjian itu atau tanpa perjanjian itu!”

“Ayolah, Laras! Baca saja dulu dan pertimbangkan tawaranku. Tak ada yang dirugikan di sini. Justru perjanjian itu akan membantumu lepas dari masalah.”

Laras menggelengkan kepala dengan gemas. Kesal dengan cara Raesha memaksa. Menyambar bendel kertas itu dengan kasar, berdiri dan melempar kertas itu ke dada perempuan angkuh di depannya.

“Masalahku adalah urusanku. Masalah ini sudah bersamaku sepanjang hidupku. Tak ada urusannya dengan kau! Dan masalahmu, Raesha! Juga tak ada urusannya denganku!”

“Jangan terburu-buru, Laras. Bukankah akan menyenangkan untukmu? Kamu bisa lepas dari lilitan hutang yang selama ini mencekik hidupmu. Dan.. Bukankah kamu seharusnya berterimakasih padaku, karena aku mewujudkan mimpimu dengan Bara?”

Laras mengerjap saat gelombang kemarahan itu mendesak keluar. Tak terbendung. Tak mampu lagi ditahannya. Dengan geram, Laras berdiri dari duduknya. Menatap tajam Raesha. Meluapkan segala sakit yang menyiksa hatinya.

“Tak ada mimpi apapun antara aku dan Bara. Kau pikir aku perempuan bodoh yang bisa kau permainkan seenak perutmu? Kau pikir aku begitu miskinnya hingga mau menjual cintaku? Tidak Raesha! Tak semua orang sepicik kamu! Tak semua orang tak memiliki hati sepertimu!”

“Wow! Bukannya kamu yang mempermainkan aku, Laras? Come on.. Di sini kamu-lah yang tak memiliki hati. Kamu mengkhianati orang yang telah menganggapmu sahabat, Laras. Bukan aku!”

“Tapi kau yang menjebakku. Kau yang merencakan semuanya. Kau yang mengatur semuanya tanpa pernah kusadari sebelumnya. Kau licik! Kau ular, Raesha!”

“Wah..wah..wah.. Kenapa semua kau bolak balik, Laras? Tak ada seorang perempuanpun yang rela suaminya dicuri oleh perempuan lain. Tak ada Laras!”

“Pembohong! Kau di belakang semua yang terjadi.” Suara Laras masih keras, namun sedikit bergetar. Sebersit rasa bersalah menggores kemarahan.

“Jangan mencari pembenaran, Laras! Jangan sok naif! Kamu pikir aku bisa mengatur rasamu? Kamu pikir aku cupid yang bisa mengatur kemana arah cintamu berlabuh? Hahaha... Laras.. Laras! Hatimu sendiri yang menentukan rasa. Bukan aku! Come on.. Kamu mencintai suamiku, Laras. Jangan lupakan itu!”
Kini Laras benar-benar tak mampu lagi menatap Raesha.

“Harusnya kau berterima kasih padaku, Laras. Aku tak menuntutmu. Aku tak melabrakmu karena telah berselingkuh dengan suamiku. Aku bahkan datang untuk memberikan suamiku.”

“Tapi demi keuntunganmu!” Sambar Laras cepat.

“Kamu tahu, Laras? Akan lebih mudah bagiku dan Bara untuk mengadopsi anak. Akan lebih mudah buatku, Laras. Daripada melihat Bara bersama perempuan lain.”

Raesha menunduk saat mengatakannya. Berhenti sesaat. Meletakkan bendel kertas perjanjian itu kembali ke atas meja. Menatap Laras dengan pandangan terluka. Ekspresi yang mengejutkan buat Laras. Ekspresi pertama yang diperlihatkan Raesha sejak kedatangannya senja ini.

“Jika kamu saat ini merasa terluka, Laras.. Maka ketahuilah! Bahwa lukaku lebih dalam dari milikmu!”

Perempuan itu kemudian membalikkan badan. Berjalan cepat meninggalkan serambi rumahnya. Menghilang bersama deru mobilnya yang semakin tak terdengar. Membiarkan Laras dalam kegamangan. Membiarkan Laras dalam rasa bersalah yang semakin menghujam. Membiarkan Laras dalam keterdiamannya.. Dengan mata basah!


***

*** bersambung ***

Goresan Cerita Rinzhara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar