Keheningan menyelimuti serambi depan rumah. Hanya gemerisik
ilalang yang terdengar. Dan sesekali deru kendaraan di kejauhan. Laras menengadahkan
wajah. Menatap senja yang mulai datang perlahan. Berusaha mengaburkan amarah
dengan menikmati semburat merah yang tampak indah. Keindahan yang biasanya
mampu menenangkan segala gundah. Tapi senja ini justru membuat matanya
berlinang. Membuat luka di hatinya semakin terasa menyakitkan. Membuat dadanya
sesak oleh isak yang menggumpal.
Laras menarik nafas panjang. Berusaha sekuat tenaga menahan
isak. Tak boleh ada air mata. Tidak saat perempuan bernama Raesha itu masih ada
di depannya. Dia tak akan mempermalukan dirinya dengan tangisan. Dia tak akan
membiarkan dirinya tampak bodoh di depan Raesha. Sudah cukup kebodohannya
selama ini. Hingga mengira perempuan sempurna di depannya ini datang
mengulurkan ikatan persahabatan. Sudah cukup kenaifannya selama enam bulan ini.
Hingga begitu tololnya masuk dalam jebakan permainan Raesha.
“Oh Tuhan... Betapa kejam
permainan Raesha! Betapa tololnya aku hingga mudah terjebak!”
Laras memalingkan wajah. Butiran bening di sudut mata sudah
siap tumpah. Masalah ini terlalu berat buat perempuan sederhana sepertinya.
Yang tak pernah mengenal intrik dan tipuan. Yang hidupnya hanya diwarnai hal-hal
seputar urusan rumah tangga. Yang otaknya hanya digunakan untuk memikirkan
bagaimana cara bisa menghidupi kedua anak yang masih balita sendirian.
Ahh... Permainan Raesha terlalu menyakitkan bagi hatinya
yang rentan!
Bagaimana perempuan biasa sepertinya mampu memahami niat
jahat perempuan pintar itu? Bagaimana dia bisa tahu bahwa untuk orang-orang
kaya dan pintar seperti Raesha, memaknai cinta bukan hanya sekedar rasa. Bukan hanya
sekedar pertautan dua hati yang saling mendamba. Tapi lebih dari itu.. Orang-orang
seperti Raesha memaknai cinta lebih pada apa yang bisa didapat dari sebuah
hubungan. Lebih pada bagaimana dia bisa mendapatkan sebanyak apa yang sudah
diberikan. Cinta bagi orang-orang seperti Raesha lebih rumit dari pada makna
cinta bagi Laras.
“Oh Tuhan... Bagaimana
perempuan sepertiku bisa tahu bahwa semua ini hanya permainan?”
“Baiklah, Laras!” Laras memalingkan wajah. Melihat Raesha
sudah beranjak dari duduknya. Menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ekspresi
yang sama sejak kedatangannya.
“Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkannya. Dan aku juga
tak berniat meminta jawaban sekarang. Minggu depan, Laras. Aku harap kamu sudah
memiliki jawaban.”
Ada kilatan di mata Laras. Ditatapnya perempuan itu dengan
amarah yang tak lagi disembunyikan.
“Sampai kapanpun, jawabannya akan sama. Tidak! Kau pikir aku
perempuan murahan? Perlu kau tau, Raesha! Tak semua hal bisa kau beli dengan
uang!”
Nada suara Laras mengeras. Tatapannya semakin tajam. Namun
perempuan di depannya hanya mengibaskan tangan. Masih dalam posisinya berdiri
di depan Laras. Masih dengan ekspresi tak terbaca.
“Baca dan pelajari saja dulu! Tak ada yang menganggapmu
murahan. Dan aku bisa menambah nominalnya jika kamu rasa masih kurang.”
“Bawa pulang sampah itu!” Dengan kasar didorongnya bendel kertas
di atas meja, “dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini! Dengan perjanjian
itu atau tanpa perjanjian itu!”
“Ayolah, Laras! Baca saja dulu dan pertimbangkan tawaranku. Tak
ada yang dirugikan di sini. Justru perjanjian itu akan membantumu lepas dari
masalah.”
Laras menggelengkan kepala dengan gemas. Kesal dengan cara Raesha
memaksa. Menyambar bendel kertas itu dengan kasar, berdiri dan melempar kertas
itu ke dada perempuan angkuh di depannya.
“Masalahku adalah urusanku. Masalah ini sudah bersamaku sepanjang
hidupku. Tak ada urusannya dengan kau! Dan masalahmu, Raesha! Juga tak ada
urusannya denganku!”
“Jangan terburu-buru, Laras. Bukankah akan menyenangkan
untukmu? Kamu bisa lepas dari lilitan hutang yang selama ini mencekik hidupmu.
Dan.. Bukankah kamu seharusnya berterimakasih padaku, karena aku mewujudkan
mimpimu dengan Bara?”
Laras mengerjap saat gelombang kemarahan itu mendesak
keluar. Tak terbendung. Tak mampu lagi ditahannya. Dengan geram, Laras berdiri
dari duduknya. Menatap tajam Raesha. Meluapkan segala sakit yang menyiksa
hatinya.
“Tak ada mimpi apapun antara aku dan Bara. Kau pikir aku
perempuan bodoh yang bisa kau permainkan seenak perutmu? Kau pikir aku begitu
miskinnya hingga mau menjual cintaku? Tidak Raesha! Tak semua orang sepicik kamu!
Tak semua orang tak memiliki hati sepertimu!”
“Wow! Bukannya kamu yang mempermainkan aku, Laras? Come on..
Di sini kamu-lah yang tak memiliki hati. Kamu mengkhianati orang yang telah
menganggapmu sahabat, Laras. Bukan aku!”
“Tapi kau yang menjebakku. Kau yang merencakan semuanya. Kau
yang mengatur semuanya tanpa pernah kusadari sebelumnya. Kau licik! Kau ular, Raesha!”
“Wah..wah..wah.. Kenapa semua kau bolak balik, Laras? Tak ada
seorang perempuanpun yang rela suaminya dicuri oleh perempuan lain. Tak ada Laras!”
“Pembohong! Kau di belakang semua yang terjadi.” Suara Laras
masih keras, namun sedikit bergetar. Sebersit rasa bersalah menggores
kemarahan.
“Jangan mencari pembenaran, Laras! Jangan sok naif! Kamu
pikir aku bisa mengatur rasamu? Kamu pikir aku cupid yang bisa mengatur kemana
arah cintamu berlabuh? Hahaha... Laras.. Laras! Hatimu sendiri yang menentukan
rasa. Bukan aku! Come on.. Kamu mencintai suamiku, Laras. Jangan lupakan itu!”
Kini Laras benar-benar tak mampu lagi menatap Raesha.
“Harusnya kau berterima kasih padaku, Laras. Aku tak
menuntutmu. Aku tak melabrakmu karena telah berselingkuh dengan suamiku. Aku
bahkan datang untuk memberikan suamiku.”
“Tapi demi keuntunganmu!” Sambar Laras cepat.
“Kamu tahu, Laras? Akan lebih mudah bagiku dan Bara untuk
mengadopsi anak. Akan lebih mudah buatku, Laras. Daripada melihat Bara bersama
perempuan lain.”
Raesha menunduk saat mengatakannya. Berhenti sesaat.
Meletakkan bendel kertas perjanjian itu kembali ke atas meja. Menatap Laras
dengan pandangan terluka. Ekspresi yang mengejutkan buat Laras. Ekspresi
pertama yang diperlihatkan Raesha sejak kedatangannya senja ini.
“Jika kamu saat ini merasa terluka, Laras.. Maka ketahuilah!
Bahwa lukaku lebih dalam dari milikmu!”
Perempuan itu kemudian membalikkan badan. Berjalan cepat
meninggalkan serambi rumahnya. Menghilang bersama deru mobilnya yang semakin
tak terdengar. Membiarkan Laras dalam kegamangan. Membiarkan Laras dalam rasa
bersalah yang semakin menghujam. Membiarkan Laras dalam keterdiamannya.. Dengan
mata basah!
***
*** bersambung ***
Goresan Cerita Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar