Hingga Maut Memisahkan


Renata menghentikan langkah. Mengatur nafas yang terengah. Menatap dengan rasa puas ke arah rindangnya pohon di balik belukar dan batu karang di depannya.

“Hampir sampai, Bey! Tinggal satu tanjakan lagi.” Bisik Renata dengan nafas tak teratur. Pendakian ke bukit karang ini ternyata tak semudah perkiraan. Tak semudah yang dikatakan Bey selama ini. Bukit ini sangat terjal. Dengan jalanan setapak mendaki tanpa pemandangan indah. Hanya hamparan ilalang di sela bebatuan cadas yang menjulang di sekelilingnya.

Renata meraih botol air mineral di saku celana kargonya. Menenggak dalam tegukan besar. Menatap sekali lagi ke arah rindangnya dedaunan di atas karang dan kembali melanjutkan langkah.

Hanya satu kelokan tajam dan mendaki, untuk sampai ke pohon yang daunnya terlihat dari tempatnya berdiri tadi. Kini di depan Renata terpampang dataran batu cadas yang tak begitu besar. Dengan hamparan ilalang yang mengering di sela-selanya. Dengan batu-batu cadas hitam dan berrongga di sisi kirinya. Dengan pemandangan debur ombak laut yang tampak mengerikan di sisi lainnya. Dan di sanalah, tepat di tengah-tengah dataran dengan pemandangan laut di bawahnya, sebuah pohon besar berdiri menjulang di tengah batu besar.

Pohon bangkong dan batu besar tempat Bey menyematkan kesendiriannya!

“Akhirnya aku sampai di sini, Bey! Di batu besarmu. Di bukit karang tempatmu membunuh sepi dan rindu. Di bawah rindangnya pohon tempatmu merangkai semua mimpi masa kecilmu.

“Pohon itu masih ada Bey. Masih setia tumbuh meneduhi batu besar itu.”

Dan Renata melangkah mendekat. Sedikit ngeri saat sudut matanya menangkap deburan ombak yang menggila di bawah sana. Menempatkan dirinya di atas batu besar, duduk di sisi menghadap lautan, bersandar pada batang pohon bangkong di belakangnya. Dan berharap inilah posisi yang sama seperti posisi Bey setiap kali menghabiskan waktunya di sini. Menghadap lautan dan bersandar pada batang pohon besar! Satu-satunya pohon berbatang di puncak bukit karang!

“Tak ada yang tahu asal pohon itu tumbuh di tengah batuan. Pohon itu sudah ada sejak aku kanak-kanak. Sejak aku menemukan tempat itu tanpa sengaja. Saat itu, pagi pertama aku tak menemukan ibuku di rumah.”

Renata menghela nafas keras. Merasakan tusukan nyeri di hatinya. Bagaimana dia bisa lupa cerita luka masa kecil Bey? Bagaimana dia bisa lupa bahwa Bey menyimpan luka sepanjang hidupnya? Luka ditinggalkan ibu yang melahirkannya. Membiarkannya sendiri dengan ayah yang sibuk dengan alkohol di mulutnya. Pergi membebaskan diri tanpa memikirkan nasib Bey!

“Mungkin air laut yang membawa biji bangkong hingga ke pantai di bawahnya. Dan mungkin ombaklah yang melemparkannya ke atas puncak bukit karang. Atau bisa jadi kawanan burung yang sering melintas setiap senjalah yang menjatuhkan bijinya tepat di antara bebatuan. Entahlah.. Yang pasti biji itu ada di sana. Tumbuh dan besar hingga sekarang.”

Seperti Bey, yang terdampar di ibu kota tanpa sanak. Sendiri. Selalu sendiri. Sepanjang hidupnya Bey memang selalu sendiri. Hingga menemukan Renata. Hingga menambatkan hatinya pada Renata. Pada perempuan yang mengagumi suaranya di sepanjang lajunya kereta listrik dari Cawang sampai Kota.

“Mereka.. Batu besar dan pohon bangkong itu saling setia. Hidup berdua. Selalu bersama. Saling membutuhkan. Meski mereka sama sekali berbeda. Batu besar itu dengan wujud yang tak pernah berubah. Sedang pohon yang semakin lama tumbuh menjadi pohon besar dan rindang. Batu dengan kediamannya yang membosankan. Dan pohon yang terus berganti-ganti masa. Kadang panas mengeringkan dan meluruhkan daunnya. Kadang bunga yang tumbuh di pucuk-pucuknya menjadikan pohon itu jadi rupawan. Namun pohon tetap setia pada batu besar. Tetap tumbuh di antaranya. Tetap meneduhi batu itu saat panas tiba.

“Seperti seharusnya pasangan yang saling mencinta!”

Renata memejamkan matanya. Bahkan dia masih ingat tatapan Bey yang penuh harap dan cinta saat mengatakannya. Bahkan semua kenangan itu masih jelas dalam relungnya.

“Tapi cinta tak seharusnya menjadi penghalang langkah pasangannya, Bey! Cinta harus jadi pendorong. Bukan penghalang.”

“Aku mendukungmu, Renata! Selalu mendukungmu. Bahkan aku bersedia menjadi orang lain agar kau tak malu memiliki suami seorang pengamen sepertiku. Bahkan aku sanggup berbohong di depan teman-temanmu seperti yang kau pinta. Aku mendukungmu, Renata!”

Bey memang mendukungnya. Selalu mendukungnya. Selalu berkorban demi dirinya. Bekerja keras mengerjakan apa saja agar bisa menutup biaya kuliahnya yang tak terbayar dari gajinya yang pas-pasan. Bahkan meski berat, meski itu menyakiti hatinya yang rentan, Bey mendukung kepergiannya untuk belajar ke Australia saat kantor memberinya bea siswa. Bey mendukungnya. Mengantar kepergiannya. Menunggu dengan setia selama dua tahun lamanya. Rajin mendoakannya dalam untaian kata yang ditulisnya dalam surat.
Bey selalu rajin menyuratinya. Meski Renata jarang membalas. Selalu menunggunya meski karena kesibukan belajar sering membuat Renata melupakannya. Selalu memikirkannya. Meski Renata sibuk dengan Bryan!

Bryan! Lelaki sempurna di matanya kala itu. Begitu pintar dan kaya. Begitu tampan dan berpenampilan elegant. Lelaki terhormat dan terpelajar. Berbeda dengan Bey. Jauhh berbeda. Dan perbedaan itu menyilaukan mata Renata. Membuat Renata lupa bahwa dia bukan lagi seorang lajang. Bahwa jauh di Jakarta sana, ada lelaki sederhana yang menunggunya dengan setia.

Renata menarik nafas panjang. Dadanya sesak oleh gumpalan isak. Betapa bodohnya! Betapa tololnya! Betapa jahatnya Renata hingga melukai hati Bey! Hati tulus milik lelaki jalanan. Hati yang dipenuhi cinta. Hati yang dipenuhi satu mimpi.. Membahagiakan Renata!

“Maaf!”

Hanya itu yang bisa diucapkan Renata kala itu. Kala dua tahun keberadaannya di Australia berakhir. Kala dia kembali ke Jakarta bersama Bryan. Kembali ke kantornya. Kembali ke aktifitas seperti sebelum berangkat ke Australia. Tapi bukan untuk kembali ke rumah kontrakan di mana bey menunggunya. Bukan untuk kembali ke hati Bey!

Kali ini Renata memiliki hati Bryan. Meski tak satupun janji yang diucapkan Bryan untuk menikahinya. Meski Renata sendiri belum tahu bagaimana masa depan cintanya dengan Bryan. Lelaki itu terlalu ambisius meraih puncak kesuksesan. Hingga kadang menempatkan Renata hanya sebagai penghibur kejenuhan semata. Dan sering meniadakan Renata saat disibukkan oleh ambisinya. Pun begitu status Bryan sanggup menyilaukan mata Renata. Mampu menumpulkan hati Renata dari lelaki yang setia mendoakannya.

Sore itu Renata pulang ke rumah kontrakan mereka. Menemui Bey yang gembira melihat kedatangannya. Menemui Bey yang begitu bahagia dengan binar cinta di matanya. Sore itu, Renata datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Agar Bey berhenti menunggunya. Renata datang untuk membebaskan dirinya dari ikatan pernikahan.

“Kau mencintainya?”

Tak ada kemarahan dalam nada suara Bey. Hanya ada luka di matanya. Luka yang dalam. Luka yang tak membuat hati Renata bergeming dari keputusannya berpisah.

“Pergilah, Renata! Jika dengan bersamanya kau lebih bahagia. Doaku untuk kebahagiaanmu.”

“Bagaimana dengan kau?”

“Aku akan baik-baik saja. Aku akan terus menjalani hidupku seperti sebelumnya. Seperti saat kita masih bersama. Seperti saat kita memupuk mimpi berdua.”

“Jangan mengharapkanku kembali, Bey! Jangan menungguku!”

“Tidak, Renata! Mungkin kau tak lagi ada di sisiku. Tapi bukan berarti mimpiku untuk membahagiakanmu berakhir. Meski kau telah pergi dan tak mau kembali. Mimpiku tetap sama Renata. Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Aku akan terus menjalani hariku dengan memimpikan kebahagiaanmu. Meski kebahagiaanmu bukan bersamaku.”

Butiran bening meluncur turun dengan deras dari kedua kelopak Renata. Bahunya tersengal. Isaknya tumpah. Penyesalan menyesaki dadanya.

“Kau berbohong, Bey! Kau menipuku! Kau bilang kau akan hidup terus dengan memimpikanku. Kau bilang akan terus menjalani hidupmu dan mendoakan kebahagiaanku! Tapi mana buktinya? Mana Bey??”

Teriakan Renata menggema di puncak bukit karang. Isaknya terdengar di antara debur ombak. Penyesalannya menyesaki udara di sekitar batu besar. Membuat angin enggan datang. Membuat pohon bangkong terdiam. Membuat batu besar membeku di bawahnya. Seakan ikut merasakan penyesalan Renata. Seakan turut berduka dengan jalan kematian yang ditempuh Bey sepeninggalnya!

Seakan semesta tahu apa yang akan terjadi sesudahnya, awan hitam berarak mendekati puncak bukit karang. Perlahan suasana di dataran itu berubah menjadi muram.

Renata bergerak dari duduknya. Menghapus sisa air mata yang membasahi wajahnya. Melangkah pelan ke depan, menjauhi batu besar.

“Andai kau mau bersabar, Bey! Satu jam saja! Maka kau akan melihatku berlari pulang. Maka kau akan tahu hatiku berubah. Ya, Bey! Andai kau menepati janjimu untuk terus hidup.. Satu jam saja! Maka aku akan mendapatimu tersenyum bahagia menyambutku. Dan bukan justru menemukan banyak darah yang menyelimuti jasadmu!”

Renata menghentikan langkahnya. Bergidik ngeri sesaat. Menarik nafas panjang. Memejamkan mata dan bergumam pelan.

“Andai kau menepati janjimu untuk terus hidup.. maka kau akan tahu, Bey! Bahwa aku memutuskan pulang untuk bersamamu! Untuk menepati janji cinta kita. Untuk bersama selamanya..

“Hingga maut memisahkan!”

Dan masih dengan mata terpejam, Renata menjatuhkan dirinya ke bawah. Ke dalam jurang beralas debur ombak yang menggila. Tubuhnya melayang cepat dari atas puncak bukit karang yang cadas. Dari tempat Bey menghabiskan masa kecilnya dalam kesendirian. Dari tempat Bey  merajut mimpi-mimpinya. Dari puncak di mana batu besar dan pohon bangkong berada, tubuh Renata terus melayang ke bawah dengan cepat. Dan hilang di antara ombak yang pecah menghantam karang!

***

Goresan Cerita Rinzhara





Tidak ada komentar:

Posting Komentar