Tragedi


“Sepanjang hidup, aku dijejali ajaran agama. Setiap detik mereka mendidikku bagaimana menjadi sholehah. Bagaimana seharusnya aku berpakaian. Bagaimana yang baik dalam berkata-kata. Bagaimana cara yang benar dalam bertingkah sesuai akidah. Tak ada celah untuk berbuat menyimpang. Tak ada keinginan melanggar aturan Tuhan. Aku selalu berusaha keras menjadi umat yang taat.

“Dan aku mencintai kedua orang tua dan keluargaku sebagaimana Tuhan memerintahkan. Aku menjadi anak yang penurut dan patuh. Berusaha tak menyusahkan mereka. Tak pernah membantah perkataan mereka. Menuruti dan mendengarkan semua aturan mereka. Bahkan aku tak memiliki mimpiku sendiri. Merekalah yang merancang mimpi-mimpi di setiap tidurku. Mereka yang menentukan apa yang baik dan yang buruk untukku. Di mana aku menuntut ilmu. Kemana aku pergi. Bahkan dengan siapa aku bergaul.

“Sebelumnya, semua itu tak membebaniku. Sebelumnya aku bahkan tak merasa apapun selain rasa terimakasih atas perhatian mereka. Aku merasa nyaman dalam kepompongku. Aku merasa terlindungi dari kejahatan pria. Dari hitamnya dunia. Aku menjadi perempuan terhormat di bawah naungan ajaran agama.

“Dan aku bahagia!”

Untuk pertama kalinya perempuan di atas sofa itu bergerak. Mengusap pelan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan bicaranya.

“Jika kalian baru mengenalku sekarang, tentu saja tak akan percaya dengan semua yang aku ceritakan sebelumnya. Tapi begitulah adaku sebelumnya.

“Ya... sebelumnya! Sebelum semua peristiwa tragis itu merenggut dunia indahku. Sebelum para perampok itu mendobrak rumah kami. Sebelum....”

Perempuan itu tersengal. Kembali menutupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Menghapus seluruh bening yang menggumpal di sudut mata dengan kasar. Seolah tak ingin membiarkannya meluncur deras membasahi kulit putih mulus di bawahnya.

“Tak ada firasat apapun sebelumnya. Bahkan Tuhan, di mana kami memuji namaNya setiap detikpun tak memberi kami pertanda. Agar kami bersiap. Agar tragedi itu tak menghancurkan.

“Tidak! Dia seolah tak ada. Tak memberi kami peringatan. Dia! Dia yang setiap hari kami sembah dalam sujud-sujud kami. Dia yang menuntut kami memuji. Dia yang kami lafalkan namaNya dalam ketaatan. Seolah bisu dan tuli. Seolah tak perduli. Tak menyelamatkan kami.

“Dia menghilang dari sekitar kami. Dia menghindari teriakan minta tolong kami. Meski kami umat yang taat. Meski kami menghindari apa yang Dia tak suka. Meski kami selalu memuji namaNya.”

Butiran air mata di kelopak mata perempuan itu meluncur keluar. Membanjiri wajahnya. 
Membuatnya tersengal oleh isak.

“Tidakkah Tuhan mengerti? Bahwa kami umatNya yang taat. Yang selalu percaya pertolonganNya. Yang menyerahkan seluruh hidup kami untuk mengabdi padaNya? Bahwa ketaatan kami tak pantas dibalas dengan tragedi yang menghancurkan iman. Tak pantas mendapatkan tragedi yang memuakkan.

“Bukankah Dia sendiri yang berjanji pada umatNya, tak akan memberi cobaan yang melebihi kemampuan? Bukankah Dia yang menjanjikan berkah dan kenikmatan di dunia dan di akhirat jika umatNya taat?

“Lantas kenapa Dia memberikan ujian berat yang akhirnya mengikis iman? Kenapa Dia tak tahu bahwa cobaan itu melewati batas ketahanan? Bukankah Dia yang Maha Tahu? Bukankah Dia yang Maha Merencanakan? Bukankah Dia yang menulis setiap garis kehidupan di dunia?

“Kenapa Dia menimpakan semua tragedi itu pada kami? Sedang Dia Maha Tahu bahwa kami tak kuat menanggungnya? Bahwa karena tragedi itu iman kami jadi hilang?

“Ataukah itu memang yang Dia inginkan? Ataukah Dia memang tak menginginkan kami sebagai umatNya?

”Kenapa Dia menghukum kami begitu kejam? Kenapa? Kenapa Dia ingkar janji? Kenapa Dia tak punya kasih? Kenapa Dia begitu keji?”

Perempuan itu tersengal hebat. Bahunya berguncang hingga rambut panjangnya bergerai menutupi wajah.

Untuk sesaat ruangan itu sepi tak bernada. Hanya sesekali isak tertahan. Dan detak jarum jam dinding di belakang sofa tempat perempuan itu berada.

“Perampok itu tak hanya mengambil semua harta kami. Tak hanya membumihanguskan rumah kami. Tak hanya membuatku kehilangan saudara dan orang tua.

“Mereka juga tak hanya memaksa kami menonton tubuh ayah kami disembelih. Tak hanya menikmati setiap jerit histeris kami.

“Perampok itu bahkan memaksa ayah dan saudara lelaki kami menggagahi darah dagingnya sendiri. Perampok itu bahkan memaksa ayah dan saudara lelaki kami melihat saat mereka memperlakukan para perempuan selayaknya anjing murahan.

“Berpesta pora menelanjangi kami. Bergembira menendang kami dan menjambak kami agar merangkak ke arah kelelakian mereka. Tertawa terbahak untuk setiap permohonan ampunan kami agar dilepaskan.

“Mereka anjing-anjing keparat. Anjing-anjing yang dibiarkan Tuhan menyiksa kami hingga tak berdaya.

“Dan di mana Tuhan saat semua itu terjadi pada kami? Kemana Tuhan saat kami berteriak histeris memanggil namaNya? Kemana Dia? Kemana?

“Kenapa Dia merencanakan tragedi ini bagi keluarga kami yang taat? Kenapa Dia menghancurkan hambaNya yang begitu sholeh dan sholehah? kenapa Dia menggariskan takdir menghancurkan? Kenapa Dia begitu jahat justru pada kami yang taat pada setiap ajaranNya?"

Perempuan itu menghapus seluruh air mata yang membasahi wajah dengan kasar. Kilat kebencian tampak jelas di kedua matanya yang basah.

“Hanya satu yang kumengerti setelah semua tragedi itu melepaskanku dari kematian. Tuhan itu tak pernah ada. Tuhan hanya karangan orang-orang pengecut yang selalu ketakutan pada hidup.

“Dan sejak saat itulah aku berbalik arah. Tragedi itu membuat kebencianku berkobar. Tragedi itu mengikis habis iman. Jika Tuhan tak memperdulikan teriakan tolong umat yang taat, maka aku akan melakukan setiap hal yang Dia tak suka. Jika dia memalingkan wajah dari kami, maka aku akan membuat Dia menjadi pembenci.

“Sejak saat itulah aku menghapus setiap ajaran yang ditanamkan di benakku. Menjalani setiap hal yang dilarang oleh Tuhan. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari setiap hal yang dilarangNya.

“Aku harus kaya. Aku harus banyak uang. Karena uanglah yang akan memuluskan rencanaku membalas dendam padaNya.

“Membalas dendam untuk setiap tetes air mata. Membalas dendam untuk setiap lafal pujian yang kurapalkan di tahun-tahun sebelumnya.

“Aku membencinya. Ya! Aku membenci Tuhan di setiap pori-pori tubuhku. Di setiap detak jantungku. Di setiap hembus nafasku. Aku begitu membenciNya hingga tak rela jika ada orang yang memujiNya. Aku merusak setiap umatnya yang taat. Aku menggoda setiap iman yang menyeru namaNya. Aku memakinya dengan kata-kata kasar. Aku terbahak saat orang melecehkanNya. Aku bersorak saat umatNya melakukan kesalahan. Dan mengolok-olok namaNya begitu rupa. Tertawa, gembira , puaasss....

“Dan bahagia! Aku bahagia dan begitu menikmati hidupku setelahnya. Sampai sekarang!”

Hening kembali memenuhi ruangan. Perempuan itu meraih gelas air putih yang ada di  meja kecil samping kirinya. Meneguk hingga tersisa setengah. Menarik nafas sebelum meletakkan dan melanjutkan kembali kata-katanya.

“Semua tujuanku sudah tercapai. Hidupku setelah tragedi itu hanya untuk membalas dendam padaNya. Dan semuanya sudah terlaksana. Aku menjalani hidup dengan menentang setiap ajaranNya.

“Saat ini, tinggal satu hal yang sangat dibenciNya, yang belum kulakukan.

“Kematian!

“Ya! Dia membenci kematian tanpa campur tanganNya. Dia membenci tindakan bunuh diri.

“Dan inilah yang sedang kulakukan. Sebagai balas dendamku yang terakhir padaNya.

“Gelas itu berisi campuran arsenik.”

Kepala perempuan itu bergerak menunjuk gelas di samping kirinya.

“Tak ada yang bisa lolos dari kematian saat arsenik bekerja. Tak ada yang bisa menghindar. Bahkan Tuhan tak akan bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan. Aku akan mati. Mati bunuh diri! Kematian yang Dia benci.”

Perempuan itu tersenyum sinis.

“Dalam waktu satu jam nyawaku akan meninggalkan raga dengan penuh kepuasan. Dalam waktu satu jam dendamku tuntas berbalas!

“Dan saat kalian menemukan rekaman video ini, mungkin aku sudah di neraka. Atau mungkin jiwaku melayang di dunia karena Dia tak akan mengijinkanku mendekati tempatNya. Bukankah Dia yang maha angkuh? Yang maha pembenci? Yang maha pembalas dendam?

“Atau bisa jadi justru aku akan bereinkarnasi di masa depan. Bukankah itu yang orang-orang pintar katakan? Bukankah itu kata mereka yang tak percaya keberadaannya?

“Entahlah! Aku bahkan tak perduli apa yang terjadi setelah kematian. Yang terpenting dendamku terbalas. Dan di bulan yang Dia janjikan penuh hikmat ini aku melakukan hal yang paling dibenciNya.

“Hahahaaa....”

Wajah perempuan itu begitu tenang. Rasa puas tergambar jelas di wajahnya. Dengan santai Dia kembali mengambil gelas di samping kirinya. Meneguk penuh kenikmatan setiap tetes air di dalam gelas.

Detik dan menit berlalu. Tak ada suara kecuali detak jarum jam. Lampu hijau kecil alat perekam itu masih menyala.

Samar-samat terdengar adzan di kejauhan. Perempuan itu mengerjap. Tangannya yang menggenggam gelas tiba-tiba gemetar.

Suara adzan semakin jelas terdengar. Tubuh perempuan itu kini menggigil pelan. Wajahnya pucat bagai kapas. Tangannya mencengkeram gelas hingga buku-buku jarinya pias. Matanya kelam menatap ke depan.

Adzan itu semakin keras terdengar. Tubuh perempuan itu semakin menggigil keras. Hingga sesekali terguncang.

Tanpa sadar mulutnya melafalkan adzan dengan begitu lincah.

“Allahu akbar... Allahu akbar...

“Laa ilaaha illallah.... Laa ilaaha illallah....”

Terus berguman dengan telapak mencengkeram gelas. Dengan wajah pias. Dengan tubuh menggigil hebat. Sampai adzan berhenti terdengar. Dan perempuan itu terus menyebut namanya.

“Allahu akbar... Allahu akbar...

“Laa ilaaha illallah.... Laa ilaaha illallah....”

Terus menyebut namanya. Hingga gigil di tubuhnya sedikit mereda.

“Allahu akbar... Allahu akbar... Laa ilaaha illallah... Laa ilaaha illallah....

Dan beristigfar.

"Astaghfirullah hal adzim... Astaghfirullah hal adzim...."

Terus beristigfar dengan tangan masih mencengkeram gelas.

Hingga tiba-tiba tubuhnya tersentak. Tapi mulutnya terus melafalkan istighfar. Dan lantunan syahadatpun terlontar dari mulutnya.

“ASY-HADU ANLAA ILAAHA ILLALLAHU WA ASY - HADU ANNA MUHAMMADARRASUULALLAH....”

Terus bersyahadat hingga berulang. Terus beristighfar. Terus melafalkan namanya. Dengan air mata yang membanjiri mata. Dengan isak yang keras. Terus bergumam memuja namaNya.

Dan berhenti saat tiba-tiba tubuhnya tersentak hebat. Dengan cepat kedua telapak tangannya mencengkeram mulutnya. Mencoba menutup mulutnya erat. Gelas ditangannya meluncur terhempas dan berkeping di atas lantai. Disusul dengan berbagai warna cairan yang meluncur deras dari mulutnya. Seluruh isi perutnya terkuras keluar.  Mengotori wajahnya. Menodai bajunya. Membanjir diantara beling.

Hingga pada akhirnya perempuan itu terkapar lemas dengan nafas terengah. Dengan tubuh gemetar. Dengan wajah yang masih pias. Tapi dengan senyum penuh kedamaian.

***

Goresan cerita Rinzhara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar