Bab
2
“Kenapa
dia belum juga menghubungiku, sayang?” Tanya Rasha di meja makan.
Pagi
itu genap sepekan waktu berlalu dari janji Laras untuk menghubungi dan memberi
jawab. Elang menatap istri tercintanya sejenak. Dan kembali asik dengan sarapan
di depannya.
“Mungkin
langkahmu memberinya waktu dengan tidak mengunjunginya justru salah, sayang.
Seharusnya kau terus memberinya perhatian, menggoyahkan keputusannya dan
menunjukkan rasa kasihmu yang diinginkannya.”
“Dia
yang meminta. Dan kupikir dia berhak sendiri untuk mempertimbangkannya.”
“Ahh..
kenapa justru kau memberi ruang baginya untuk menolak? Kita tak ingin ini
gagal!”
Elang
meletakkan sendok dan garpu dalam genggaman. Menyesap air putih dari gelas
dengan pelan dan menatap Rasha dalam diam.
Rasha
menatap suaminya dengan kesal. Wajahnya tergurat kekesalan, bibirnya yang tipis
mengerucut menahan jengkel dan kecewa.
“Kau
harus mendatanginya sekarang! Beri dia cukup perhatian dan cinta. Buat dia
merasakan kembali bahwa kaulah yang diinginkannya. Aku tak ingin gagal!”
Suaminya
mendesah dan kembali pada garpu dan sendok di tangan. Kembali sibuk dengan
sarapannya dan bergumam hati-hati agar tak menyakiti perempuan yang
dicintainya.
“Terus
terang aku enggan. Tahukah kau sayang? Rencana kita menakutkan!”
“Apa
yang kau katakan?” Sambar Rasha cepat dengan emosi membuncah.
“Aku
takut cintaku padamu berkurang.”
“Bukankah
ini telah kita bahas sebelumnya? kau tak akan punya kesempatan untuk jatuh cinta! Karena aku ada diantara kalian.”
“Entahlah!
Aku hanya tak sanggup membayangkan, membagi rasaku pada perempuan kedua. Hatiku
berontak! Aku tak ingin mengkhianati cinta.”
“Aku
yang meminta. Aku yang mencarikannya! Kau tak berkhianat. Percayalah! Ini demi
kesempurnaan cinta kita.” Suara keras Rasha menggema dalam ruang.
Elang
tertunduk sibuk dengan sendok di tangan, mengaduk sarapan tanpa hendak
menyantap. Kegelisahan tampak jelas dalam wajahnya, penolakan itu tergambar
jelas dalam guratnya dan keengganannya meneruskan rencana membuat hati Rasha
bertalu ketakutan.
“Kehadiran
anak terasa tak penting untuk kita, sayang. Aku mencintaimu! Dan itu cukup
untuk kita.”
“Tidak!
Kerinduanku menimang bayi terus menghantui. Rumah terasa sepi saat kau sibuk
dengan hari-hari. Dan aku lelah terus bekerja tanpa ada seorangpun yang
menikmati hasil keringat!”
Elang
menatap Rasha penuh iba.
“Untuk
apa kita menimbun harta? Untuk apa kita peras keringat membangun bisnis hingga
besar? Untuk apa, sayang? Jika tak seorangpun yang akan mewarisinya? “
Air
mata mulai menggenangi kelopak Rasha.
“Kau
tak tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan tak sempurna. Kau tak tahu
bagaimana rasaku saat cinta tak bisa membuatmu bangga memiliki keturunan. Kau
tak tahu bagaimana rasaku tak bisa memberimu anak!”
Dan
tangis meledak. Rasha tergugu dalam isak. Elang tak berhasil menekan sesal
melihat air mata tertumpah dari sosok yang dipujanya.
“Aku
tak ingin menyakitimu. Tak ada seorang perempuanpun yang rela berbagi suami
dengan madu. Tak seorangpun! Dan aku tahu, kau menekan sakit itu demi
kebahagiaanku.”
Isak
Rasha mereda, dihapusnya pelan sisa air mata.
“Aku
mencintaimu! Melihatmu memiliki cinta yang utuh padaku lebih dari cukup. Aku
tak memerlukan anak di hidupku. Keberadaanmu telah melengkapi hari-hariku.”
“Tapi
aku menginginkannya. Aku rindu menjadi sosok ibu. Kedua tangan ini rindu
mendekap bayi dalam peluk. Hati ini menjerit setiap membuka pintu tak ada yang
menyambut. Aku rindu seseorang memanggil ibu padaku. Aku.. tidakkah kau ingin
membahagiakanku?”
Isak
kembali datang menyerbu. Bahu Rasha menggigil oleh sedu. Elang mendesah pilu.
“Tidakkah
adopsi lebih baik untuk kita sayang? Kau tak perlu menekan sakit di dada, kau
tak perlu menghapus air mata diam-diam. Dan aku tak perlu membagi cinta. Tak
perlu khawatir suatu saat cintaku berkurang.”
“Aku
ingin ada garismu diwajahnya. Aku ingin darah lelaki tercinta mengalir di
setiap denyut nadinya. Keberadaanmu membuatku merasa anak itu lahir dari
rahimku, sayang. Akan berbeda jika kita mengadopsinya.”
Elang
kembali mendesah untuk melegakan sesal yang menggumpal.
“Jika
niatmu telah kuat, ijinkan aku memohon maaf untuk masa yang akan datang.
Ingatkan aku jika cintaku berkurang. Ingatkan aku jika berubah. Dan maafkan aku
dari sekarang.”
Rasha
tersenyum lega melihat Elang kembali menerima rencananya. Tak ada keraguan
baginya. Tak ada yang menakutkannya. Memiliki anak lebih dari segalanya
sekarang. Bahkan cinta Elang tak lagi menjadi yang utama bagi hidupnya di masa
depan.
***
Dia
lelaki biasa! Lelaki kebanyakan yang mudah tergoda. Menjadi sulit baginya saat
waktu berlalu mendekatkan dirinya dan Laras. menjadi sulit baginya untuk
berpura-pura. Dan dia menyadarinya saat rasa itu perlahan tumbuh dan
berkembang. Dia sadar saat cintanya mulai terbagi pada Laras. dan dia
ketakutan!
Bersambung..
by Rinzhara
Bersambung..
by Rinzhara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar