Skenario Cinta - bagian 7

Cerita Sebelumnya..





Bab 2
 



“Kenapa dia belum juga menghubungiku, sayang?” Tanya Rasha di meja makan.

Pagi itu genap sepekan waktu berlalu dari janji Laras untuk menghubungi dan memberi jawab. Elang menatap istri tercintanya sejenak. Dan kembali asik dengan sarapan di depannya.

“Mungkin langkahmu memberinya waktu dengan tidak mengunjunginya justru salah, sayang. Seharusnya kau terus memberinya perhatian, menggoyahkan keputusannya dan menunjukkan rasa kasihmu yang diinginkannya.”

“Dia yang meminta. Dan kupikir dia berhak sendiri untuk mempertimbangkannya.”

“Ahh.. kenapa justru kau memberi ruang baginya untuk menolak? Kita tak ingin ini gagal!”

Elang meletakkan sendok dan garpu dalam genggaman. Menyesap air putih dari gelas dengan pelan dan menatap Rasha dalam diam.

Rasha menatap suaminya dengan kesal. Wajahnya tergurat kekesalan, bibirnya yang tipis mengerucut menahan jengkel dan kecewa.

“Kau harus mendatanginya sekarang! Beri dia cukup perhatian dan cinta. Buat dia merasakan kembali bahwa kaulah yang diinginkannya. Aku tak ingin gagal!”

Suaminya mendesah dan kembali pada garpu dan sendok di tangan. Kembali sibuk dengan sarapannya dan bergumam hati-hati agar tak menyakiti perempuan yang dicintainya.

“Terus terang aku enggan. Tahukah kau sayang? Rencana kita menakutkan!”

“Apa yang kau katakan?” Sambar Rasha cepat dengan emosi membuncah.

“Aku takut cintaku padamu berkurang.”

“Bukankah ini telah kita bahas sebelumnya? kau tak akan punya kesempatan untuk jatuh cinta! Karena aku ada diantara kalian.”

“Entahlah! Aku hanya tak sanggup membayangkan, membagi rasaku pada perempuan kedua. Hatiku berontak! Aku tak ingin mengkhianati cinta.”

“Aku yang meminta. Aku yang mencarikannya! Kau tak berkhianat. Percayalah! Ini demi kesempurnaan cinta kita.” Suara keras Rasha menggema dalam ruang.

Elang tertunduk sibuk dengan sendok di tangan, mengaduk sarapan tanpa hendak menyantap. Kegelisahan tampak jelas dalam wajahnya, penolakan itu tergambar jelas dalam guratnya dan keengganannya meneruskan rencana membuat hati Rasha bertalu ketakutan.

“Kehadiran anak terasa tak penting untuk kita, sayang. Aku mencintaimu! Dan itu cukup untuk kita.”

“Tidak! Kerinduanku menimang bayi terus menghantui. Rumah terasa sepi saat kau sibuk dengan hari-hari. Dan aku lelah terus bekerja tanpa ada seorangpun yang menikmati hasil keringat!”

Elang menatap Rasha penuh iba.

“Untuk apa kita menimbun harta? Untuk apa kita peras keringat membangun bisnis hingga besar? Untuk apa, sayang? Jika tak seorangpun yang akan mewarisinya? “

Air mata mulai menggenangi kelopak Rasha.

“Kau tak tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan tak sempurna. Kau tak tahu bagaimana rasaku saat cinta tak bisa membuatmu bangga memiliki keturunan. Kau tak tahu bagaimana rasaku tak bisa memberimu anak!”

Dan tangis meledak. Rasha tergugu dalam isak. Elang tak berhasil menekan sesal melihat air mata tertumpah dari sosok yang dipujanya.

“Aku tak ingin menyakitimu. Tak ada seorang perempuanpun yang rela berbagi suami dengan madu. Tak seorangpun! Dan aku tahu, kau menekan sakit itu demi kebahagiaanku.”

Isak Rasha mereda, dihapusnya pelan sisa air mata.

“Aku mencintaimu! Melihatmu memiliki cinta yang utuh padaku lebih dari cukup. Aku tak memerlukan anak di hidupku. Keberadaanmu telah melengkapi hari-hariku.”

“Tapi aku menginginkannya. Aku rindu menjadi sosok ibu. Kedua tangan ini rindu mendekap bayi dalam peluk. Hati ini menjerit setiap membuka pintu tak ada yang menyambut. Aku rindu seseorang memanggil ibu padaku. Aku.. tidakkah kau ingin membahagiakanku?”

Isak kembali datang menyerbu. Bahu Rasha menggigil oleh sedu. Elang mendesah pilu.

“Tidakkah adopsi lebih baik untuk kita sayang? Kau tak perlu menekan sakit di dada, kau tak perlu menghapus air mata diam-diam. Dan aku tak perlu membagi cinta. Tak perlu khawatir suatu saat cintaku berkurang.”

“Aku ingin ada garismu diwajahnya. Aku ingin darah lelaki tercinta mengalir di setiap denyut nadinya. Keberadaanmu membuatku merasa anak itu lahir dari rahimku, sayang. Akan berbeda jika kita mengadopsinya.”

Elang kembali mendesah untuk melegakan sesal yang menggumpal.

“Jika niatmu telah kuat, ijinkan aku memohon maaf untuk masa yang akan datang. Ingatkan aku jika cintaku berkurang. Ingatkan aku jika berubah. Dan maafkan aku dari sekarang.”

Rasha tersenyum lega melihat Elang kembali menerima rencananya. Tak ada keraguan baginya. Tak ada yang menakutkannya. Memiliki anak lebih dari segalanya sekarang. Bahkan cinta Elang tak lagi menjadi yang utama bagi hidupnya di masa depan.

***
Dia lelaki biasa! Lelaki kebanyakan yang mudah tergoda. Menjadi sulit baginya saat waktu berlalu mendekatkan dirinya dan Laras. menjadi sulit baginya untuk berpura-pura. Dan dia menyadarinya saat rasa itu perlahan tumbuh dan berkembang. Dia sadar saat cintanya mulai terbagi pada Laras. dan dia ketakutan!

Bersambung..
by Rinzhara
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar