Terkikis Kelam - Bagian 1



Bagian 1 : Perempuan Di Bukit Karang


Sosok perempuan itu berdiri diam di atas batuan karang yang menjorok lebih tinggi dari dataran sekitarnya. Matanya nanar menembus kegelapan. Seolah ingin menerobos gumpalan kelam di depannya, seolah ingin tahu adakah sinar di ujungnya dan seolah ingin mencari jawab dalam kegelapan yang akrab dengan hari-harinya belakangan.
Rambut panjangnya berkibar oleh sepoi angin malam yang bertiup kencang. Sepoi yang menyisakan gigil di tubuh ringkihnya. Yang tak juga membuatnya beranjak dan mencari tempat yang lebih hangat. Perempuan itu terlalu terpaku pada kelam di depannya. Terlalu sibuk dengan relungnya yang mengembara. Memutar kisah. Merangkai kembali cerita. Dan menyisakan lara yang kembali menghempaskannya dalam isak.
“untuk apa kau datang?” Masih terasa betapa pedasnya kata-kata lelakinya siang tadi saat melihatnya melangkah pelan memasuki halaman rumah.
Saat itu dia hanya mampu terdiam. Menghentikan langkah tepat dibawah tangga serambi depan. Dan menatap lelaki didepannya dengan tatapan kosong tanpa rasa.
Tanpa rasa! Entah kemana perginya semua rasa yang pernah bersemayam. Bahkan rasa iba itu menguap dari hatinya. Hampa! Hanya itu yang dirasakannya.
“pergi! Jangan kotori rumahku dengan daki yang melekatimu! Pergi pelacur!” Teriakan lelaki itu masih terasa memekakkan telinga. Masih diingatnya beberapa kepala di rumah sebelah bermunculan sesaat kemudian. Membuat hatinya bergetar. Bukan oleh rasa takut melihat merahnya mata lelakinya karena amarah. Bukan karena malu menjadi tontonan warga. Tapi lebih pada kata-kata hinaan yang dilontarkan lelakinya.
Tidakkah lelaki itu ingat semua kisah yang membawa langkahnya terperosok ke lembah nista? Tidakkah lelaki itu ingat bahwa dia sanggup melakukannya hanya demi sepotong cinta? Cinta yang ternyata tak pantas mendapatkan pengorbanannya. Cinta yang ternyata sama sekali tak berharga. Cinta murahan! Cinta yang bisa terbeli oleh rupiah!
“tak perlu menghinaku. Aku datang untuk ayahmu.”
“jauhi ayahku! Pelacur murahan seperti kau tak pantas bertemu ayahku.”
Perempuan itu mendesah keras. Kata-kata tajam lelaki itu terus terngiang di telinganya. Menggoyahkan ketenangannya. Membuat tubuh mungil itu bergetar pelan. Dirapatkannya kain usang yang membungkus bahunya. Berusaha mengusir gigil yang tak juga hilang. Mencoba mencari kehangatan dari selembar kain tipis usang. Yang sesaat kemudian kembali menjuntai jatuh dari bahunya.
“kenapa membenciku?”
“karena kau pelacur busuk! Tak pantas menginjak lantai rumahku.”
“berhenti mengataiku pelacur! Bahkan pelacur masih lebih berharga dari seorang lelaki yang menjual cintanya demi kemewahan.”
Gigil di tubuh perempuan itu semakin keras. Ingatan akan hinaan lelaki itu kembali mengobarkan amarahnya. Membangkitkan kebencian yang telah lama mengendap. Membangunkan ingatan akan semua luka yang pernah tertoreh karenanya.
“hahahaa..setidaknya aku bergelimang harta! Dan apa yang kau dapatkan? Bahkan harga tubuhmu tak cukup untuk kau makan. Lihat dirimu! Bahkan sekeping uangpun tak sanggup kau kumpulkan.”
“setidaknya aku tak pernah dicampakkan bagai anjing yang terkena kurap.” Desis kata-kata tajamnya terlontar begitu saja. Masih diingatnya merah mata lelaki itu saat menatapnya. Masih jelas dalam ingatan bagaimana kemarahan lelaki itu seketika berkobar. Yang diledakkannya dalam rentetan kata-kata yang menyayat. Membuat luka kembali tergores dan merembeskan darah.
“pelacur murahan! Jadi kau lakukan semua itu karena dendam? Kau sengaja menjebakku! Perempuan rendahan! Kau penipu! Kubunuh kau! Kubunuh kau!..”
Dan tubuh tinggi besar itu menerkamnya. Menyerangnya dalam sekali lompatan. Tak memberi kesempatan baginya untuk menghindar. Tak ada yang bisa dilakukannya. Selain menerima pukulan demi pukulan yang menyakitinya. Selain mencoba sekuat tenaga menghindarkan wajahnya dari luka yang hendak digoreskan. Tak mampu melawan. Bahkan teriakannyapun tak terdengar. Rasa sakit itu terlalu pedih terasa. Luka itu terlalu dalam. Hingga gelap mulai menyerbunya. Membuatnya tak mampu melihat. Membuatnya sesaat hilang sadar. Tak tahu berapa banyak luka yang tergores diatas tubuhnya. Tak tahu apa yang terjadi setelahnya.
Dengan gerakan pelan, perempuan itu mengangkat tangan kanannya. Mengusap lebam di sudut bibirnya sekilas. Merapatkan kembali kain usang yang menyelimuti bahunya. Mencoba kembali mengusir gigil yang tak mau hilang. Berusaha menghalau bayangan yang mengerikan. Dan mendesahkan sesak di dada dalam sekali helaan nafas.
***
“dari siang dia tak pulang.”
Karjo terduduk diam di serambi depan rumah. Mendengarkan ibu tarti yang terus menceritakan kegundahannya. Merasakan keresahan perempuan paruh baya itu yang tampak nyata. Yang menularinya perlahan. Membuat dadanya berdegup kencang. Melantunkah kekhawatiran akan keberadaan perempuan yang beberapa hari terakhir ini membuat hatinya gundah.
“kami hanya mendengar kabar itu dari lik parman. Tapi sudah terlambat. Tarti tak pulang ke rumah. Kami tak tahu seberapa dalam lukanya. Kami tak tahu apa yang terjadi padanya.”
Perempuan paruh baya itu sesenggukan. Mengusap matanya yang telah mengeriput oleh usia dan penderitaan.
“kami sudah mencarinya. Bahkan lik parman dan anak-anaknya juga ikut mencarinya. Tapi..”
Karjo tak tahu bagaimana harus menenangkan kegundahan perempuan di depannya. Dia sendiri sibuk menenangkan keresahannya. Menenangkan dadanya yang diserbu banyak tanya. Menenangkan hatinya yang mulai berprasangka.
Apa yang mungkin dilakukan tarti setelah kejadian tadi siang? Mungkinkah dia berlaku nekad dengan hidupnya? Karjo menggelengkan kepalanya untuk mengusir segala prasangka dan tanya.
“apakah kalian sudah menghubungi darmi?”
Perempuan paruh baya itu menghentikan isaknya. Menatap karjo dengan kerutan di dahinya. Dan sekejap kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Karjo terkesiap. Tak mengerti dampak dari pertanyaan yang terlontar.
“tidak ada!” Seru ibu tarti sambil melangkah kembali ke serambi depan. Mengejutkan karjo yang masih terdiam oleh berbagai tanya.
“apa yang tidak ada?”
“uang itu! Uang yang dibawanya dari kota. Uang yang selama ini tersimpan dalam laci meja. Tidak ada!”
Karjo masih ternganga tak mengerti maksud kata-kata perempuan di depannya.
“bagaimana cara menghubungi darmi?” Tanya ibu tarti tanpa memberi kesempatan pada karjo untuk bertanya.
“saya bisa menelphonnya.”
“tanyakan apakah tarti disana!”
“jikapun kesana, tentu saat ini tarti masih dalam perjalanan. Saya akan menyuruh darmi memberi kabar jika besok tarti datang.”
Pancaran kelegaan itu tampak jelas dalam raut wajah perempuan paruh baya di depannya. Pancaran kelegaan yang juga tampak di wajahnya saat melangkah pelan meninggalkan beranda rumah. Meninggalkan perempuan paruh baya itu dengan janji akan memberi kabar. Melangkah pelan dengan relung yang dipenuhi oleh kisah tarti yang di dengarnya dari warga desa.
Tarti! Bisik karjo dalam gelapnya malam. Siapa yang menyangka jika gadis itu akan mengalami kepahitan dalam hidupnya? Siapa yang menyangka perempuan mungil itu bahkan berhasil melalui segala penderitaan yang menimpanya? Ah ya! Siapa yang menyangka keceriaan perempuan itu tak lagi ada setelah dia kembali ke desa?
Berapa tahun dia meninggalkan desa? Dua tahun! Hanya dua tahun! Dan hidup perempuan muda itu berputar cepat. Membuatnya ternganga saat berita-berita itu terdengar. Membuatnya mencari tahu lebih banyak. Dan terhenyak saat kenyataan itu terpampang di depan matanya.
Tarti! Perempuan yang selalu berhasil membuat hatinya bergetar. Membuatnya tak sanggup berkata-kata jika di depannya. Dan perempuan itu pulalah yang membuatnya berlalu meninggalkan desa. Melarikan dirinya sejauh-jauhnya dari kenyataan menyakitkan yang selalu terpampang di depannya. Membuang perasaan sakitnya melihat kemesraan gadis itu dengan pemuda yang dicintainya. Dan meneriakkan kepedihannya dalam luasnya samudra. Dengan berlayar dan terus berlayar mengarungi samudra. Melarikan diri kisah cinta yang kandas.
Kisah cinta di masa muda! Senyum kecil tersungging di bibir karjo dalam langkahnya menembus kegelapan malam.
Kata orang, cinta masa muda hanyalah cinta monyet yang hanya sementara bersemayam. Yang akan terkikis oleh waktu yang berputar. Yang akan menguap seiring datangnya banyak kisah yang menggantikannya. Dan hanya akan menjadi kenangan manis saat tua.
Entah sudah berapa putaran detik waktu yang dilaluinya. Entah sudah berapa kisah yang pernah hadir dalam penggalan hidupnya. Atau memang cinta masa mudanya yang berbeda. Hingga dia selalu kembali ke desa dengan sebuah harapan. Tarti akan tersenyum menyambut uluran perasaannya.
Karjo menendang batu kecil yang menghalangi langkah. Menatap kosong batu yang bergulir menjauhinya. Meneruskan langkahnya dengan putaran kisah yang tak mau pergi dari relungnya.
Kekecewaan! Selalu itu yang didapatnya saat kembali singgah sementara kedesa. Tarti terlalu asik dengan hidupnya. Dengan keceriaannya. Dengan kesibukannya menjalin kisah dimana karjo tak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagian didalamnya. Dan akhirnya dia hanya mampu kembali membuang kekecewaannya dalam luasnya samudra yang tak berbatas. Perlahan mencoba mengikis harapannya untuk bisa mendapatkan tarti sebagai belahan jiwanya.
Tarti telah menemukan pasangan jiwanya. Meletakkan seluruh hatinya pada seorang lelaki pecundang. Lelaki yang hanya memanfaatkannya untuk mereguk setiap kenikmatan yang dipunya. Mencampakkannya setelah manis tak bersisa. Hingga tarti tak mampu lagi berpikir cerdas. Mengorbankan dirinya untuk meraih kembali cinta yang dikira terenggut karena keadaan. Menjalani hidup penuh penderitaan demi cinta yang tak berharga. Dan terpuruk begitu dalam saat kenyataan terpampang di depannya. Menghempaskan gadis itu di sebuah rumah sakit jiwa. Menghayati penderitaannya. Menikmati keterpurukannya dan terdiam begitu lama dalam alam yang tak dapat dimasuki siapapun juga.
Karjo mendesah dalam langkahnya. Kenangan itu kembali berputar. Ingatan akan reaksinya saat mendengar tarti pergi ke kota untuk mengikuti langkah darmi yang berkecimpung di bisnis syahwat. Kabar itu meresahkannya. Membuatnya tak menunda waktu untuk terbang ke kota. Menemui darmi di rumah kumuhnya. Bertanya dan mendesak darmi dengan rentetan kata-kata pedas.
“jadi dimana dia sekarang?” Rasa tak sabar itu tampak jelas dalam suaranya saat itu. Saat darmi tak langsung menjawab pertanyaannya. Dan terus berputar-putar menceritakan semua kepedihan yang sudah di dengarnya.
Bukan karena dia tak perduli akan kisah sedih yang menimpa tarti. Tapi lebih karena dia tak lagi memiliki kesabaran untuk segera menjumpai perempuan idaman. Membawanya pulang dan menyelamatkan apa yang tersisa.
“siapa yang sanggup menanggung semua kesedihan seperti yang dialaminya? Siapa yang sanggup menanggung semua lara? Setelah semua pengorbanannya. Setelah semua kepedihan yang dilaluinya. Lelaki itu benar-benar tak tahu diri! Dia tak tahu betapa tarti menderita menjalani kehidupannya sebagai perempuan bayaran.”
“dimana tarti? Dimana aku bisa menemuinya? Aku ingin membawanya pulang.”
“dia tak pernah kembali kesini.”
Gelegak kemarahan itu mendatanginya tanpa mampu dicegah. Dia menatap darmi dengan kebencian yang tak ditutupinya. Mendesak darmi untuk mengatakan kebenaran. Menyangka darmi menyembunyikan gadis idaman. Mengira darmi menipunya karena tak mau kehilangan seseorang yang bisa mendatangkan keping-keping rupiah ke kantongnya. Hingga diserbunya darmi dengan rentetan tanya. Dengan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Yang disesalinya kemudian. Saat dengan pelan darmi menjelaskan semuanya.
“kasihan tarti. Kepedihan yang datang beruntun membuat jiwanya goyah. Dia memendam semua dukanya sendirian. Dalam keterdiaman yang panjang. Yang membuat kedua orang tuanya membawa tarti ke rumah sakit jiwa.”
Dan dia terperangah. Masih jelas dalam ingatannya, bagaimana mulutnya ternganga untuk waktu yang lama. Membuatnya menyerang darmi dengan rentetan kata-kata yang lebih pedas. Menuduh darmi dengan kalimat yang menyayat. Dan terdiam kelu saat darmi membawanya ke sebuah bangunan tua di pinggir kota.
Dimana dia hanya mampu berdiri diam dengan dada sesak. Dengan tatapan penuh sesal pada sosok perempuan yang dulu begitu ceria. Yang berubah menjadi patung hidup dan tak mengenali siapapun orang didepannya. Dan yang begitu asik dengan dunia yang tak tertembus olehnya.
Perempuan muda itu hanya terduduk diam tak bergerak di sudut taman rumah sakit jiwa. Diam! Tak seperti pasien yang lainnya yang bertingkah bermacam rupa. Hanya diam. Hingga saat itu dia tak berani mendekat. Tak berani menyapa perempuan yang dikenalnya begitu dekat di masa sebelumnya. Tak berani menampakkan kehadirannya. Dia hanya sanggup menatap dari kejauhan. Dengan iba memenuhi rongga dadanya. Dengan sesak oleh berbagai rasa.
Hingga dia kemudian berlalu untuk meneruskan petualangannya membelah samudra. Berlayar dan berlayar ke berbagai negara. Mengumpulkan keping-keping rupiah untuk mengubah nasib yang membelenggu keluarganya. Melarikan dirinya dari kisah cinta yang terhempas.
Ahh.. Kenapa cinta tak bisa memilih sendiri tempat yang tepat? Tempat yang mampu membalas rasa dengan cinta yang sama. Yang mampu memberi kebahagiaan tanpa air mata!
Ahh andai tarti mau sedikit saja mengalihkan rasanya, tentu saat ini hanya kebahagiaan yang akan mewarnai hidupnya. Dia tak kan membiarkan gadis itu terluka. Tak akan memberikan air mata. Hanya senyum dan tawa. Hanya kebahagiaan!
Ahh..andai saja semesta berpihak..
Masihkah ada kesempatan baginya? Masihkah dia bisa membuat gadis tercinta bahagia? Masihkah waktu menyisakan satu asa?
Entahlah!
***
Bersambung Bagian 2


Goresan Cerita Rinzhara
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar