Lorong!





Lorong gelap di depannya tampak bercabang. Tanpa ragu dia menyusupkan tubuhnya ke celah sempit yang ada di cabang sebelah kanan. Merundukkan badannya hingga mampu melalui lubang sempit di depannya. Dan melangkah bergegas saat lorong itu membesar disebaliknya.

Tak ada lagi keingintahuan yang meletup-letup di relungnya. Tak ada lagi hasrat menggebu menikmati petualangan seperti saat pertama. Dia hanya bergerak gesit dan lincah. Berusaha secepatnya sampai ke tujuan. Meletakkan keempat benda yang tersimpan di dalam ranselnya. Dan kembali menyusuri lorong gelap itu secepat yang dia bisa. Memasuki cabang-cabang yang ditemuinya. Meletakkan keempat barang bawaannya. Dan kembali menyusuri lorong gelap itu hingga seluruh isi ranselnya tak bersisa. Terus berulang. Dan harus cepat. Sebelum mentari merekah.

Sebelum orang-orang itu bangun dari mimpi lelapnya.

***

Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 7 lebih 10 menit saat dia terbangun dengan badan lemas oleh suara-suara ribut di luaran. Dengan malas dia bangkit dari ranjang. Melangkah ke arah kamar mandi di sebelah kanan ranjangnya. Tak dihiraukannya teriakan-teriakan yang memanggil namanya. Dia justru berdendang pelan sambil melepas t-shirt yang melekat di badannya. Mengguyur badannya. Merasakan segarnya air dingin yang jatuh ke kulit tubuhnya. Mengusir kantuk dan penat oleh kerja kerasnya semalam.

***

Kehebohan di komplek perumahan Griya Indah itu berlanjut sampai siang. Warga masih berkerumun di depan rumah Ishack. Sesekali masih terdengar teriakan memanggil namanya. Namun pagar rumah itu tetap tertutup rapat.

“Sudahlah. Mungkin dia sudah pergi dari semalam. Sebaiknya kita pergi menghadap Pak Harja.” Seorang bapak setengah baya dengan tampang bijak mencoba menghentikan teriakan dan umpatan warga.

“Iya. Kita harus tuntut pihak pengelola perumahan yang membiarkan penyusup menggerayangi rumah kita dengan bebas.”

“Komplek apaan ini? Apa kerja satpam-satpam itu? Bisa-bisanya mereka tak tahu ada maling masuk ke rumah warga. Bodoh!! Satpam bego semua!!”

Komentar dan argumen berhamburan. Bersahut-sahutan. Bergemuruh memenuhi udara. Riuh! Hingga mendatangkan lebih banyak warga. Memperdengarkan lebih banyak komentar. Opini kesoktahuan bertebaran. Spekulasi-spekulasi bermunculan. Mendatangkan caci maki dan hinaan. Menimbulkan kebencian. Meledakkannya dalam teriakan-teriakan histeris penuh dendam.

Hingga satpam-satpam berdatangan. Hingga kabar adanya penyusup itupun sampai ke telinga Pak Harja, pengelola perumahan Griya Indah.

***

“Prang!!”

Suara kaca pecah itu membangunkan Ishack dari tidur siangnya. Belum pulih kesadarannya saat teriakan-teriakan dari luar terdengar bersahutan.

“Oeeeyyyy...maling! Keluar kau!”

“Manusia tak beretika, jangan bersembunyi kau.”

“Pengecuuttt!! Tanggung jawab kau dengan perbuatanmu. Dasar pengecut busuk!”

Masih banyak lagi hujatan yang terdengar. Jika dalam posisi berbeda, dia tentu sudah keluar menghadapi orang-orang tak tahu diri itu. Jika dalam keadaan berbeda sudah dihabisinya warga di luar sana. Dia tak perduli berapa jumlah mereka. Pun jika perlawanannya hanya bentuk kekonyolan melawan puluhan orang bersenjata, tak akan membuat nyalinya ciut.

Dia tak pernah gentar dengan apapun. Dia bahkan tak pernah takut mati. Dia punya beribu keberanian saat merasa benar. Siapa dan berapapun jumlah lawan akan dihadapinya. Tak ada lagi yang menakutkan dalam hidupnya sekarang. Karena tak ada lagi orang terdekat yang akan menangisi kematiannya.

***

“Pengaruhi warga! Jangan biarkan warga mendengarkan ocehan bocah ingusan itu!”

“Baik, Pak Harja.”

“Pengaruhi mereka. Katakan saja bocah ingusan itu pelakunya.”

Lelaki berpeci itu menganggukkan kepalanya khidmat.

“Jangan sampai mereka mendengar tentang lorong!”

Kembali lelaki berpeci yang berdiri santun di depan Pak Harja menganggukkan kepalanya. Mendengarkan setiap perintah Pak Harja. Dan bergegas pergi saat Pak Harja mengibaskan tangannya.

***

“Prang!!”

Suara pecahan kaca kembali terdengar. Ishack hanya mendesah keras. Menahan kemarahannya. Mengedepankan kewarasannya. Dia tak akan keluar! Tidak! Tidak kali ini!

Dia harus bisa menahan emosinya. Bukankah dia tahu konsekuensi perbuatannya dari awal? Bukankah dia sendiri telah bersiap untuk pindah jika akhirnya pihak pengelola perumahan menendangnya keluar? Bukankan apa yang terjadi saat ini sudah diperkirakannya? Jadi untuk apa dia marah? Untuk apa dia meladeni warga? Biarkan saja mereka melampiaskan amarah mereka. Meledakkannya dalam caci maki seperti perkiraannya. Mereka saat ini belum mengerti apa tujuannya. Mereka tak memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam perumahan. Mereka sama sekali tak tahu bahwa komplek tempat mereka tinggal tak aman.

Kejahatan meraja lela sudah sangat meresahkan. Dari penculikan, perampokan, hilangnya anak-anak balita sampai puncaknya 3 bulan lalu saat seorang anak perempuan tewas dengan kemaluan tercabik-cabik begitu mengenaskan.

Ishack menggeram pelan. Dihelanya tubuh dari pembaringan. Berjalan terseok oleh penat yang tak kunjung hilang. Meneguk habis isi gelas yang diraihnya dari atas meja.

Lorong itu sumber masalahnya. Ya! Meski warga melakukan keamanan berlapis. Meski warga memasang tembok tinggi mengelilingi perumahan. Meski menetapkan satu pintu masuk utama dan menutup pintu lainnya. Meski menambah jumlah satpam dan menempatkannya di sudut-sudut rawan. Tentu saja tak akan berpengaruh apa-apa. Lorong itulah biang keladi masalah.

Lorong yang ditemukannya 10 tahun lalu saat dia masih bertugas sebagai civil engeneering di kantor Pak Harja. Lorong yang dilaporkannya pada Pak Harja. Dia bahkan sudah mengusulkan untuk menimbun lorong itu agar tak menjadi masalah di kemudian hari. Membuat perencanaan matang untuk menutupnya secara permanent. Tapi apa dayanya jika Pak Harja justru menolak usulnya mentah-mentah.

“Pakai duit nenek moyangmu? Kau pikir berapa keuntungan menjual rumah-rumah itu?”

“Tapi, pak....”

“Sudah...sudah! Hapus keinginan gilamu. Dananya tak ada lagi.”

“Lama-lama tanah diatasnya akan turun pak. Dan itu membahayakan keselamatan warga yang tinggal diatasnya. Karena tak ada kekuatan apapun untuk menyangga lorong itu.”

Kibasan tangan Pak Harja tak membuatnya diam. Dia terus berusaha meyakinkan Pak Harja akan bahayanya lorong bawah tanah yang dia temukan. Berhari-hari dia melakukan pendekatan. Memberikan gambaran-gambaran kerugian yang bisa menimpa perusahaan lelaki tua itu. Menyampaikan kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi warga perumahan. Tapi Pak Harja hanya menganggapnya sebagai bualan. Bersikukuh dengan pendapatnya. Tak memperdulikan usulnya. Sampai akhirnya diapun lelah meyakinkan.

Dan itulah yang disesalinya sampai sekarang. Andai dia tak menyerah tentu tak akan ada orang yang menggunakan lorong itu untuk menyusup ke rumah warga. Lorong itu berliku-liku dan bercabang. Dan hampir semua ujungnya berada di halaman rumah warga. Beberapa bagian menjulur ke luar komplek perumahan. Dan kemungkinan inilah yang dijadikan jalan bagi para penyusup itu untuk masuk ke halaman rumah warga.

Lorong yang terjadi karena peristiwa alam. Yang meskipun indah dan menakjubkan saat berada di dalam. Namun lorong itu membahayakan keselamatan warga. Ada beberapa ruas dari lorong itu yang begitu luas. Bagai permukaan tanah di atasnya. Ada danau di tengahnya. Ada stalaknit dan stalaktit yang berkilauan. Indah dan menakjubkan.

Dan dia sendiri sangat suka saat berada di bawah sana. Ya! Dia memang sering menghabiskan waktunya di sana saat hatinya gundah. Lorong luas berdanau itu tempat favoritnya untuk menghilangkan gundah. Tempat yang semakin sering didatanginya 3 bulan terakhir ini.

“Haaaaiiii penjahat!! Keluar kau! Atau kami bakar rumahmu!!”

Teriakan itu begitu keras sampai di telinganya. Membuyarkan lamunannya. Membuatnya melangkah pelan ke luar kamar.

Pecahan kaca berhamburan di lantai ruang depan. Ishack menggeram pelan.

“Bodoh!!” Desisnya penuh kemarahan.

Kemarahannya bukan karena jendela kacanya porak poranda. Bukan juga karena ancaman-ancaman warga yang mengerikan. Bukan pula teriakan warga yang memerahkan telinga. Dia marah melihat warga tak menangkap pesannya. Pesan yang ditinggalkannya semalam di rumah mereka. Empat pesan yang menyampaikan pada mereka tentang rawannya keamanan perumahan. Tentang keberadaan lorong gelap bawah tanah. Tentang kejahatan yang pernah terjadi di komplek mereka. Tentang penyusup-penyusup dari luar.

Ishack menarik nafas dalam. Menyingkirkan perasaan kesal yang mengendap. Melangkah pelan kembali ke kamar. Sambil terus merasakan penyesalan atas sikap warga yang tak mengindahkan pesannya.

“Kenapa kalian begitu bodoh??” Gumam Ishack sambil membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Memasang headset dikepalanya. Dan menikmati bayangan senyum polos anak semata wayangnya. Anak perempuannya yang tiga bulan lalu ditemukan tergeletak di taman!

***

Entah bagaimana awalnya. Dia sedang bermimpi berada di lorong bawah tanah. Bercanda, berlari-larian dengan anak perempuannya. Saat tiba-tiba dia merasakan sesak nafas. Saat tiba-tiba asap itu sudah memenuhi kamarnya. Rasa panas dalam ruangan membangunkannya. Dan dia terlambat menyadarinya. Api itu sudah berkobar meluluhlantakkan isi rumahnya. Mengurungnya di tengah kobaran api tanpa sempat menghindar. Membuatnya sulit bernafas. Membuat kulitnya tersengat. Tak ada teriakan yang diperdengarkan. Tak ada keluhan yang didesahkan. Dia hanya sempat menyambar sisa potret anak perempuannya sebelum api itu mulai menyambarnya. Menghanguskannya dengan cepat. Tanpa sisa!

***

“Beres?”

“Beres, pak.”

“Sudah kau periksa? Dia benar ada di dalam?”

“Hangus tanpa sisa, pak.”

Lelaki berperut buncit itu tertawa penuh kepuasan. Sambil menyandarkan punggungnya di atas sofa yang didudukinya. Terus tertawa hingga suaranya memenuhi ruangan. Semakin terbahak saat terbayang kembali nikmatnya teriakan anak-anak balita itu di telinganya.

***

goresan cerita Rinzhara

2 komentar:

  1. waah .... kisah yg mengenaskan :(
    kasihan Ischak mati konyol :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener kata orang oma yak? bahwa kita lebih mendengar apa kata orang dari pada bukti yang terpampang di depan mata....:(


      makasih kunjungannya oma :)

      Hapus